A1-15-7-2016-Bogor-TodayKEMENTERIAN Kesehatan (Kemenkes) akhirnya membuka data rumah sakit swasta yang menerima dan mengedarkan vaksin palsu. Selain nama rumah sakit, Kemenkes juga mempublikasikan nama-nama bidan yang mengatur dan menerima vaksin palsu.

YUSKA APITYA AJI
[email protected]

Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek mempublikasikan nama-nama rumah sakit yang menerima vaksin palsu ini, dalam rapat kerja dengan Komisi IX Bidang Kesehatan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (14/7/2016).

Dari 14 rumah sakit tersebut, 13 di antaranya berlokasi di Bekasi, Jawa Barat. Seluruh RS yang menerima vak­sin palsu di Bekasi itu memperolehnya dari Juanda (CV Azka Medika), sedang­kan RS Harapan Bunda di Jakarta Timur menerima vaksin dari M. Syahrul.

Sementara, Mabes Polri menetapkan dua orang dok­ter menjadi tersangka kasus vaksin palsu. Dua orang itu yakni dr AR dan dr HUD. Ked­uanya memiliki peran sengaja membeli vaksin palsu dari distributor tidak resmi. “Hari ini penyidik menetapkan tersangka terhadap dr AR, dokter klinik Pratama Adip­raja dan dr HUD, Kepala RSIA Sayang Bunda,” jelas Direktur Tipid Eksus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya, Kamis (14/7/2016).

BACA JUGA :  Cara Membuat Rolade Ayam Klasik Spesial yang Simple dam Lezat

Agung menjelaskan, un­tuk dr HUD yang juga kepala di RSIA tersebut, diketahui memberikan persetujuan pembelian vaksin dari CV Azka Medika yang bukan merupakan distributor resmi vaksin. “Tersangka memerin­tahkan bagian pengadaan un­tuk membeli barang dari CV Azka Medika. Tersangka mengetahui CV Azka Medika bukanlah distributor vaksin resmi,” jelas dia.

Terpisah, Anggota Komisi IX DPR Ade Irma Suryani lantas meminta Menkes mengambil langkah tegas. “Karena ini merupakan kejahatan kemanusiaan dan tindak kriminal, Menkes harus mencabut izin opera­sional. Yang jadi pertanyaan saya, apa iya tidak ada RS besar yang juga meng­gunakan vaksin palsu ini?” kata Ade, Kamis (14/7/2016).

BACA JUGA :  Hindari 5 Makanan Penyebab Kamu Pikun, Ternyata Sering Dikonsumsi

Kasus vaksin palsu ini su­dah terjadi sejak 13 tahun lalu atau pada tahun 2003. Ade Irma kemudian menggaris­bawahi bahwa kasus ini terjadi dalam tiga periode pemerin­tahan. “Terkait permenkes nomor 30, 35, dan 58 tahun 2014 yang memangkas ke­wenangan BPOM, sebaiknya dicabut dan dikembalikan pada BPOM agar penanggung jawabnya jelas,” papar ang­gota Fraksi Nasdem ini.

Ade Irma menjelaskan bahwa Permenkes nomor 35 untuk Apotik, Permenkes 58 untuk Rumah Sakit, dan Per­menkes 30 untuk puskesmas itu terkait dengan kefarma­sian. Sehingga pengadaan, penyimpanan, penyerahan, hingga penyediaan farmasi seluruhnya diawasi BPOM. “Saat ini yang menjadi tanggung jawab BPOM hanya kefarmasian pada distrib­utor saja,” pungkasnya.(*/ed:Mina)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================

1 KOMENTAR