JAKARTA TODAY– Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tenÂtang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Dewan PerÂwakilan Rakyat tengah memÂpertimbangkan memberikan kewenangan penindakan bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun, kewenangan itu hanya berlaku di beberapa titik objek vital dan situasi terÂtentu.
Ketua Pansus Revisi UU TerÂorisme DPR Muhammad Syafi’i mengatakan pemberian keÂwenangan penindakan kepada TNI ini sebenarnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Dalam UU itu disebutkan bahÂwa salah satu tugas TNI adalah mengamankan negara dari tinÂdakan terorisme.
Namun, kata Syafi’i, dalam UU itu tak dijelaskan operasionÂal TNI dalam mengamankan negara dari tindakan terorisme. “Bagaimana operasionalnya itu harus masuk dalam undang-undang. Oleh karena itu, (keÂwenangan penindakan) akan diadopsi di dalam revisi UU terÂorisme ini,†kata Syafi’i, Rabu (20/7/2016).
Menurut Syafi’i kewenanÂgan penindakan TNI dalam kaÂsus terorisme ini menyangkut keamanan negara. Seperti keÂamanan Presiden, Wakil PresÂiden, kantor kedutaan seluruh negara, pesawat udara, dan pesawat laut.
“Ada beberapa wilayah strategis yang memang hanya TNI yang mampu,†kata politiÂkus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu.
Wakil Ketua Pansus Revisi UU Terorisme Supiadin meÂnambahkan kewenangan penÂindakan oleh TNI nanti sifatnya situasional dengan melihat kasus dan areal. Jika aksi terorÂisme terjadi di Istana Negara, mau tidak mau TNI harus terÂlibat.
Namun, bila terorisme terÂjadi di kampung maka cukup ditangani oleh kepolisian saja. “Nah, nanti tinggal dibagi dan dilihat kasusnya. Lihat arealÂnya, kalau arealnya itu di Istana Negara maka mau tidak mau TNI terlibat karena tugas keÂpala negara itu di militer. Tapi kalau terjadinya di kampung, ya, biarkan polisi saja, dan kaÂlau diperlukan bantuan TNI bisa dilibatkan,†kata Supiadin dalam keterangan tertulis yang dikirimkan DPP Partai NasDem ke redaksi detikcom, Rabu (20/7/2016).
(Yuska Apitya/ dtk|ed:Mina)
Bagi Halaman