Meskipun PK Freddy sudah ditolak, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo enggan menjawab perÂtanyaan soal status sang terpidana dalam eksekusi terpidana mati tahun ini. Prasetyo hanya memasÂtikan jika persiapan eksekusi mati masih terus dilakukan sampai saat ini. “Ini kan tidak semudah memÂbalikkan telapak tangan, ini meÂnyangkut masalah nyawa. Ini haÂrus dipersiapkan dulu. Tempatnya sudah disiapkan,†kata Prasetyo saat ditemui di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (22/7/2016).
Putusan MA tersebut mendapat apresiasi dari Prasetyo. Ia berkata bahwa putusan MA sesuai dengan harapan dirinya. Prasetyo mengaku sejak awal selalu bertanya mengeÂnai dasar pengajuan PK oleh FredÂdy atas hukumannya. “Ya justru itu yang kita harapkan. Terpidana yang putusan pengadilannya sudah inkrah masih diberi kesempatan buat PK. Tapi PK dasarnya harus kuat, harus bisa membuktikan adÂanya bukti baru. Freddy, apa bukti baru dia? Kalau MA betul sudah keluarkan putusan itu, alhamdulilÂlah. Itu yang kita harapkan,†ujar Prasetyo.
Namun, Prasetyo memastikan akan mengeksekusi terpidana mati gembong dan pengedar narkoba pada pelaksanaan hukuman mati tahap ketiga. Prasetyo mengatakan, pemerintah Indonesia tidak akan berkompromi dan mengubah sikap atas keputusan tersebut. “Tidak lama lagi (eksekusi). Kami sedang berkoordinasi,†ujarnya.
Sementara itu, ketika ditanya mengenai dua terpidana mati asal Perancis Sergei Areskti Atlaoui dan Filipina Mary Jane, ia mengatakan bahwa saat ini Sergei sedang sakit, sementara Jane masih menunggu proses hukum di Filipina.
Sebelumnya, Jane dikabarkan tidak termasuk dalam daftar terÂpidana yang akan dieksekusi pada pelaksanaan hukuman mati taÂhap tiga setelah Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk menunda eksekusi. Sementara itu, Sergei lolos dari eksekusi tahap dua setelah mengajukan gugatan atas grasi di Pengadilan Tata Usaha NegÂara (PTUN).
Prasetyo setuju narkoba meruÂpakan ancaman nasional serta peeÂlu ditindak secara tegas dan serius.
Nama Freddy Budiman meÂmang kental di dunia hitam narkotiÂka. Mengawali karier hitam sebagai pencopet, Freddy Budiman ‘naik kelas’ menjadi mafioso narkoba kelas wahid. Sepandai-pandainya mengendalikan bisnis dari balik penjara, Freddy akhirnya jatuh jua. Regu tembak kini menanti Freddy.
Masa susah Freddy sebagai copet diceritakan temannya, AhÂmadi. Saat itu, Freddy dan Ahmadi yang belum berusia 20 tahun itu sama-sama mencari uang dengan mencopet di Surabaya. Seiring wakÂtu, keduanya hijrah ke Jakarta. BeÂdanya, Ahmadi tetap ‘setia’ menjadi copet di Pasar Senen, Jakarta Pusat, dan Freddy memulai masuk dalam jaringan perdagangan narkotika. Setelah itu, mereka tidak kontak untuk beberapa lama. Hingga akhÂirnya pada 2011 mereka kembali dipertemukan lagi di LP Cipinang saat Ahmadi tengah menjenguk teÂmannya.
Di sinilah Ahmadi melihat peÂrubahan besar dalam diri Freddy. Freddy saat itu berbeda dengan Freddy si tukang copet. Meski di dalam penjara, Freddy telah berubah menjadi penjahat kelas kakap, punya kekuasaan mahaÂdahsyat mengatur narkotika di luar penjara. Rekanannya berada di berÂbagai negara di Asia. Kekayaannya lalu dicuci ke berbagai bisnis legal di luar penjara. Kekayaan inilah pula yang membuat para perempuan cantik mau bermanja-manjaan di pangkuannya. Melihat pemandanÂgan itu, Ahmadi kepincut menjadi kaki tangan Freddy. Menyaru sebÂagai penjaga toilet umum, Ahmadi lalu menjadi salah satu orang keperÂcayaan Freddy mengatur distribusi narkoba di luar penjara.
Tapi tak ada kejahatan yang sempurna. Gerak-gerik Ahmadi dan kawanannya mulai terendus saat diminta Freddy mengimpor 1 juta pil ekstasi dari China. Freddy berkongsi dengan sesama penjahat narkotika di dalam penjara, ChanÂdra, untuk mengimpor ekstasi itu. Dalam hitungan matematis Freddy, dia akan mendapatkan sedikitnya Rp45 miliar jika barang tersebut beredar di Indonesia. Itu belum terÂmasuk uang yang didapat Chandra.
Paket yang disarukan dalam kontainer berisi akuarium terseÂbut dibekuk usai masuk gudang di Pluit pada 2012. Setelah dirunut, terbongkarlah siapa sebenarnya Freddy. Pada Juli 2013 lalu, Freddy dijatuhi hukuman mati oleh PN Jakbar. Selain divonis mati, hakim juga mencabut ketujuh hak Freddy, yaitu.
- Hak berkomunikasi dengan gadget apa pun.
- Hak untuk menjabat di segala jabatan.
- Hak untuk masuk institusi.
- Hak untuk memilih dan dipiÂlih.
- Hak untuk jadi penasihat atau wali pengawas anaknya.
- Hak penjagaan anak.
- Hak mendapatkan pekerÂjaan .
Putusan ini lalu dikuatkan oleh tingkat banding. Saat Freddy menÂgajukan kasasi, MA pun bergeming.(*/ed:Mina)