SEKULER yang berasal dari bahasa latin saeculum oleh Prof. Dr. Sayed Muhammad Naquib al-Attas diistilahkan dengan paham kedisinikian adalah ideologi Barat yang menolak sistem agama dalam semua urusan dunia seperti politik, sosial, pendidikan, ekonomi dan budaya.

Oleh: DR. AHMAD SASTRA
Dosen Pascasarjana UIKA Bogor

Dalam paradigma sekuler, kehidu­pan harus diatur berasaskan kepa­da rasional, ilmu dan sains. Paham pemisah an­tara agama dan dunia ini men­ganggap kewujudan sebenarnya adalah melalui pancaindera bu­kan unsur-unsur rohaniah dan metafisik yang sukar dikesan melalui kajian modern. Prinsip lainnya adalah bahwa nilai baik dan buruk ditentukan oleh akal manusia bukannya teks agama. Bahkan menganggap alam ini terjadi melalui fenomena sains dan kimia tertentu bukannya refleksi kuasa Tuhan.

Sementara Islam adalah aga­ma dan peradaban sekaligus. Islam berasal dari kata salima yuslimu istislaam –artinya tun­duk atau patuh– selain yaslamu salaam –yang berarti selamat, sejahtera, atau damai. Menu­rut bahasa Arab, pecahan kata Islam mengandung pengertian: islamul wajh (ikhlas menyerah­kan diri kepada Allah), istislama (tunduk secara total kepada Al­lah), salaamah atau saliim (suci dan bersih), salaam (selamat se­jahtera), dan silm (tenang dan damai).

Dari pengertian Islam, maka muslim adalah dia yang menyerahkan segenap wujud­nya di jalan Allah taala. Yakni mewakafkan wujudnya untuk Allah, mengikuti kehendak-ke­hendakNya, serta untuk meraih keridhaanNya. Kemudian dia berdiri teguh diatas perbuatan-perbuatan baik demi Allah se­mata. Dan dia menyerahkan segenap kekuatan amaliah wu­judnya di jalan Allah. Artinya, secara akidah dan secara ama­lan, dia telah menjadi milik Al­lah semata.

Dalam perspektif paradig­matik, ideologi sekulerisme yang lahir dari Barat ini jelas bertentangan dengan Islam. Se­bagai contoh pandangan Islam terhadap alam semesta sangat bertentangan dengan pandan­gan sekulerisme. Menurut Is­lam, pandangan terhadap alam semesta bukan hanya berdasar­kan akal semata sebagaimana pandangan sekulerisme. Alam semesta dalam Islam difung­sikan untuk menggerakkan emosi dan perasaan manusia terhadap keagungan al-Khaliq, kekerdilan manusia dihadapan­Nya, dan pentingnya ketunduk­kan kepadaNya. Artinya, alam semesta dipandang sebagai dalil qath’i yang menunjukkan keesaan dan ketuhanan Allah

Gelombang modernisme peradaban Barat dengan basis sekuler-liberal ke dunia Islam merupakan ancaman terbesar dalam bidang pemikiran dan keimanan. Perdaban Barat Modern tidak memperdulikan as­pek kemanusiaan. Pendidikan modern Barat telah menghilan­gkan keyakinan kaum muda muslim terhadap agamanya. Padahal keyakinan adalah aset terpenting dalam kehidupan seseorang.

Melalui hegemoni sekuler­isme, dunia Islam telah dihadap­kan pada ancaman pemurtadan yang menyelimuti bayang-bayang diatasnya dari ujung-ke ujung. Inilah pemurtadan yang telah melanda muslim Timur pada masa dominasi politik Barat, dan telah menimbul­kan tantangan paling serius terhadap Islam sejak masa Ra­sulullah. Filsafat materialisme Barat tak diragukan lagi adalah “agama” terbesar yang diajar­kan di dunia setelah Islam.

BACA JUGA :  TIPS JITU BERHENTI MEROKOK

Secara historis, sekulerisme di tangan Kemal Attaturk telah menjatuhkan keagungan Islam kekhilafahan Turki Ustmani dalam jurang kenistaan. Turki yang islamis berubah total men­jadi Turki teracuni oleh perada­ban Barat yang amoral. Meski perindu Islam masih ada di Tur­ki, namun kelompok Kemalis masih terus menghantui masa depan Turki. Gerakan kudeta yang berhasil digagalkan pekan kemarin adalah bukti empiris akan tesis ini.

Islam adalah ilmu dan perad­aban, agama dan pemerintahan yang oleh sekulerisme hendak dipisahkan. Diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasu­lullah saw bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepas­nya ikatan berikutnya. Ikatan Islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad). Namun pada hakikat­nya paham sekulerisme seb­agaimana disampaikan oleh Ah­mad Al Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdha Al -Rasyidah adalah pemisahan agama dari kehidupan manusia atau pe­misahan Tuhan dari kehidupan manusia.

Dengan karakteristiknya yang pragmatis duniawi, maka konsep sekulerisme tentang makna kebahagiaan juga ber­tolak belakang dengan pan­dangan Islam. Sekulerisme me­mandang kebahagiaan adalah tercapainya kebutuhan materi semata tanpa mengindahkan cara untuk memperolehnya. Sumber kebahagiaan dalam sekulerisme dengan demikian adalah faktor yang berada di luar dirinya, yakni materi.

Sementara Islam meman­dang kebahagiaan adalah ber­asal dari dalam diri manusia. Faktor-faktor luar seperti ke­makmuran, kekayaan, keluar­ga, kedudukan, pengetahuan, adalah faktor penunjang. Sifat­nya hanya sebagai penyempur­na, setelah faktor dominatifnya sudah ditemukan. Seseorang ti­dak akan mungkin menemukan kebahagiaan yang dicari di luar dirinya. Kebahagiaan hanya akan ditemukan di dalam diri sendiri.

Al Qur’an maupun sunah Rasul telah memberikan jawa­ban bahwa faktor dominatif yang menyebabkan orang bisa memperolah kebahagiaan adalah sakinatul qalb atau ke­tenangan hati. Yaitu hati yang dipenuhi dengan kuatnya kei­manan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dan bertindak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah.

Dengan demikian, dalam pandangan Islam, kebahagiaan itu memiliki dua faktor. Per­tama, faktor dominan yaitu berupa sakinatul qalb atau ke­tenangan hati karena adanya iman dan kedekatan kepada Al­lah. Sifatnya inner self, di dalam diri. Kedua faktor penunjang seperti kekayaan, jabatan, ke­sehatan dan sebagainya, yang sifatnya berada di luar diri ma­nusia. Karena sifatnya menun­jang, kekayaan, kesehatan, dan sebagainya itu melengkapi fak­tor dominan. Dengan kata lain, faktor dominan itu mesti ada untuk timbulnya kebahagiaan. Jika tidak adanya faktor domi­nan menyebabkan kebahagiaan akan hilang. Akan tetapi, tidak adanya faktor penunjang belum tentu kebahagiaan seseorang hi­lang dari dirinya. Idealnya me­mang sesorang memilki faktor dominan dan penunjang seka­ligus, sehingga kebahagiaan yang diperolehnya sempurna.

Kontaminasi racun sekul­erisme di segala bidang san­gat membahayakan aqidah kaum muslimin. Apalagi jika telah merasuki bidang pendi­dikan. Ciri sistem pendidikan yang sekuleristik adalah yang mengesampingkan etika dan moral anak didik. Sebab mor­al dianggap sebagai masalah pribadi dengan Tuhannya. Mer­eka memisahkan antara agama dengan kehidupan. Agama dicampakkan dalam ranah in­divudi bukan publik. Sistem pendidikan sekuleristik dengan demikian adalah sistem pendi­dikan yang tidak bertuhan. Apa jadinya jika produk pendidikan adalah manusia tanpa etika. Apa jadinya manusia tidak memiliki moral. Islam sangat mementingkan moral sebagai landasan kehidupan manusia. Sebab jika manusia minus mor­al, maka tak ubahnya seperti binatang. Etika memiliki peran yang fundamental dalam sistem pendidikan Islam.

BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Di bidang politikpun, sekul­erisme bisa menjadi racun me­matikan. Paham sekulerisme dengan sistem demokrasinya telah merusak kemuliaan tu­juan politik dengan lahirnya politik tak beretika. Sekulerisasi politik telah mengakibatkan tumbangnya pilar-pilar funda­mental dalam mengurus rakyat dan mengelola sumber daya alam. Politik yang telah terkon­taminasi sekulerisme menjelma menjadi politik pragmatis tran­saksional. Perilaku politikus yang hedonis, rakus kekuasaan, abai terhadap kepentingan rakyat, tidak amanah, oppor­tunis dan anti syariah bahkan hingga korupsi, suap dan fitnah mewarnai polah politik sekuler. Sekulerisme ini juga memba­hayakan jika telah merasuki bi­dang ekonomi dan budaya.

Ekonomi kapitalisme yang hanya mengayakan segelintir manusia dan memiskinkan jutaan manusia lainnya tanpa mengindahkan nilai-nilai etika adalah karakteristik ekonomi sekuler. Timbangan kapitalisme adalah materialisme, hanya mengejar keuntungan materi tanpa memperdulikan hukum halal dan haramnya. Istilah pertumbuhan dalam sistem ekonomi kapitalis adalah per­tumbuhan semu, sebab hanya fokus kepada produksi dan abai terhadap distribusi. Sementara prinsip ekonomi Islam adalah ekonomi berbasis nilai kebaji­kan untuk kesejahteraan dan keberkahan banyak orang, se­hingga lebih fokus kepada dis­tribusi.

Budaya sekuler adalah bu­daya hedonis dan liberal yang bertujuan untuk memuaskan hawa nafsu. Budaya sekuler memberikan peluang kepada manusia untuk berekspresi sebebas-bebasnya tanpa batas-batas kepantasan dan nilai re­ligius. Pergaulan bebas, seks bebas, minuman keras, dan hiburan amoral adalah sedikit contoh budaya sekuler. Semen­tara Islam menjadikan budaya sebagai penghalus rasa dan sa­rana untuk semakin mendekat­kan diri kepada Allah.

Untuk membendung paham sekulerisme di segala bidang, harus menjadikan al Qur’an dan As Sunnah sebagai sum­ber pemikiran dan perilaku. Rasulullah bersabda, “ telah aku tinggalkan kepada mu dua perkara, kamu tidak akan ters­esat selama kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah” (HR. Bukhari). Bahkan Allah mengan­cam dengan kerusakan kehidu­pan manusia jika mengadopsi sekulerisme dan membuang hu­kum Allah. “Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkan­nya pada hari kiamat dalam Ke­adaan buta”. (QS Thaha : 124). Saatnya menegakkan Islam dan tinggalkan sekulerisme, jika ma­sih punya impian bagi kebaikan negeri ini. (*)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================