KEHADIRAN Undang-Undang Pengampunan Pajak atau tax amnesty telah memberikan damÂpak positif. Sejak Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak disetujui DPR untuk diÂundangkan pada 28 Juni, nilai tukar rupiah terÂhadap dolar Amerika Serikat dan indeks harga saham gabungan (IHSG) terus menguat.
Penguatan rupiah dan IHSG juga ditopang masuknya dana asing ke Indonesia. Menurut catatan Bank Indonesia, dalam enam bulan terÂakhir, mulai 1 Januari hingga 24 Juni, dana asÂing yang mengalir ke Indonesia mencapai Rp97 triliun. Dana yang masuk itu diakui sebagai dampak tidak langsung dari program pengamÂpunan pajak yang sudah digagas sejak tahun lalu. Jumlah dana yang pulang kampung diÂharapkan berlipat-lipat setelah pengampunan pajak resmi diberlakukan. Saat ini sebanyak 6.519 warga negara Indonesia menyimpan dana di luar negeri. Pemerintah sudah menghitung total aset mereka Rp4.300 triliun.
Target pemerintah, dana yang bisa kembali atau repatriasi sebanyak Rp1.000 triliun dan uang hasil tebusan mencapai Rp165 triliun. Ada yang berpendapat target tersebut terlalu optimistis. Oleh karena itu, pemerintah mesti membuktikan mampu menarik duit sebesar itu. Meleset sedikit saja, dalam arti capaiannya di bawah target, mereka yang anti-tax amnesty bakal berkoar bahwa pemerintah gagal.
Setidaknya ada dua tugas yang mesti diÂlakukan pemerintah dengan segera. Pertama, membangun kepercayaan agar para pengusaha berbondong-bondong mengikuti program penÂgampunan pajak. Untuk itu, pemerintah harus melakukan sosialisasi secara terstruktur, sisteÂmatis, dan masif.
Sosialisasi itu juga menyangkut jaminan pemerintah soal kerahasiaan data pengampuÂnan pajak. Data yang diberikan tidak dapat dijaÂdikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pidana terhadap wajib pajak. Pembocor rahasia tersebut bahkan bisa dikenai tindakan pidana selama lima tahun penjara.
Tidak kalah penting ialah sosialisasi bahwa pengampunan pajak bukanlah membentang karpet merah untuk koruptor dan pencucian uang. Sasaran pengampunan pajak ialah para pengusaha yang menyimpan uang di luar negÂeri, bukan pengemplang pajak.
Membawa kembali dana yang disimpan di luar negeri bisa juga dipandang sebagai benÂtuk cinta Indonesia. Bukankah selama ini merÂeka bertempat tinggal dan berusaha di negeri ini, tapi keuntungan mereka malah diparkir di negeri orang? Jangan biarkan untung di negeri orang, buntung untuk negeri ini.
Tugas kedua pemerintah yang tidak kalah penting ialah menyiapkan program terukur unÂtuk menampung dan menyalurkan dana yang masuk dari luar negeri. Jika tidak digunakan segera, tentu uang yang masuk itu menjadi mubazir. Dana-dana repatriasi hasil pengampuÂnan pajak, untuk jangka pendek misalnya, bisa dipakai di sektor keuangan seperti saham, reksa dana, obligasi negara, ataupun obligasi BUMN. Instrumen jangka panjang bisa berupa proyek-proyek infrastruktur atau investasi di sektor riil.
Pemerintah harus mampu memanfaatkan dana hasil pengampunan pajak untuk menggerÂakkan roda perekonomian, bukan untuk memÂperkaya para petugas pajak. Karena itu, jauh lebih elok lagi jika Presiden membentuk guÂgus tugas yang khusus mengawal pelaksanaan pengampunan pajak.
Dana segar yang mengalir deras dari luar negeri hanyalah ilusi jika pemerintah kalah di Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengaÂjuan uji materi UU Pengampunan Pajak. Sambil melakukan sosialisi, pemerintah juga harus meÂnyiapkan diri untuk beperkara di Mahkamah Konstitusi sehingga tidak kalah.(*)
Bagi Halaman