Untitled-9Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) RI, Marie Elka Pangestu, se­jak lama dikenal sebagai salah satu pihak yang paling sering mendorong terbukanya pasar bebas bagi Indonesia.

Menurutnya, pasar yang semakin terbuka, khususnya bahan baku, membuat proses produksi bisa sangat efisien. “Dulu biaya membuat hand­phone sampai Rp 3 juta. Seka­rang hanya perlu Rp 200 ribu saja produksi satu handphone, karena apa? Berkat perdagan­gan bebas,” kata Mari di acara DBS Asian Insight Conference, Marina Bay, Singapura, Kamis (4/8/2016).

Bagi Indonesia, sambung Mari, kesepakatan pasar be­bas yang semakin banyak jadi peluang menggiurkan untuk melipatgandakan investasi di dalam negeri.

“Melakukan investasi dalam rangka regional market dan produksi, investor memilih Indonesia supaya dekat dengan pasar dan bahan baku. Bisa lihat perusa­haan besar multinasional dan pe­rusahaan Indonesia sendiri yang melakukan itu,” jelas Mari. ­

Dia melanjutkan, jangan meli­hat pasar bebas dengan kekhawati­ran Indonesia mengalami serbuan produk impor, namun sebagai kes­empatan untuk memperluas pasar di luar negeri.

BACA JUGA :  Cemilan Manis Gurih dengan Puding Pandan Thai (Kanom Piakpoon), Mudah Dibuat

“Saya rasa tidak bisa melihat kita hanya jadi pasar, bahwa ban­yak produk Indonesia yang sudah go ASEAN. Mau bicara Indomie, obat Tolak Angin, Extra Joss, JCO. Kemudian Aqua, walaupun pemi­liknya orang luar tapi itu Indonesian brand, asing tapi based di Indone­sia, banyak yang sudah penetrasi ke luar,” ujar Mari.

Singapura Melambat

Sebagai negara dengan pendapa­tan per kapita tertinggi di Asia Teng­gara atau sebesar USD 55.000, Sin­gapura kini mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Singapura pernah menikmati pertumbuhan ekonomi tertinggi yang mencapai 15,2% pada tahun 2010, tapi ekono­mi negara itu terus merosot. Tahun lalu pertumbuhannya hanya 1,5%.

Senior Economist DBS Bank, Irvin Seah, mengatakan penyebab kontraksi ekonomi sekaligus anca­man terbesar pada ekonomi Neg­eri Singa tersebut, terletak pada ketimpangan usia produktif pen­duduknya yang terus berkurang.

“Populasi usia kerja Singapura malah turun, harusnya untuk men­jaga GDP tetap naik usia produktif harus dijaga. Sebaliknya, beban keuangan untuk usia pensiun malah meningkat,” ucap Irvin di acara DBS Asian Insight Conference, Marina Bay, Singapura, Kamis (4/8/2016).

BACA JUGA :  Sayur Lodeh Malaysia, Wajib Cobain Menu Lezat Ini Bikin Ketagihan

Dia mengungkapkan, tahun 2015 persentase penduduk yang yang harus ditanggung pemerintah Sin­gapura pada penduduk usia tidak produktif atau di atas 65 tahun sebe­sar 17,6% dari total penduduknya.

Dengan memperhitungkan usia penduduk Singapura saat ini di luar imigran, angka tersebut akan me­ningkat menjadi 30,1% pada tahun 2025, dan melonjak lagi menjadi 57,4% pada tahun 2050.

Irvin menuturkan, negara neg­ara pulau tersebut bisa keluar dari krisis penduduk usia produktif jika berhasil dengan membangun digitalisasi pada berbagai aspek. “Kegiatan ekonomi dengan inovasi digital ketimbang aktivitas fisik bisa membuat ekonomi Singapura tum­buh lebih cepat, sekaligus mengatasi masalah populasi tua dan menurun­nya usia produktif penduduknya,” terang Irvin. (Alfian M|net)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================