JAKARTA TODAY– Koalisi MaÂsyarakat Sipil untuk Hapus HuÂkuman Mati (HATI) melaporkan Jaksa Agung HM Prasetyo keÂpada Ombudsman Republik InÂdonesia, karena dianggap telah melakukan pelanggaran yuridis saat pelaksanaan eksekusi mati terhadap Humprey Ejike JefferÂson alias Doctor pada 29 Juli lalu.
HATI terdiri dari empat lemÂbaga yaitu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, InstiÂtute For Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam), dan ImparÂsial. Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menyatakan laporan tersebut bertujuan unÂtuk meminta dukungan pihak Ombudsman sebagai pendampÂing dalam penegakan hukum yang adil dan terbuka.
HATI mendakwa Jaksa Agung telah melanggar hak terÂpidana mati Humprey Ejike yang telah mengajukan grasi pada hari Senin, 25 Juli 2016.
Dalam peraturan perunÂdang-undangan Pasal 13 UnÂdang-Undang no. 2 tahun 2002 jo. Pasal 5 Tahun 2010 tentang grasi, disebutkan bahwa bagi terpidana mati, kuasa hukum terpidana mati, maupun pihak keluarga terpidana mati yang mengajukan grasi, eksekusi tiÂdak dapat dilaksanakan sebelum adanya keputusan Presiden tenÂtang penolakan pemohonan graÂsi diterima oleh terpidana. “Tapi pada pelaksanaanya, terpidana Humprey telah dieksekusi pada 29 Juli lalu,†kata Ricky Gunawan di gedung Ombudsman, KuninÂgan, Jakarta, Senin (8/8/2016).
Ricky juga melihat sejumÂlah kejanggalan saat pelasaÂnaan eksekusi mati tersebut. Salah satunya adalah jawaban yang diterima terdakwa terkait dengan permohonan grasinya. Nyatanya, kata Ricky, jawaÂban itu bukan merupakan suÂrat jawaban resmi atas nama Presiden RI. “Saat terpidana memohon grasi harusnya ada penundaan hingga putusan grasi dikeluarkan langsung oleh presiden,†kata Ricky
Peristiwa tersebut terjadi pada 26 Juli lalu atau sehari setelah terdakwa mengajukan gras. Saat itu Humprey menerÂima berita acara pemberitaÂhuan bahwa putusan atasnya telah berkekuatan hukum tetap dan oleh karenanya akan dilakÂsanakan (eksekusi mati).
Kemudian diketahui bahwa pemberitahuan tersebut bukan merupakan putusan penolakan grasi dari Presiden RI. SelanjutÂnya, pada Jumat dini hari atau kurang dari 78 jam sejak pemÂberitahuan, Humprey telah diekÂsekusi mati. “Berdasarkan pasal 6 ayat 1 tentang tata cara pelakÂsanaan pidana mati, minimal diÂlakukan 78 jam setelah pemberiÂtahuan, atau secepat-cepatnya jumat sore,†kata Ricky.
Dalam perhitungan Ricky, pelaksanaan hukuman mati jilid III tidak sesuai dengan aturan tata cara pelaksanaan hukuman mati. Waktu pelaksanaan tidak mencapai 3 kali 24 jam atau setara dengan 78 jam. Namun pelaksanaan hukuman mati diÂlakukan sekitar 60 jam setelah surat pemberitahuan diberikan kepada terpidana mati.
Kejanggalan lain adalah sikap diam semua pihak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan, tempat dilaksanakannya eksekusi terseÂbut. Ricky mengatakan pihak LP enggan memberikan informasi apapun terkait waktu pelaksaÂnaan eksekusi, baik kepada pendamping hukum, pendampÂing spiritual, bahkan pihak keluÂarga terpidana mati. “Setiap kami tanya, kapan, kapan, kapan, mereka hanya jawab, tunggu saja tanggalnya,†kata Ricky.
Menurutnya, kurangnya ketÂerbukaan informasi merupakan salah satu bagian dari sekian banÂyak buruknya prosedur pelakÂsanaan eksekusi mati jilid tiga. Selain itu, akses jam besuk yang dipotong serta berbagai larangan yang diberikan pihak lapas keÂpada pengunjung terpidana huÂkuman mati. “Jam besuk sesuai jadwal adalah jam 8 pagi hingga 4 sore, tapi sejak senin, empat hari sebelum eksekusi dikurangi jadi jam 1 siang sampai jam 4 sore, jumlah yang besuk juga dikuranÂgi, dari LBH hanya dua orang yang boleh masuk,†katanya. (Yuska Apitya/cnn)
Bagi Halaman