KASUS merebaknya mie Bikini berlabel halal yang diklaim melanggar etika dan sarat pornografi men­jadi isu kritis yang harus diluruskan. Komitmen pemberlakuan ASEAN Economy Community yang selanjutnya disingkat menjadi AEC atau MEA (Ma­syarakat Ekonomi ASEAN) tentunya berkaitan erat dengan kebebasan berkreasi.

MEA adalah merupakan langkah menjadikan negara-negara di kawasan ASEAN tidak memiliki sekat dalam perdagangan internasional artinya aliran bebas barang, jasa, investasi dan tenaga kerja terampil serta aliran modal yang lebih be­bas. Termasuk yang ikut di dalam perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini adalah sektor industri halal Indonesia.

Industri halal saat ini telah menjadi trend tersendiri dalam masyarakat dunia, bukan hanya dari kalangan Muslim saja tetapi dari berbagai penganut agama lain. Industri halal merupakan salah satu sektor yang mendukung tegaknya ekonomi Islam di Indonesia selain lembaga per­bankan. Industri halal ini masuk ke dalam sektor riil perekonomian Indonesia yang saat ini se­dang berkembang. Tuntutan seluruh dunia akan makanan halal tidak hanya dari kaum Muslim tetapi juga dikarenakan meningkatnya prefern­esi konsumen Non-Muslim untuk mengonsumsi produk halal. Baik dari ras yang beragam dan keyakinan keagamaan yang berbeda memilih un­tuk membeli produk dengan logo halal, sehingga memberikan sebuah dorongan besar untuk in­dustri halal. Label halal dalam berbagai industri ini semakin dicari karena kualitas baik dari keber­sihan dan kesehatan yang terjaga. Setelah disetu­jui oleh Rapat Paripurna DPR-RI pada 25 Septem­ber 2014, Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal ( JPH) telah disahkan oleh Presedien Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yud­hoyono, pada 17 Oktober 2014. Selanjutnya, pada hari yang sama, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II Amie Syamsudin telah menundangkan Undang- Undang tersebut sebagai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014. Dalam Undang-Undang yang ter­diri atas 68 pasal itu ditegaskan bahwa produk yang masuk dan beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan Jaminan Produk Halal ( JPH).

BACA JUGA :  BERGERAK BERSAMA, MELANJUTKAN MERDEKA BELAJAR

Dalam menghadapi MEA, industri halal indo­nesia memiliki peluang besar untuk dapat bersa­ing dengan negara lain, namun disamping pelu­ang yang dimiliki tedapat tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia agar mampu bersaing dalam pasar persaingan bebas pada MEA akhir tahun ini.

Sebagai negara dengan jumlah populasi mus­lim terbesar di dunia dengan sekitar 87% pen­duduknya beragama Islam, Indonesia memiliki peluang yang sangat besar dalam sektor industri halal dan pangsa pasar sehingga untuk menyalur­kan produk halal ini semakin mudah karena ban­yaknya permintaan dari kaum muslim, terlebih lagi dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) maka pangsa pasar industri halal ini akan semakin meluas terutama ke negara-negara mus­lim di kawasan ASEAN.

Selain itu dengan disahkannya Undang-Un­dang mengenai Jaminan Produk Halal ini akan se­makin meningkatkan daya saing Indonesia dalam MEA ini. Sehingga produk-produk yang masuk ke Indonesia nantinya akan tersaring dengan sertifi­kasi halal dari negara yang bersangkutan. Salah satu potensi pasar yang saat ini sedang disoroti dan berkembang di Indonesia dan dapat unjuk gigi di dunia internasional yakni industri pakaian muslim dan hijab. Hal ini dapat terlihat dengan semakin banyaknya kesadaran wanita muslim un­tuk mengenakan hijab menyebabka permintaan akan pakaian muslim meningkat dan ditambah lagi dengan banyaknya variasi yang diproduksi oleh produsen. Selain industri pakaian muslim, industri makanan jugatermasuk salah satu yang paling potensial hal ini lagi-lagi dikarenakan may­oritas penduduk Indonesia beragama Islam.

BACA JUGA :  APA ITU PATOLOGI ANATOMIK (PA)

Di sisi lain, terdapat tantangan yang harus di­hadapi Indonesia yakni produsen yang mendaf­tarkan sertifkasi halal ini hanya berdasarkan ke­sadaran belaka, namun sayangnya dari seluruh produsen di Indonesia baru sedikit produsen yang baru memiliki kesadaran akan pentingnya sertifikasi halal. Pada masa ini hanya sekitar 70% dari 13136 industri di Indonesia atau baru sebesar 9195 industri yang memiliki sertifikat halal. Selain itu, prosedur yang rumit dan panjang serta biaya yang besar membuat para produsen menjadi enggan untuk mendafarkan industri mereka agar memiliki sertifikat halal. Yang terakhir adalah minimnya SDM dan infrastuktur yang mema­dai seperti para ahli dibidang auditor halal dan produk halal. (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================