antarafoto-kirim-ulang-rapat-dewan-gubernur-bi-180216-ym-5BANK Indonesia (BI) menggelar roadshow keliling dunia mensosialisasikan penerapan 7 Day Reverse Repo Rate kepada pelaku pasar, dan industri keuangan global. Per 19 Agustus 2016 nanti, 7 Day Repo Rate ini resmi digunakan sebagai instrumen bunga acuan baru menggantikan BI Rate.

Oleh : Yuska Apitya
[email protected]

Anggota Dewan Gubernur roadshow ke berbagai sentra finansial di Indonesia. Bahkan kami juga roadshow ke Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat, dan Eropa,” terang Gubernur BI Agus Martowardojo, kemarin.

Sejauh ini, menurut Agus, respon pelaku pasar keuangan terhadap pergantian instrumen bunga acuan di Indonesia baik. Kondisi di pasar keuangan domestik pun menunjukkan transaksi repurchase agreement atau transaksi surat utang dengan perjanjian tertentu semakin diminati pelaku pasar, dengan rata-rata transaksi Rp3 triliun-Rp4 triliun per hari. “Kami ingin nilai itu terus meningkat. Jumlah transaksi sekarang itu sudah meningkat dibanding beberapa bulan lalu,” ujarnya.

Agus meyakini, penggunaan 7 Day Repo Rate akan mempercepat transmisi manfaat dari kebijakan moneter BI ke pasar keuangan, ter­masuk suku bunga perbankan. Pas­alnya, 7 Day Repo Rate merupakan transaksi instrumen untuk jangka waktu tujuh hari, jauh lebih relevan dengan BI Rate yang menggambar­kan tingkat bunga untuk transaksi jangka waktu 12 bulan.

Dengan jangka waktu yang leb­ih pendek, 7 Day Repo Rate akan menggambarkan suku bunga acuan yang lebih riil dengan kondisi pasar keuangan. “Kami akan jaga 7 Day Reverse Repo Rate dekat dengan tingkat bunga jangka pendek. Tentu hal ini akan lebih efektif untuk kami melihat transmisi kebijakan kepada tingkat bunga di pasar,” tutur Agus.

Setelah pemberlakuan 7 Day Repo Rate, nama BI Rate pun akan bersulih menjadi bunga operasi moneter 12 bulan. Saat ini, 7 Day Repo Rate sebesar 5,25 persen dan BI Rate sebesar 6,5 persen.

BACA JUGA :  Wajib Coba! Semur Ayam Saus Tiram yang Lezat untuk Menu Makan Bareng Keluarga

Bank sentral mengaku akan menjaga koridor suku bunga, yakni batas bawah untuk tingkat bunga penyimpanan dana di BI (deposit facility rate) dan batas atas penye­diaan likuiditas oleh BI (lending facility rate) berada masing-masing 75 basis poin di bawah dan di atas 7 Day Repo Rate.

Bank Indonesia (BI) telah mene­tapkan acuan baru instrumen kebi­jakan moneternya menjadi BI 7-Day Reverse Repo Rate (7DRR) dari se­belumnya menggunakan BI rate.

Kebijakan BI 7DRR rate ini merupakan bunga transaksi pem­belian bersyarat surat utang negara (SUN) oleh bank kepada BI berjang­ka waktu tujuh hari dengan kewa­jiban penjualan kembali.

Sebelumnya, BI berpedoman pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor 12 bulan sebagai acuan BI rate. Saat ini, BI rate masih be­rada pada level 6,5 persen, semen­tara BI-7DRR rate berada di level 5,25 persen atau setara dengan suku bunga operasi moneter tujuh hari.

Banyak yang memprediksi den­gan acuan baru tersebut mampu menekan suku bunga dana maupun pinjaman bank turun lebih cepat. Pasalnya bunga BI-7DRR mencer­minkan kondisi pasar uang antar bank (PUAB) yang sebenarnya.

Namun Ketua Dewan Komision­er Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Halim Alamsyah memprediksi transmisi kebijakan moneter baru terhadap suku bunga bank masih harus membutuhkan waktu serta harus mempertimbangkan faktor ekonomi pendukung lainnya.

Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) itu menjelaskan se­cara umum kondisi likuiditas per­bankan dalam kondisi yang baik, kendati secara industri pertum­buhan volume Dana Pihak Ketiga (DPK) mengalami perlambatan, khususnya di deposito.

BACA JUGA :  Menu Sarapan dengan Omelet Keju yang Praktis dan Lezat

Untungnya menurut Halim kondisi tersebut diimbangi oleh per­mintaan kredit yang masih lemah sehingga kondisi likuiditas bank ti­dak terlalu mengalami tekanan yang berarti. Dengan kondisi tersebut, lanjutnya, membuat perbankan pasti berhati-hati dalam menye­suaiakan suku bunganya dalam rangka mengikuti acuan moneter BI-7DRR rate. “Suku bunga masih bisa turun, namun saya rasa turun­nya akan pelan dan terbatas karena itu semua masih tergantung situasi moneter dan ekonomi kita,” ujar Halim.

Selama siklus pembiayaan ma­sih berjalan lambat, lanjutnya, bank tidak akan berani memasang harga terlalu mahal. Dia berharap, per­bankan masih bisa menjaga likuidi­tasnya dan rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) agar tidak mengalami kenaikan.

Karena hal ini juga menjadi salah satu pemicu utama perbankan untuk menurunkan suku bunga. Potensi penurunan suku bunga di tengah likuiditas perbankan yang buruk justru akan membuat per­ang suku bunga antarbank. “Kalau kegiatan ekonominya sudah mem­baik, investasi jalan, kepercayaan masyarakat terutama investor su­dah mulai membaik, baru lah siklus keuangan ikut membaik, biasanya begitu,” terang Halim

Senada dengan Halim, Kepala Riset Woori Korindo Securities Rangga Cipta memprediksi pen­garuh perubahan acuan moneter bank sentral ke sektor riil belum mampu dirasakan dalam waktu yang singkat. Pasalnya pasar masih membutuhkan waktu untuk ber­adaptasi dengan isntrumen anyar tersebut. “Kita sudah hidup dengan BI rate semenjak 2005, jadi mar­ket akan lebih butuh waktuadjust­ment dari bank sentral. Walaupun sudah ada sosialisasi, tapi masih ada yang belum mau dan paham soal BI-7 Day Reverse Repo rate itu,” jelasnya.(*)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================