GURU, kata Iwan Fals dalam satu lagunya, bikin otak orang seperti otak Habibie. Itulah mengapa kita, murid, orangtua murid, terma­suk negara, harus menghormati guru.

Harus kita akui bahwa peranan guru dalam kehidupan umat manusia sangatlah penting, bahkan luar biasa pentingnya. Tak mengher­ankan apabila masyarakat dengan jabatan pal­ing rendah sekalipun hingga jabatan presiden tidak akan pernah melupakan jasa guru.

Wakil Presiden Jusuf Kalla, misalnya, pernah mengatakan di zamannya bersekolah, guru begi­tu dijunjung. “Jangan sampai ada murid mencela atap rumah gurunya, apalagi memukul. Itu dosa besar, kejahatan besar,” kata Wapres.

Negara secara simbolis menaruh hormat yang tinggi kepada para guru dengan menetap­kan tanggal 25 November sebagai Hari Guru. Itu jelas ungkapan bahwa guru merupakan pahla­wan bagi kemajuan pendidikan suatu bangsa.

Bukan cuma menghormati, negara juga memberi jaminan perlindungan buat para guru melalui undang-undang. Pasal 39 ayat 3 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan negara melindungi guru dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskrimi­natif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orangtua peserta didik, ma­syarakat, birokrasi, atau pihak lain.

Dalam konteks itu, kita menyesalkan, san­gat menyesalkan, perilaku orangtua siswa yang menganiaya guru di Makassar, Sulawesi Se­latan, Rabu (10/8). Sebelumnya, sejumlah guru juga menghadapi perlakuan tidak menyenang­kan, kekerasan, hingga pemidanaan.

Kejadian tidak mengenakkan yang men­impa para guru semestinya kita jadikan mo­mentum untuk menata ulang hubungan guru, murid, dan orangtua, dengan mengubah para­digma pendidikan dan pengajaran. Pendidikan, sekolah, juga guru, tak boleh lagi memandang pikiran peserta didik sebagai bejana yang siap diisi, tetapi api yang harus dinyalakan.

Paradigma pendidikan yang menjadikan peserta didik sebagai bejana yang siap diisi han­ya menghasilkan interaksi satu arah dari guru ke murid. Guru akan menjejalkan dan memak­sakan ilmu dan pengetahuan kepada peserta didik melalui pengajaran yang indoktrinatif, pekerjaan rumah berlebihan, disiplin berlebi­han, bahkan kekerasan berlebihan. Pemaksaan oleh guru pada titik tertentu akan menghasilkan perlawanan berupa pembangkangan, kekerasan verbal, hingga kekerasan fisik dari peserta didik.

Paradigma pendidikan yang memandang pikiran peserta didik sebagai api yang harus dinyalakan akan menciptakan interaksi tim­bal balik dalam proses belajar dan mengajar. Guru bertugas menyalakan, memancing, dan memunculkan kreativitas dan karakter peserta didik. Peserta didik akan mengekspresikan po­tensi-potensi kreatif mereka.

Paradigma pendidikan bahwa pikiran peser­ta didik ialah api yang harus dinyalakan akan menciptakan sikap saling memuliakan. Hanya sikap saling memuliakan antara guru dan mu­rid yang akan mencegah kekerasan berulang dalam dunia pendidikan kita.(*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================