jalan-bebasSUDAH bayar, kena macet pula. Begitu keluhan pengguna tol di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, dan sekitarnya. Nyaris tak ada satu ruas tol utama di wilayah tersebut yang tak pernah dirundung kemacetan.

Ironi kemacetan di jalan berbayar itu belakangan dilontarkan pengguna tol Jakarta Outer Ring Road ruas Bekasi melewati TB Simatupang hingga Bandara Soekarno-Hatta. Peningkatan volume kendaraan menjadi alasan yang mudah dilontarkan. Juga ada yang mengatakan penyebab kemacetan parah ialah banyaknya truk besar dengan muatan barang berlebih masuk tol pada jam sibuk.

Awalnya orang bersukacita ketika JORR dibuka karena masih lancar-lancar saja. Namun, belum genap setahun, kemacetan sudah mendera. Betul volume kendaraan menjadi penyebabnya. Itu membuktikan jalan tol justru mendorong pertambahan kendaraan.

Sebuah studi PT Pembangunan Jaya memperkirakan pertambahan 1 kilometer jalan raya, termasuk tol, menambah jumlah kendaraan hingga lebih dari 1.900 unit. Celakanya, yang bertambah ialah kendaraan pribadi. Data Dinas Perhubungan DKI menyebutkan setiap hari 26 juta kendaraan menyesaki Jakarta dan 98% diantaranya kendaraan pribadi.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Kenyataan itu mengonfirmasikan bahwa jalan tol bukanlah solusi permanen terhadap kemacetan.

Tol justru menstimulasi orang menggunakan mobil pribadi. Itu artinya tol menjadi semacam insentif bagi penggunaan kendaraan pribadi. Padahal, untuk mengurangi kemacetan, negara mesti menyiapkan disinsentif buat kendaraan pribadi dan insentif buat transportasi publik.

Disinsentif bagi kendaraan pribadi seperti harga bensin tanpa subsi di, parkir mahal, atau pajak jalan akan kendaraan pribadi. Sebaliknya, insentif bagi transportasi publik, seperti ongkos murah dan angkutan yang nyaman dengan beragam pilihan yang  erintegrasi, akan menstimulasi orang menggunakan transportasi publik.

Sering orang mengatakan kemacetan disebabkan tidak seimbangnya pertumbuhan kendaraan jika dibandingkan dengan pertumbuhan jalan. Pertambahan kendaraan sebesar 11% per tahun, sedangkan pertumbuhan jalan cuma 0,1%. Argumentasi itu betul. Sayangnya solusinya hanya menambah jalan, tanpa disertai upaya mengerem laju pertambahan kendaraan pribadi. Celakanya lagi, pertambahan jalan justru menambah jumlah kendaraan pribadi.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Lebih celaka lagi, pertambahan kendaraan pribadi malah dirangsang dengan berbagai kemudahan, seperti kemudahan kredit serta mobil murah. Sudah saatnya negara ini bekerja memberi insentif buat transportasi publik dan disinsentif buat penggunaan kendaraan pribadi.

Jika tidak, seluruh tol dan jalan protokol di Jakarta dan sekitarnya bakal menjadi tempat parkir raksasa. Jika itu terjadi, kerugian besar harus ditanggung negara ini. Berdasarkan hasil study on integrated master plan oleh JICA dan Bappenas, bila sampai 2020 tidak ada perbaikan sistem transportasi di Jabodetabek, kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp28,1 triliun. Alangkah bermanfaatnya jika duit sebanyak itu digunakan untuk memperbaiki transportasi publik.

Kita mesti menerapkan disinsentif bagi penggunaan kendaraan pribadi dan pada waktu bersamaan membangun transportasi massal. Jangan sampai ketika transportasi massal rampung, orang enggan menggunakannya karena sudah ketagihan menggunakan kendaraan pribadi akibat terlalu lama dimanjakan negara.(*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================