muliaman-d-hadad-ketua-dk-ojk1

Yuska Apitya

[email protected]

      OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) berencana mengusulkan sekaligus menjadi perantara untuk revisi peraturan pemerintah nomor 11 tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK untuk industri keuangan yang dikeluarkan pada 12 Februari 2014 lalu. Hal ini dilakukan agar tak terlalu membebani perusahaan untuk mengeluarkan dana setiap tahunnya.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad menyatakan, pihaknya akan mencoba untuk menyesuaikan dengan keinginan perusahaan, meski tidak semua harapan tersebut dapat diwujudkan oleh OJK dan pemerintah.

“Kalau itu justified akan kami penuhi, tapi perubahan itu akan melalui perubahan PP,” kata Muliaman, Selasa (3/1).

Namun, ia belum dapat menjabarkan dengan detil mengenai revisi PP tersebut. Yang pasti, OJK mengusulkan untuk mengubah PP tersebut dari akar atau secara besar-besaran.

“Ini agak kompleks ya, karena ada yang dibongkar secara fundamental. Tapi yang jelas pungutan itu akan diubah melalui PP ya,” papar dia.

Seperti diketahui, sebagai turunan dari peraturan pemerintah nomor 11 tahun 2014, OJK telah mengeluarkan POJK No 3/POJK.02/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan oleh OJK.

Selain itu, Surat Edaran yang dikeluarkan No 4/SEOJK.02/2014 tentang Mekanisme Pembayaran Pungutan OJK yang berisi penjelasan metode pembayaran kepada wajib bayar pungutan OJK, yaitu lembaga jasa keuangan, orang perseorangan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dan badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

Pungutan itu sendiri dilakukan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset, serta kegiatan pendukung OJK lainnya. Sementara, penerimaan pungutan tahun berjalan digunakan untuk anggaran tahun berikutnya. Hal ini dimuat dalam pasal 35 UU OJK dan PP Pungutan OJK pasal 2.

BACA JUGA :  Cara Membuat Serundeng Jawa Anti Gagal, Wajib Coba!

Biaya yang dipungut oleh OJK tersebut sebesar 0,045 persen dari total aset yang dimiliki, dan untuk anak usaha yang bergerak dalam bidang asuransi dan perusahaan pembiayaan, juga akan dikenakan masing-masing 0,045 persen dari total aset.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Franky Welirang menyayangkan adanya aturan tersebut. Terlebih lagi, OJK juga memungut iuran tahunan untuk emiten yang berada di sektor non keuangan. “Ini enggak adil. Yang bank enggak terbuka juga bayar karena keuangan, tapi yang bukan lembaga keuangan kenapa harus bayar juga,” kata Franky, kemarin.

Menurutnya, PP tersebut sudah salah sejak awal. Hal tersebut akan mengganggu keinginan perusahaan khususnya non keuangan untuk melakukan IPO, dan juga tambah membebani emiten.

“Mereka sudah terbuka, telanjang, tapi masih saja dibebani dengan adanya iuran-iuran itu,” terang Franky. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga resmi melarang perusahaan keuangan berbasis teknologi (Fintech), untuk menarik dana nasabah. Perusahaan Fintech dilarang menerima dana nasabah dalam bentuk simpanan sebagai sumber dana bisnis penyaluran pinjaman.

Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Beleid POJK tersebut ditandatangani langsung oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad 28 Desember 2016 lalu. OJK memang mengizinkan perusahaan Fintech untuk menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang dari pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman (peer to peer lending). Namun yang perlu dicatat, sumber dana pinjaman tersebut harus berasal langsung dari pihak pemberi pinjaman.

BACA JUGA :  Menu Makan Malam dengan Tumis Buncis dan Wortel yang Renyah dan Sedap

“Perusahaan Fintech dapat bekerja sama dengan penyelenggara layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Muliaman dikutip dari aturan tersebut, kemarin.

Selain itu, OJK juga membatasi nominal pinjaman yang bisa diberikan oleh perusahaan Fintech. Otoritas memberikan plafon pinjaman yakni maksimal Rp2 miliar untuk setiap debitur.

“OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas batas maksimum total pemberian pinjaman dana,” ujar Muliaman.

OJK juga mewajibkan perusahaan Fintech untuk mendaftarkan kegiatan usahanya kepada OJK. Perusahaan Fintech yang telah beroperasi sebelum POJK diundangkan juga wajib mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK paling lambat enam bulan setelah POJK terbit.

Muliaman menilai, penerbitan regulasi untuk bisnis Fintech perlu dilakukan. Pasalnya sampai dengan saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan bisnis layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian bagi pengguna.

“Peraturan OJK ini antara lain berisi ketentuan untuk meminimalisasi risiko kredit, perlindungan kepentingan pengguna seperti penyalahgunaan dana dan data pengguna, dan perlindungan kepentingan nasional seperti kegiatan antipencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, serta gangguan pada stabilitas sistem keuangan,” kata Muliaman. (*)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================