JAKARTA TODAY- Sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat mendesak Presiden Joko Widodo menonaktifkan sejumlah pejabat aktif yang diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik di Kemdagri tahun anggaran 2011-2012.

Hal itu diungkapkan saat menggelar aksi di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Minggu (12/3). Sejumlah LSM yang hadir dalam aksi tersebut, di antaranya KontraS, Komite Pemantau Legislatif, Yappika, Kopel, dan ILR.

Peneliti ILR, Erwin Natoesmal Oemar mengatakan, pemberhentian sementara para pejabat yang diduga terlibat dalam kasus tersebut diperlukan untuk menjaga kredibilitas pemerintahan Jokowi. Ia khawatir, kepercayaan publik yang besar terhadap Jokowi saat ini bisa luntur jika para pejabat tersebut tidak diberhentikan sementara.

“Belum ada respon serius dari pemerintah saat ini. Kami minta Jokowi untuk memberhentikan sementara pejabat yang diduga terlibat dalam korupsi e-KTP,” ujar Erwin.

Erwin berkata, berdasarkan dakwaan dalam sidang perdana kasus e-KTP disebutkan ada sejumlah pejabat yang ditengarai terlibat dalam kasus tersebut, di antaranya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Gubernur Jawa Tengah Gandjar Pranowo, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey, dan Ketua DPR Setya Novanto.

Lebih lanjut, selain mendesak Jokowi, ia juga meminta KPK untuk segera memeriksa seluruh pihak yang masuk ke dalam dakwaan. Menurutnya, pemanggilan itu untuk menanggulangi timbulnya persepsi negatif publik dan manuver politik yang bisa merugikan KPK.

Salah satu contoh manuver politik yang mulai terlihat, kata Hendrik, yaitu gencarnya DPR mensosialisasikan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke sejumlah universitas. Padahal, UU tersebut tidak masuk ke dalam Program Legislasi Nasional DPR tahun 2017. “Ini (dugaan korupsi proyek e-KTP) adalah kasus terbesar yang dipegang KPK. Ini harus harus dikawal agar KPK tidak diintervensi,” ujarnya.
Manajer Advokasi Yappika, Hendrik Rosdinar menilai, dugaan korupsi e-KTP telah menciderai hak dasar masyarakat untuk memiliki identitas. Tak hanya itu, sejumlah masyarakat yang tidak memiliki identitas berupa e-KTP juga tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan hingga mengikuti Pemilu.

BACA JUGA :  Kembang Kol Miliki Banyak Manfaat untuk Kesehatan, Bantu Turunkan Berat Badan

“Kasus korupsi ini bukan hanya masalah kerugian negara, tapi telah merebut hak masyarakat dalam banyak hal,” ujar Hendrik.

Secara personal Hendrik menilai tindakan korupsi proyek e-KTP sejatinya memang telah direncanakan sejak awal. Tudingan itu terlihat dari besarnya anggaran yang dikorupsi dan banyaknya aktor yang terlibat, khusunya anggota DPR.

“Banyaknya anggota DPR sangat mengkhawatirkan. Mereka yang seharusnya mengurangi korupsi malah melakukan,” ujar Hendrik.

Sementara itu, sejalan dengan rekannya, peneliti KontraS Haris Azhar menyampaikan, pemberhentian sementara pejabat publik merupakan hal yang wajib dilkukan oleh Jokowi. Ia berkelakar, akan terjadi keanehan jika Jokowi menggelar rapat dengan para pejabat yang diduga terlibat korupsi.

“Saya tidak habis pikir jika Presiden dengan Yasonna. Lalu berkoordinasi dengan Gubernur yang di masa lalu melakukan korupsi,” ujar Haris.

Haris berharap, aspirasi publik untuk memberhentikan sementara dan memeriksa pejabat publik yang diduga terlibat korupsi e-KTP bisa segera terealisasi. Ia mengklam, dalam waktu dekat juga akan melapor ke Ombudsman karena menilai e-KTP terkait dengan pelayanan publik.

BACA JUGA :  Kecelakaan Pemotor Tewas Mengenaskan Tergeletak di Jalan Poros Trans Sulawesi, Korban Tabrak Lari

“Kami harap Ombudman nantinya bisa memberi rekomendasi kepada Presiden agar memberhentikan pejabat-pejabat yang masuk dakwaan,” ujarnya.

Dalam kasus e-KTP, penyidik KPK baru menetapkan dua orang pejabat Kemdagri yakni, Irman dan Sugiharto menjadi tersangka. Keduanya kini telah menjadi terdakwa usai sidang perdana pada 9 Maret lalu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Dalam persidangan terungkap nama-nama besar yang diduga menerima uang, seperti Setya Novanto, Gamawan Fauzi, Gandjar Pranowo, Olly Dondokambey, Marzuki Alie, Ade Komaruddin, hingga Yasonna Laoly.

Proyek pengadaan e-KTP diketahui menggunakan uang negara sebesar Rp5,9 triliun. Berdasarkan hitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas penyelidikan KPK, terdapat dugaan korupsi sekitar Rp2,3 triliun dalam proyek tersebut.

KPK telah menyita uang sebesar Rp247 miliar terkait kasus korupsi proyek e-KTP. Uang sitaan ini diperoleh dari hasil penyidikan kasus e-KTP selama tahun 2016 dalam bentuk tiga mata uang yakni Rp206,95 miliar, Sin$1.132, dan US$3,036 juta. Apabila dihitung dengan kurs rupiah, jumlahnya setara dengan Rp247 miliar.

KPK sebelumnya juga telah menerima pengembalian kerugian negara dari proyek pengadaan e-KTP senilai Rp250 miliar. Sumber pengembalian itu berasal dari perseorangan, termasuk 14 anggota DPR dan pihak vendor pengadaan alat e-KTP.(Yuska Apitya)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================