Kami menyisipkan Pasal 55 (1) dan Pasal 56 KUHP karena adanya indikasi turut terlibatnya pejabat-pejabat atau pihak-pihak yang berwenang dalam perizinan melintasnya kapal pesiar tersebut.

Mengutip dari www.bbc.com, kapal Caledonia Sky merupakan kapal canggih dengan berbobot 4200 GT, kapal tersebut memiliki sistem pemancar sinyal serta perlengkapan pendukung keselamatan lainnya yang canggih. Jika merujuk dari kecanggihan ornament kapal ini, tidak wajar jika kapal memasuki zona perairan dangkal Raja Ampat.

Selain itu, langkah menarik kapal dari zona dangkal tidak dipantau atau diawasi oleh pihak berwenang menjadi bentuk kelalain dan kesengajaan.

Jika merujuk dari Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Raja Ampat Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah, disebutkan bahwa zona pesisir Raja Ampat terlarang untuk dilalui dan dilintasi kapal pesiar.

Kami juga membandingkan, ancaman pidana yang diatur di dalam KUHP lebih ringan dibandingkan dengan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), secara jelas Pasal 98 (1) UU 32/2009 menyebutkan :

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara palung singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).” 

Merujuk BBC, disebutkan pihak perusahaan Noble Caledonia telah meminta maaf terkait insiden tersebut dan berjanji membayar kerugian yang muncul, apabila ditarik dari sisi pidana, permintaan maaf tersebut sah-sah saja akan tetapi tidak akan menghapus sanksi pidana.

Proses penanganan kasus ini sejauh ini masih berjalan rumit dan belum memenuhi ekspektasi publik. Masyarakat dan media massa sejauh ini masih menunggu langkah taktis yang akan ditempuh Pemerintah RI untuk menuntaskan kasus ini hingga tuntas. Kami mengkhawatirkan penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Internasional (Mahkamah Laut Internasional) tidak maksimal dan tidak membuat jera pihak-pihak lain yang diduga turut serta melakukan kejahatan tersebut.

Sementara, jika kita analisa dari sisi perdata, pemerintah bisa menempuh tiga cara yakni, Class Action atau Gugatan Masyarakat, Hak Gugat Organisasi, Hak Gugat Pemerintah, baik pemerintah pusat dan daerah. Class Action atau gugatan masyarakat dalam UU PPLH diatur dalam Pasal 90. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Hak gugat organisasi sendiri diatur dalam pasal 92 UU PPLH, hak ini dapat diberikan dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

BACA JUGA :  BERGERAK BERSAMA, MELANJUTKAN MERDEKA BELAJAR

Hak gugat pemerintah (pasal 90 dalam UU PPLH), yaitu Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.

Ganti Rugi dan Langkah Restorasi Kawasan Raja Ampat

Kepulauan Raja Ampat merupakan habitat dari 537 jenis karang yang menyumbang 75 persen jenis terumbu karang di dunia. Terumbu karang di kawasan ini memiliki peran penting ekologis bagi habitat perairan yang memberi manfaatnya besar bagi manusia. Artinya, jika ada beberapa titik yang mengalami kerusakan, sudah dipastikan rantai ekosistem di kawasan ini akan terganggu. Dampaknya, jelas mengarah pada degradasi lingkungan.

Pemerintah Indonesia hingga sejauh ini masih belum menentukan berapa ganti rugi materiil yang harus diganti oleh pihak manajemen Nobel Caledion terkait kerusakan terumbu karang Raja Ampat. Proses penghitungan ganti rugi ini dipastikan memakan waktu tidak singkat karena hitung-hitungan dilakukan instansi lintas sektoral mulai dari Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, dan Kejaksaan Agung.

Jika merujuk Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang PPLH, sanksi denda hanya dibebankan sebesar Rp2 miliar. Jelas, jumlah ini tak menutup kerugian materiil kerusakan terumbu karang Raja Ampat.

Sementara, Pusat Penelitian untuk Sumber Daya Laut Pasifik Universitas Papua memiliki hitungan ganti rugi yang disarankan kepada Pemerintah Indonesia sebesar 800 dolar AS sampai 1.200 dolar AS atau setara Rp11 juta sampai Rp17 juta per meter persegi. Jika merujuk dari penaksiran hitungan ini, ganti rugi yang harus ditanggung Noble Caledion Sky adalah sebesar 1,28 juta dolar AS sampai 1,92 juta dolar AS atau setara dengan Rp 26 miliar. Jumlah inipun dinilai publik Indonesia tak sebanding. Buktinya, banyak netizen di jejaring sosial media yang keberatan dengan jumlah tersebut.

BACA JUGA :  TIPS JITU BERHENTI MEROKOK

Kami menganalisa, hitung-hitungan ganti rugi ini harus ditaksir sesuai kerusakan dan biaya pemeliharaan terumbu karang hingga kondisi kembali seperti semula. Butuh waktu sangat lama untuk mengembalikan terumbu karang ke kondisi semula. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat mencatat, setidaknya butuh 5 hingga 10 tahun dan memakan biaya antara Rp140 miliar hingga Rp211 miliar untuk mengembalikan lahan konservasi seperti sedia kala.

 

Kerusakan terumbu karang di kawasan konservasi pesisir Raja Ampat, Papua Barat, merupakan tindak pidana yang merugikan materi dan moril masyarakat dan bangsa Indonesia. Harus ada pihak yang bertanggungjawab aktif dalam peristiwa ini, baik nahkoda kapal MV Caledion Sky dan ataupun pengelola kapal yakni perusahaan Noble Caledion Inggris.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), pengrusakan kekayaan alam seperti terumbu karang, lahan gambut dan hutan masuk dalam kategori tindakan kriminal yang ancaman hukumannya adalah pidana penjara. Oleh karena itu, kendati pengelola dan nahkoda kapal MV Caledonia Sky telah meminta maaf dan perusahaan asuransi kapal bersedia untuk membayar kerusakan lingkungannya, namun hal tersebut tidak dapat menghilangkan aspek pidananya.

Kami menyarankan perlu adanya terobosan penanganan dari segi pidana, karena memang aturannya sudah jelas. Tanpa maksud mengindahkan ganti rugi dan proses administratif. Pihak penyidik dari Mabes Polri juga seharusnya bergerak cepat dan tuntas dalam mengawal kasus ini, mulai dari penyelidikan izin pesiar kapal hingga dugaan adanya faktor kesengajaan dari nahkoda kapal. Dengan dimulainya penyelidikan dari Mabes Polri ini, setidaknya sanksi pidana bukan hanya sebagai pemanis ancaman yang mengisi berita di media massa semata.

Kami juga menyarankan kepada Pemerintah Pusat dan Daerah agar melibatkan masyarakat adat dalam menyelesaikan masalah kerusakan terumbu karang di perairan Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat karena masyarakat setempat itulah yang merasakan langsung dampak dari kerusakan tersebut. Langkah ini penting agar tidak terjadi gejolak lain di kemudian hari.***

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================