Martin Lubalu, SH/ Yuska Apitya Aji S.Sos, 

Mahasiswa Magister Hukum  Universitas Pamulang (Unpam) / Pamulang of Inclusive Law.***

 

Rusaknya terumbu karang di kawasan zona inti konservasi laut Raja Ampat, Papua Barat akibat ditabrak kapal pesiar MV Caledion Sky, milik perusahaan Noble Caledonia Inggris yang berlayar menuju Filipina pada 4 Maret 2017 menambah daftar kerusakan lingkungan di Indonesia.

Berdasarkan penghitungan yang dilakukan tim survei gabungan yang terdiri dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kemenko Maritim luas wilayah terumbu karang yang mengalami kerusakan akibat kandasnya kapal pesiar MV Caledonian Sky sebesar 18.882 meter persegi. Luasan ini juga telah disepakati oleh tim asuransi kapal. Hasil ini didapat dalam survei bersama tim dari pemerintah dan pihak asuransi kapal di kawasan Selat Dampier, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, sejak 19 Maret lalu, dari 22.060 meter persegi luas wilayah yang disurvei. Selain mempersiapkan gugatan perdata terhadap Noble Caledonia ke Mahkamah Laut Internasional, Pemerintah Republik Indonesia juga mengkaji pasal pidana yang dilanggar penanggungjawab kapal pesiar MV Caledion Sky.

 

 

Koesnadi Hardjasoemantri dalam bukunya Hukum Tata Lingkungan menegaskan, Hukum Lingkungan adalah  sarana penting untuk mengatur prilaku – prilaku manusia terhadap lingkungan dan segala aspeknya, supaya tidak terjadi pengrusakan, gangguan dan kemerosotan nilai – nilai lingkungan itu karena secara empiris pembangunan menjadikan alam sebagai alat pemuas mencapai pertumbuhan dan kesejahteraan. Pembangunan “memangsa” lingkungan dan sumber – sumber alam, sehingga lingkungan dan keserasian alam cenderung mengalami kerusakan atau kemerosotan. Disamping itu, kehadirannya erat kaitannya dengan kecendrungan prilaku manusia dengan sesamanya yang kurang harmonis. Dan demikian pula terhadap lingkungan hidup. Disatu pihak, ada manusia yang saling bersengketa dengan sesamanya karena memperebutkan suatu sumber daya, mungkin karena keterbatasan atau kesamaan kepentingannya atas suatu obyek lingkungan tertentu, dan mungkin juga karena interaksi manusia terhadap lingkungan tidak lagi terkendali sehingga mengakibatkan lingkungan merosot atau rusak. Karena manusia hakikatnya adalah manusia yang mencintai kebersamaan demi hidup dengan sesama, maka diaturlah bagaimana supaya alam lingkungannya tetap baik dengan pertama memperbaiki hubungan antar sesama.

 

Merujuk pada peraturan dan perundangan di Indonesia, pengrusakan terumbu karang termasuk perbuatan pidana. Beberapa payung hukum yang mengatur konservasi terumbu karang di Indonesia diantaranya;

  1. UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
  2. UU Nomor 31 Tahun 2004 junto UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan
  3. UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
  4. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Raja Ampat Zona Pemanfaatan Terbatas
  5. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Akibat Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup
  6. Pasal 406 (1), Pasal 55 (1) dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan
  7. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Raja Ampat Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah.

Kami menganalisa dari kacamata hukum publik yang berlaku di Indonesia, pengrusakan terumbu karang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dijelaskan mengenai Kejahatan pengrusakan barang atau penghancuran barang yang diatur dalam Pasal 406, terumbu karang yang rusak dapat kita jadikan “barang”.

Pasal 406 (1) ditetapkan bahwa:

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusak, membuat hingga tidak dapat di pakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4500,- (empat ribu lima ratus rupiah)”.

Selain memperhatikan Pasal 406 (1), kami juga menyisipkan penyertaan dalam tindak pidana yang ditetapkan pada Pasal 55 (1) dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

BACA JUGA :  APA ITU PATOLOGI ANATOMIK (PA)

Pasal 55 (1) KUHP ditetapkan bahwa:

“(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.” 

Pasal 56 KUHP ditetapkan bahwa:

“Dipidana sebagai pembantu kejahatan :

Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan ;

Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”

Kami menyisipkan Pasal 55 (1) dan Pasal 56 KUHP karena adanya indikasi turut terlibatnya pejabat-pejabat atau pihak-pihak yang berwenang dalam perizinan melintasnya kapal pesiar tersebut.

Mengutip dari www.bbc.com, kapal Caledonia Sky merupakan kapal canggih dengan berbobot 4200 GT, kapal tersebut memiliki sistem pemancar sinyal serta perlengkapan pendukung keselamatan lainnya yang canggih. Jika merujuk dari kecanggihan ornament kapal ini, tidak wajar jika kapal memasuki zona perairan dangkal Raja Ampat.

Selain itu, langkah menarik kapal dari zona dangkal tidak dipantau atau diawasi oleh pihak berwenang menjadi bentuk kelalain dan kesengajaan.

Jika merujuk dari Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Raja Ampat Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah, disebutkan bahwa zona pesisir Raja Ampat terlarang untuk dilalui dan dilintasi kapal pesiar.

Kami juga membandingkan, ancaman pidana yang diatur di dalam KUHP lebih ringan dibandingkan dengan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), secara jelas Pasal 98 (1) UU 32/2009 menyebutkan :

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara palung singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).” 

Merujuk BBC, disebutkan pihak perusahaan Noble Caledonia telah meminta maaf terkait insiden tersebut dan berjanji membayar kerugian yang muncul, apabila ditarik dari sisi pidana, permintaan maaf tersebut sah-sah saja akan tetapi tidak akan menghapus sanksi pidana.

Proses penanganan kasus ini sejauh ini masih berjalan rumit dan belum memenuhi ekspektasi publik. Masyarakat dan media massa sejauh ini masih menunggu langkah taktis yang akan ditempuh Pemerintah RI untuk menuntaskan kasus ini hingga tuntas. Kami mengkhawatirkan penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Internasional (Mahkamah Laut Internasional) tidak maksimal dan tidak membuat jera pihak-pihak lain yang diduga turut serta melakukan kejahatan tersebut.

Sementara, jika kita analisa dari sisi perdata, pemerintah bisa menempuh tiga cara yakni, Class Action atau Gugatan Masyarakat, Hak Gugat Organisasi, Hak Gugat Pemerintah, baik pemerintah pusat dan daerah. Class Action atau gugatan masyarakat dalam UU PPLH diatur dalam Pasal 90. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Hak gugat organisasi sendiri diatur dalam pasal 92 UU PPLH, hak ini dapat diberikan dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

Hak gugat pemerintah (pasal 90 dalam UU PPLH), yaitu Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.

BACA JUGA :  TIPS JITU BERHENTI MEROKOK

Ganti Rugi dan Langkah Restorasi Kawasan Raja Ampat

Kepulauan Raja Ampat merupakan habitat dari 537 jenis karang yang menyumbang 75 persen jenis terumbu karang di dunia. Terumbu karang di kawasan ini memiliki peran penting ekologis bagi habitat perairan yang memberi manfaatnya besar bagi manusia. Artinya, jika ada beberapa titik yang mengalami kerusakan, sudah dipastikan rantai ekosistem di kawasan ini akan terganggu. Dampaknya, jelas mengarah pada degradasi lingkungan.

Pemerintah Indonesia hingga sejauh ini masih belum menentukan berapa ganti rugi materiil yang harus diganti oleh pihak manajemen Nobel Caledion terkait kerusakan terumbu karang Raja Ampat. Proses penghitungan ganti rugi ini dipastikan memakan waktu tidak singkat karena hitung-hitungan dilakukan instansi lintas sektoral mulai dari Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, dan Kejaksaan Agung.

Jika merujuk Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang PPLH, sanksi denda hanya dibebankan sebesar Rp2 miliar. Jelas, jumlah ini tak menutup kerugian materiil kerusakan terumbu karang Raja Ampat.

Sementara, Pusat Penelitian untuk Sumber Daya Laut Pasifik Universitas Papua memiliki hitungan ganti rugi yang disarankan kepada Pemerintah Indonesia sebesar 800 dolar AS sampai 1.200 dolar AS atau setara Rp11 juta sampai Rp17 juta per meter persegi. Jika merujuk dari penaksiran hitungan ini, ganti rugi yang harus ditanggung Noble Caledion Sky adalah sebesar 1,28 juta dolar AS sampai 1,92 juta dolar AS atau setara dengan Rp 26 miliar. Jumlah inipun dinilai publik Indonesia tak sebanding. Buktinya, banyak netizen di jejaring sosial media yang keberatan dengan jumlah tersebut.

Kami menganalisa, hitung-hitungan ganti rugi ini harus ditaksir sesuai kerusakan dan biaya pemeliharaan terumbu karang hingga kondisi kembali seperti semula. Butuh waktu sangat lama untuk mengembalikan terumbu karang ke kondisi semula. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat mencatat, setidaknya butuh 5 hingga 10 tahun dan memakan biaya antara Rp140 miliar hingga Rp211 miliar untuk mengembalikan lahan konservasi seperti sedia kala.

 

Kerusakan terumbu karang di kawasan konservasi pesisir Raja Ampat, Papua Barat, merupakan tindak pidana yang merugikan materi dan moril masyarakat dan bangsa Indonesia. Harus ada pihak yang bertanggungjawab aktif dalam peristiwa ini, baik nahkoda kapal MV Caledion Sky dan ataupun pengelola kapal yakni perusahaan Noble Caledion Inggris.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), pengrusakan kekayaan alam seperti terumbu karang, lahan gambut dan hutan masuk dalam kategori tindakan kriminal yang ancaman hukumannya adalah pidana penjara. Oleh karena itu, kendati pengelola dan nahkoda kapal MV Caledonia Sky telah meminta maaf dan perusahaan asuransi kapal bersedia untuk membayar kerusakan lingkungannya, namun hal tersebut tidak dapat menghilangkan aspek pidananya.

Kami menyarankan perlu adanya terobosan penanganan dari segi pidana, karena memang aturannya sudah jelas. Tanpa maksud mengindahkan ganti rugi dan proses administratif. Pihak penyidik dari Mabes Polri juga seharusnya bergerak cepat dan tuntas dalam mengawal kasus ini, mulai dari penyelidikan izin pesiar kapal hingga dugaan adanya faktor kesengajaan dari nahkoda kapal. Dengan dimulainya penyelidikan dari Mabes Polri ini, setidaknya sanksi pidana bukan hanya sebagai pemanis ancaman yang mengisi berita di media massa semata.

Kami juga menyarankan kepada Pemerintah Pusat dan Daerah agar melibatkan masyarakat adat dalam menyelesaikan masalah kerusakan terumbu karang di perairan Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat karena masyarakat setempat itulah yang merasakan langsung dampak dari kerusakan tersebut. Langkah ini penting agar tidak terjadi gejolak lain di kemudian hari.***

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================