Oleh : Farid Abdul Mumin

(Fungsionaris HMI Badko Jabotabeka-Banten)

 

Berbicara kemajuan bangsa perlu kiranya memahami segala konteks yang terjadi pada suatu bangsa dan memahami faktor-faktor vital sebagai sebuah penentunya. Salah satu penenetu kemajuan bangsa adalah aspek pendidikan. Pengalaman mengajarkan kepada kita untuk tidak menjadikan apa yang kita pahami dengan jelas hanya sebagai sekedar asumsi. Orang sering menyebutnya sebagai aksioma, aksioma tersebut berbunyi semua praktik pendidikan tidak bias dilepaskan dari opini-opini para guru yang bersifat teoritis opiniopini tersebut pada gilirannya secara tidak langsung berupa interpretasi tentang apa itu manusia dan dunia, bukan sebaliknya yaitu konsep tentang manusia dan dunia menyiratkan perlunya pendidikan.

Kemajuan suatu bangsa bukan pada luas wilayah atau jumlah penduduknya. Kita harus berani membandingkan dengan negara sekitar seperti Singapura hanya memili luas 660 km2 dan penduduk 5 juta jiwa, tetapi sangat maju.

Secara Geologis, Jepang yang berada pada area gempa dan tsunami tercatat sebagai negara yang mampu mengelola diri menjadi salah satu yang termakmur di asia. Mengapa demikian? Negara-negara tersebut berfokus pada peningkatan sumberdaya manusia melalui pendidikan sehingga eksplorasi terhadap alam di negara-negara tersebut dapat dikelola secara mandiri.

Sangat kurangnya apresiasi dunia pendidikan di negara Indonesia dapat menjadi sebuah faktor penghambat terhadap kemajuan bangsa, bahkan dapat berefek pada penjajahan era modern yaitu dengan mendominasinya penguasan pihak asing dalam sektor ekonomi atau dunia industri. Hal ini dapat kita lihat secara nyata dalam sistem pendidikan yang sedang berjalan di negara kita. Contohnya adalah dengan adanya sebuah penjurusan yang ada pada Sekolah Menengah Kejuruan yang sering kali terlihat tidak mementingkan aspek kebutuhan prioritas terhadap kemajuan bangsa. Secara tidak sadar pula bahwa jurusan-jurusan (keterampilan) yang ada tersebut dibentuk berdasarkan kebutuhan dunia kerja dan industri (Kapitalis Asing). Pada dasarnya memang dapat dibenarkan secara sementara dengan suatu alasan dasar yaitu untuk mengurangi tingkat pengangguran.

BACA JUGA :  APA ITU PATOLOGI ANATOMIK (PA)

Selain itu, hal tersebut membuat ribuan bahkan jutaan anak petani di negara Indonessia menilai rendah profesi sebagai petani dan berimigrasi ke daerah perkotaan untuk mendapatkan pekerjaan yang dinilai lebih menjanjikan, baik dari segi ekonomi maupun prestise sosial. Mereka pergi meninggalkan desa-desa subsisten untuk memburu pekerjaan yang mereka nilai lebih pantas buat mereka, meskipun harus berimigrasi jauh meninggalkan kampung halaman dan basis sosio-kultural mereka.

Belum lagi yang menjadi sangat problematik yaitu apresiasi terhadap pelaksana pendidikan (guru) sangat buruk, kepedulian pemerintah atau negara terhadap guru begitu minim dan cerderung tidak memprioritaskan kesejahteraannya. Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah gaji guru jauh  lebih rendah dari gaji pekerja pabrik. Padahal secara kualifikasi pendidikan jelas berbeda antara lulusan S1 dengan SMA dan beban kerja serta tanggung jawab jelas berbeda. Apabila fenomena ini tetap terjadi tentunya akan melahirkan paradigma tidak menguntungkan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Fenomena tersebut juga seharusnya  menjadi perhatian penting pemerintah serta memberikan solusi yang substantif melalui kebijakan-kebijakan dibuat.

BACA JUGA :  REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL: REPRESI SISTEM PENDIDKAN DALAM BENTUK KOMERSIALISASI

Selain itu masalah penganguran menjadi fokus penting bagi pemerintah. Pemerintah dituntut untuk mengimbagi keberhasilan pendidikan dengan ketersediaan lapangan kerja. Di satu pihak, ekspansi pendidikan turut serta melahirkan instabilitas karena pendidikan melahirkan tuntutan yang sering kali tidak dapat di jawab oleh sistem politik. Di pihak lain, tersedianya pendidikan yang cukup di semua jenjang adalah persyaratan yang diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik. Hanya dengan sumber daya manusia yang terlatih dan kesempatan kerja yang memadai pemerintah dan birokrasinya dapat memenuhi tuntutan publik, dan hanya publik yang terdidik yang dapat diminta turut serta bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa (nation building). (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================