Oleh : H. Imam Tunggara (Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam STEI LPPM Bandung)

Pada Hari Tani yang jatuh pada setiap 24 September mari kita renungkan ulang sejauh mana kepedulian dan kontribusi kita pada sektor yang sudah berpuluh bahkan beratus tahun menjadi sumber utama pencaharian rakyat di Nusantara, di Indonesia. Di negeri ini negeri agraris, akan tetapi mengapa pula nasib kaum petani masih tragis? Mengapa pula negeri agraris ini masih terus mengimpor berbagai kebutuhan pokok, terutama berasdan jagung. Ini ironis, sekaligus miris. Negri zamrud khatulistiwa yang subur tetapi bahan pangan pun mesti bei dari luar negeri.

Seiring perkembangan zaman dan setiap negara kesulitan mengendalikan ledakan jumlah penduduk memengaruhi tingkat kuntitas dan kualitas lingkungan hidup. Demi pemenuhan kebutuhan manusia sumber daya alam di lautan, daratan, dan pegunungan terus tergerus.

Pegunungan yang sudah berabad-abad menjadi ekosistem yang terjaga dalam bingkai leuweung luwang liwung alias hutan rimba kian hari kian berkurang. Pepohonan besar dan kecil ditebangi. Isi perut bumi dieksploitasi. Sedangkan reboisasi lebih nyaring dalam tataran gigi atau janji yang tidak terbukti. Di Indonesia, misalnya, pascareformasi penggundulan hutan semakin masif dan agresif. Masif karena seluruh potensi hutan digerogoti. Agresif karena tanpa mendapat izin resmi dari pemerintah dan dukungan warga sekitar pun eksploitasi terus digencarkan.

Silakan, tengok saja areal persawahan di samping kanan-kiri sepanjang tol Padalarang-Cileunyi. Tentu saudara sekalian sudah menyaksikan lahan subur padi dan palawija itu kini sudah berubah drastis menjadi perumahan, ruko, dan bangunan usaha lainnya. Puen begitu di dataran tinggi Bandung bagian utara. Lahan kebun dan hutan kini dijejali villa dan rumah makan.

Dampaknya, selain kawasan Bandung tak sedingin masa silam dan rawan didera bencana alam, ekosistem pun mengalami gangguan. Bukan berita aneh penduduk kampung terus bermusuhan dengan binatang. Keduanya kerap ribut karena berebut tempat dan makanan.

BACA JUGA :  APA ITU PATOLOGI ANATOMIK (PA)

Terang saja, ketika gunung digunduli, sawah dan kebun menjadi rumah, maka penduduk negeri kesulitan air jernih dan bersih. Sementara itu sungai makin kotor dan bau akibat limbah pabrik dan sampah rumah tangga. Padahal, penduduk negeri ini masih masih banyak mengantungkan dirinya dengan keberadaan sungai untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus. Bila terus mengonsumsi air dan udara kotor bukan hal yang aneh jutaan warga mengidap rupa-rupa penyakit yang akut.

Penyakit atau kerusakan lingkungan terjadi pula di lautan. Sabuk hijau kian hilang di sepanjang pesisir pantai. Kawasan itu diubah menjadi vila, hotel, dan sarana hiburan. Akibatnya, selain abrasi tak terkendali karena ketiadaan benteng alam, ketika datang ombak besar atau tsunami langsung menghantam keselamatan jiwa.
Tak pelak lagi keselamatan lingkungan dan jiwa masyarakat mesti mendapat perhatian secara serius dan berkesinambungan. Sebab manusia dan lingkungan merupakan dua entitas yang saling membutuhkan. Keduanya memerlukan keharmonisan dan keseimbangan.

Keharmonisan manusia dan lingkungan sejatinya sudah dilakukan oleh para leluhur. Saya yakin, dalam menjaga kelestarian lingkungan tiap suku bangsa di Nusantara memiliki cara dan ciri yang mandiri. Ciri sabumi cara sadésa, jawadah tutung biritna, sacarana-sacarana alias lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya.
Begitu pula dengan kebudayan Sunda. Dalam melestarikan lingkungan para karuhun Sunda membuat dan menerapkan aturan kehidupan terangkum dalam kearifan bernama kapamalian, paribasa atau babasan.
Kapamalian atau pantangan dalam wacana modernitas mungkin dianggap hal yang takhayul. Irasionalitas. Pantangan hanya dianggap sebaris kata-kata yang tidak bermakna.

Akan tetapi bagi masyarakat tradisional kapamalian merupakan peringatan yang mesti dijunjung tinggi. Mereka tabu melanggar aturan itu karena takut mendapat mamala, kawalat, atau hukuman yang mencelakakan diri, keluarga, atau kelak keturunannya.

BACA JUGA :  Pj Gubernur Jawa Barat Pimpin Upacara Hardiknas di Kota Bogor

Oleh karena itu masyarakat adat atau tradisional pamali alias pantang mendirikan rumah atau perkampungan di dekat cinyusu, cisirah atau mata air. Mereka pun patuh pada petitih karuhun untuk tidak menebang pepohonan di sekitar mata air. Bentuk peringatan atau usaha menakut-nakutinya adalah pepohonan (besar) itu aya nu nageugeuhna, ada penghuninya.

Terkait dengan mitologi, sebagian dari mereka memang ada yang memercayai bahwa pepohonan besar memang tempat tinggal makhluk halus yang menyeramkan semacam jin atu kuntilanak. Tetapi saya yakin, tabu menebang air itu karena masyarakat tradisional pun tahu bahwa air adalah sumber kehidupan. Dan air berasal dari pepohonan. Jika pohon ditebang maka air pun akan hilang.

Untuk melangsungkan kehidupan selain membagi-bagi tipe hutan seperti leuweung baladahan, leuweung tutupan dan leuweung larangan para karuhun pun berpesan agar hidup basajan alias tidak berlebih-lebihan. Asketisme.

Hal itu terkait dengan pemanfaatan dan pemberdayaan alam. Manusia diminta tidak hidup konsumtif. Dilarang melakukan pemborosan dan pembuangan. Peribahasanya dahar tamba lapar nginum tamba hanaang. Muhun, makan dan minum dengan sederhana. Bukan ajang pamer pamor bermewah-mewahan dengan mengorbankan alam.

Maka berdirilah leuit atau lumbung padi di sudut-sudut kampung untuk persediaan di masa paceklik. Hingga saat ini saya belum mendengar kabar masyarakat tradisional di kampung-kampung adat yang memeluk teguh kearifan Sunda mengalami kelaparan. Sebab mereka selalu memiliki cadangan pangan dan dalam kehidupan sehari-hari mengedepankan sikap sauuyunan-sabilulungan alias kerjasama yang saling menguntungkan.
Inilah salah satu visi masyarakat tradisional dalam menyikapi ekonomi, lingkungan, dan kemasyarakatan. Terkhusus dalam merawat lingkungan dan memakmurkan pertanian. (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================