BOGOR TODAY – Transformasi perdagangan dunia tak lagi berkiblat ke negara barat tetapi Asia. Hal itu diungkap dalam Laporan’Asia’s Future is Now’ yang dirilis McKinsey Global Institute (MGI) pada Juli 2019. Perusahaan konsultan manajemen multinasional, menyebutkan perusahaan-perusahaan Asia mulai menunjukkan taringnya. Bahkan, perusahaan Asia masuk dalam jajaran perusahaan terbesar di dunia.

Hal tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Fortune Global yang melansir bahwa 210 dari 500 perusahaan terbesar di dunia berasal dari Asia. Pangsa pasar perusahaan itu juga meningkat dari 19 persen menjadi 30 persen dalam dua dekade terakhir.

“Perubahan peran Asia dalam industri bernilai tambah mencerminkan kecepatan evolusi dari ekosistem perusahaan di kawasan itu,” tulis McKinsey Global Institute dalam laporan bertajuk Asia’s Future is now yang dirilis pada Juli 2019.

Perusahaan-perusahaan Asia juga mulai mendominasi. Buktinya, dari 5.000 perusahaan global terbesar, 43 persen di antaranya diwakili oleh perusahaan-perusahaan Asia pada 2017. Angka itu meningkat drastis dibandingkan tahun 1997 lalu yang hanya berkisar 36 persen.

Menariknya, komposisi negara asal perusahaan besar itu juga ikut berubah. Sejauh ini, China menjadi negara yang paling banyak menelurkan perusahaan kelas kakap. Namun, belakangan muncul beberapa negara baru dengan perusahaan-perusahaan raksasanya, seperti India, Filipina, Vietnam, dan Bangladesh.

BACA JUGA :  Pemkab Bogor Terus Tingkatkan Kesadaran Masyarakat Akan Kesiapsiagaan Bencana

Sebaliknya, korporasi asal Jepang malah mencatat pelemahan. Maklum, McKinsey menilai perusahaan-perusahaan Asia memimpin pasar global dengan sektor usaha teknologi, keuangan dan logistik. Sementara Jepang, selama ini dikenal maju dalam bidang otomotif.

“Selama 20 tahun terakhir, ekonomi Asia telah berevolusi. Campuran industri dari perusahaan-perusahaan terbesar di kawasan Asia pun bergeser,” terang laporan tersebut.

Perbedaan menonjol perusahaan kakap Asia dan kawasan barat adalah dari sisi kepemilikan. Perusahaan besar di kawasan barat kebanyakan adalah perusahaan publik atau perusahaan tercatat di pasar modal. Sebaliknya, dua sepertiga dari 110 atau sekitar 73 perusahaan China yang masuk daftar Fortune 500 adalah milik negara.

Selain dikuasai negara, kawasan ini juga memiliki sejumlah konglomerat besar yang mengontrol perusahaan. Lima ‘chaebol’ atau julukan untuk konglomerat Korea Selatan memiliki kekayaan mencapai setengah dari valuasi di pasar saham Korea Selatan.

BACA JUGA :  Jadwal SIM Keliling Kabupaten Bogor, Sabtu 27 April 2024

Tak jauh berbeda, enam ‘keiretsu’ atau julukan kelompok perusahaan Jepang juga menguasai pasar modal. Bahkan jika dirunut ke belakang, semua pabrikan mobil besar Jepang terhubung dengan ‘keiretsu’. Sementara itu, enam konglomerat teratas India berhasil mempekerjakan lebih dari 2 juta orang.

Perusahaan dengan pemegang saham pengendali dari keluarga maupun negara dinilai lebih fokus pada pengembangan bisnis jangka panjang. Ini berbeda dengan perusahaan publik yang harus bertanggung jawab kepada pemegang saham setiap kuartal, sehingga lebih fokus pada kinerja laba.

Tetapi, perusahaan di Asia juga memiliki persamaan dengan karakteristik perusahaan di kawasan barat, yaitu distribusi untung dan rugi yang cenderung tidak merata. McKinsey mendapati sebuah fenomena ‘superstar’ atau perusahaan yang meraih keuntungan lebih besar dari pesaingnya.

Dari hasil analisis terhadap 5.000 perusahaan publik dan swasta dengan pendapatan di atas US$1 miliar, tercatat Asia menyumbang 30 persen dari perusahaan superstar. Jumlah ini naik dari 15 persen pada 1990-an. Sebagian besar perusahaan tersebut, berasal dari China, India, Jepang, dan Korea. (Amel/CNN)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================