BOGOR-TODAY.COM, JAKARTA – Dalam refleksi 76 tahun kemerdekaan Indonesia, sejumlah indikator seperti merdeka dari ketergantungan, merdeka dari kemiskinan, merdeka dalam akses keadilan dan merdeka dalam melaksanaan HAM mengalami kemunduran Refleksi untuk memaknai kemerdekaan itu sendiri adalah sesuatu hal yang wajar karena memang sesungguhnya membutuhkanya sebagai introspeksi diri dalam proses pendewasaan.

Demikian disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam diskusi publik Refleksi 76 Tahun Kemerdekaan RI: Sudahkah Kita Merdeka? hari Jumat (20/8/2021). Diskusi yang diselenggarakan secara daring oleh Program Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammdiyah Jakarta ini juga dihadiri pembicara Prof Siti Zuhro dari LIPI, Prof Aidul Fitriciada dari Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Rektor Univeritas Muhammadiyah Jakarta Dr. Ma’mun Murod.

“Kemerdekaan dengan perspektif kemandirian mengatakan bahwa kemajuan pada berbagai sektor telah mendorong kemampuan meningkatkan kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan domestik, namun tidak menafikan masih ada beberapa sektor penting dimana tingkat ketergantungan kita masih cukup tinggi,” kata Ketua MPR.

Selanjutnya dijelaskan, Badan Pusat Statistik mencatat pada periode Januari sampai Juni 2021 atau sepanjang semester pertama 2021 Indonesia melakukan impor pangan hingga Rp 88,21 Trilyun. Menteri Riset dan Teknologi pada bulan Mei 2020 menyatakan bahwa angka ketergantungan terhadap produk impor bidang kesehatan mencapai 90%.

BACA JUGA :  Kebakaran Hanguskan Bangunan SD Negeri di Madina saat Jelang Sahur

“Sebagaimana kita pahami bersama sektor pangan dan kesehatan adalah sektor yang sangat vital. Bukan hanya karena menjadi kebutuhan primer yang wajib dipenuhi tetapi juga karena sangat berpengaruh terhadap sektor-sektor lainnya apalagi saat ini kita sedang dihadapkan pada masa masa pandemi COVID-19,” tambah Bambang Soesatyo.

Kemerdekaan dari kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Jumlah penduduk miskin Indonesia per bulan Maret 2021 menurut data BPS adalah sebesar 27,54 juta orang atau meningkat 1,12 juta dari Maret 2020. “Dengan pandemi COVID-19 yang masih membayangi tentunya angka ini masih mungkin berpotensi naik. Dimana angka pengangguran hingga tahun 2021 diprediksi akan mencapai 12,7 juta,” kata Ketua MPR.

Kemerdekaan dari kebodohan pada hakikatnya adalah perwujudan amanah konstitusi bahwa tujuan dibentuknya pemerintahan salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. “Kita prihatin bahwa menurut survei yang dirilis oleh program International Student Assessment kemampuan pelajar Indonesia pada bulan Desember 2019 menempatkan Indonesia pada peringkat ke 72 dari 77 negara. Masih Tertinggal jauh dari Malaysia di urutan 56 atau bahkan dengan Singapura di urutan kedua,” tambah Ketua MPR.

“Kondisi tersebut cukup kontradiktif mengingat konstitusi kita telah memberikan dukungan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya  20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan anggaran pendidikan nasional. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir anggaran untuk pendidikan dialokasikan sebesar 20% dari total APBN. Namun hasilnya masih belum memuaskan,” tegasnya.

BACA JUGA :  Kelola Bansos dan Tangani Bencana, Pj. Bupati Bogor Lakukan Sinergi Dengan Komisi VIII DPR RI dan Pemerintah Pusat 

Ketua MPR juga menilai tentang memaknai kemerdekaan dari perspektif akses terhadap keadilan yang masih bermasalah. Indeks terhadap keadilan tahun 2019 sebesar 69,6%. Ini mengindikasikan cita-cita Indonesia merdeka untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat masih menyisakan persoalan. “Kondisi ini juga tergambar rendahnya jumlah advokat yang terdaftar di Indonesia yang hingga pertengahan 2019 yang lalu diperkirakan jumlahnya hanya sekitar 50.000 atau kurang dari 1% dari jumlah penduduk Indonesia,” tuturnya.

Mengenai memaknai kemerdekaan melalui perspektif perlindungan HAM, Ketua MPR menyatakan meski diakui bahwa telah ada upaya-upaya untuk isu perlindungan HAM sebagai hal prioritas dari aspek legalitas konstitusi yang secara khusus menempatkan HAM dalam satu bab tersendiri Bab 10a yang terdiri dari 10 pasal.

“Namun dalam tataran realitas masih ada beberapa catatan untuk dijadikan perhatian kita bersama. Hal ini tercermin dari data Komnas HAM yang mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat 2841 kasus aduan pelanggaran HAM yang diterima oleh Komnas HAM,” tandasnya.

============================================================
============================================================
============================================================