Sejarah Singkat 4 Kampung Adat di Jawa Barat
Sejarah Singkat 4 Kampung Adat di Jawa Barat.

BOGOR-TODAY.COMKampung adat merupakan sebuah desa yang masih menjaga dengan baik warisan leluhur. Melalui kampung adat ini kita dapat mempelajari nilai-nilai yang telah diberikan leluhur untuk menjaga dan melestarikannya.

Merangkum dari beberapa sumber, berikut sejarah singkat 4  kampung adat di Jawa Barat yang masih bertahan, kepoin yuk!

  1. Kampung Mahmud

    Kampung Mahmud.

Terletak di Desa Mekarrahayu, Kabupaten Bandung, kampung adat ini dibangun oleh seorang wali Cirebon yaitu Sembah Eyang Abdul Manaf pada abad ke 15. Hingga saat ini, para masyarakat sekitar sangat menghormati Eyang Manaf dengan cara memelihara makamnya dengan baik.

Eyang Dalem H. Abdul Manaf lama meninggalkan kampung halamannya dan hidup di tanah suci Mekah. Pada suatu ketika hendak kembali ke tanah kelahirannya, beliau merasakan satu firasat bahwa negerinya akan dijajah oleh bangsa asing yaitu Belanda. Oleh karena itu, sebelum pulang, dia berdoa dengan khusu di tempat yang disebut Gubah Mahmud. Gubah tersebut sangat dekat dengan Masjidil Haram. Dalam doanya terbesit permohonan petunjuk supaya bisa kembali ke tempat yang tidak akan terkena oleh penjajah. Petunjuk yang dianggap sebagai ilham, mengisyaratkan bahwa dirinya akan bermukim di tempat yang berawa.

Setelah merasa yakin dengan ilham yang diterimanya, dia pun kembali ke negerinya sambil membawa genggaman tanah karomah atau tanah yang berasal dari Mekah. Petunjuk yang didapatkan di Gubah Mahmud yaitu harus segera menemukan sebuah rawa. Pencarian berakhir setelah lahan rawa ditemukan di pinggiran Sungai Citarum.

Oleh karena akan dijadikan lahan perkampungan, rawa tersebut diurug. Di tempat itu pula, dia mengubur tanah karomah atau tanah yang dibawanya dari Mekah. Kemudian lahan yang semula rawa itu berubah menjadi lahan yang layak untuk sebuah perkampungan. Satu per satu rumah bermunculan sehingga membentuk sebuah kampung.

Karena tanah rawa yang masih labil, maka ada ketentuan dilarang membangun rumah bertembok dan berkaca serta menggali sumur. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka memanfaatkan air dari Sungai Citarum. Kampung tersebut diberi nama Mahmud yang sama dengan tempat Eyang Abdul Manaf ketika berdoa di Gubah Mahmud, Mekah.

Ketika masa penjajahan Belanda, Kampung Mahmud kerap menjadi tempat persembunyian yang cukup aman bagi para pejuang. Eyang Abdul Manaf mempunyai 7 generasi penerus hingga sekarang ini, yaitu (1) Eyang Sutrajaya, (2) Eyang Inu, (3) Eyang Mahmud Iyan, (4) Eyang Aslim, (5) Eyang Kiai H. Zaenal Abidin, (6) Kiai H. Muhamad Madar, dan (7) H. Amin. Setelah wafat, Eyang Abdul Manaf dimakamkan di kampung yang didirikannya. Makamnya tetap terpelihara hingga saat ini, bahkan dikeramatkan oleh anak cucu keturunan warga Mahmud. Pada akhirnya makam Eyang Dalem H. Abdul Manaf lebih dikenal dengan nama Makam Mahmud, seperti tulisan yang tertera pada pintu gerbang memasuki Kampung Mahmud. Setelah dia meninggal, tampuk kepemimpinan Kampung Mamud diteruskan oleh anak-anaknya. Kalaupun ada anak-anaknya yang tidak menjadi ketua adat, mereka biasanya berperan sebagai tokoh agama

2. Kampung Urug

Kampung Urug.

Berlokasi 48 km dari pusat kota Bogor, Kampung ini merupakan kampung adat yang masyarakatnya mempercayai bahwa mereka merupakan keturunan Prabu Siliwangi, raja Kerajaan Pajajaran. Hal itu dibuktikan dengan konstruksi bangunan di kampung ini yang memang menyerupai beberapa peninggalan Kerajaan Pajajaran di Cirebon.

Bukti dari anggapan tersebut di antaranya menurut seorang ahli yang pernah memeriksa konstruksi bangunan rumah tradisional di Kampung Urug, beliau menemukan sambungan kayu tersebut sama dengan sambungan kayu yang terdapat pada salah satu bangunan di Cirebon yang merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran.

Salah seorang keturunan Prabu Siliwangi yang dianggap leluhur kampung Urug bernama Embah Dalem Batutulis atau Embah Buyut Rosa dari Bogor. Mereka tidak berani menyebut Embah Buyut Rosa, katanya “teu wasa bisi kasiku” (tidak berani takut kena bencana).

Asal-usul Kampung Urug berdasarkan latarbelakang sejarahnya memiliki beberapa versi. Perbedaan tersebut bukan terletak pada siapa dan darimana leluhur mereka itu, akan tetapi terletak pada masalah tujuan atau motivasi yang menjadi penyebab berdirinya Kampung Urug.

Kata Urug dijadikan nama kampung, karena menurut mereka berasal dari kata “Guru”, yakni dengan mengubah cara membaca yang biasanya dari kiri sekarang dibaca dari sebelah kanan. Kata “Guru” berdasarkan etimologi rakyat atau kirata basa adalah akronim dari digugu ditiru. Jadi seorang guru haruslah “digugu dan “ditiru”, artinya dipatuhi dan diteladani segala pengajaran dan petuahnya.

  1. Kampung Dukuh

    Kampung Dukuh.

Didirikan oleh ulama bernama Syekh Abdul Jalil, mata pencaharian warga kampung adat ini adalah Bertani. Mereka memiliki struktur pemukiman berkelompok. Puluhan rumah berjajar pada kemiringan yang bertingkat seperti terasirih.

Kala itu wilayah Sumedang dipimpin oleh Bupati Rangga Gempol II. Atas saran dari Raja Mataram, Syekh Abdul Jalil diminta oleh Rangga Gempol II untuk menjadi seorang kepala agama. Saat itu ia menerima tawaran dengan syarat yang harus ditaati sebagai perjanjian.

Hanya dua syarat agar Syekh Abdul Jalil berkehendak menjadi pemuka agama di Sumedang. Seluruh elemen masyarakat Sumedang dilarang melanggar hukum Islam, serta Bupati dan rakyatnya harus bersatu. Namun apa daya selang 12 tahun, kesepakatan tersebut dilanggar oleh sang bupati sendiri. Ia tega membunuh utusan dari Kerajaan Banten, karena tidak mau tunduk ke Kerajaan Banten.

Hal tersebut membuat Syeh Abdul Jalil merasa dihianati. Padahal, kesepakatan menyebutkan tidak ada pembunuhan, perzinaan, merampok beserta perbuatan buruk lainnya. Syekh Abdul Jalil lantas angkat kaki dan pergi menuju ke Selatan. Sampailah ia di tempat yang kini berdiri Kampung Dukuh. Sesuai dengan ajaranya, kampung Dukuh selalu mempertahankan syariat Islam sebagai aturan adat yang berlaku.

Kampung Dukuh sendiri dahulunya bernama padukuhan. Yang sama artinya dengan padepokan sebagai tempat di mana orang bisa tinggal dan mendekatkan diri pada Yang Maha Esa.

  1. Kampung Kuta

    Kampung Kuta.

Kuta dalam bahasa sunda berarti “pagar tembok”. Nama Kampung adat Kuta mungkin diberikan karena kondisi wilayah geografis yang berada di lembahan (lembah yang curam) yang dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi atau bukit. Mengenai asal-usul Kampung Kuta, dalam beberapa Dongeng Buhun, yang tersebar dikalangan masyarakat Sunda sering disebut adanya Negara Burung atau daerah yang tidak jadi / batal menjadi Ibu Kota Galuh.

Daerah ini dinamai Kuta Pandak. Masyarakat Ciamis dan sekitarnya menganggap Kuta Pandak adalah Kampung Kuta di Desa Karangpaningal sekarang. Masyarakat Cisaga menyebutnya dengan nama Kuta Jero.

Dongeng tersebut ternyata mempunyai kesamaan cerita dengan asal-usul Kampung Kuta. Masyarakat mengangap dan mengakui dirinya sebagai keturunan Raja Galuh dan keberadaannya di Kampung Kuta ini sebagai penunggu atau penjaga kekayaan Raja Galuh. Asal-usul Kampung Kuta tidak diketahui secara pasti. Saat ini ada beberapa versi tentang sejarah Kampung Kuta yang diturunkan oleh kuncen di kampung kuta. Ada 2 versi tentang sejarah Kampung Kuta yaitu dimulai pada masa kejayaan Kerajaan Galuh dan masa kerajaan Kerajaan Cirebon.

Dimulai pada awal pendirian Kerajaan Galuh. Seorang Raja Galuh bernama Prabu Ajar Sukaresi sedang mengembara bersama beberapa pengawal terpilih dan berpengalaman. Pengembaraan dilakukan untuk mencari daerah yang cocok untuk mendirikan pusat pemerintahan kerajaan. Pada saat rombongan tiba di tepi sungai Cijolang, Raja melihat daerah di seberang sungai atau sebelah barat cukup menarik.

Menurut penglihatannya cocok untuk dijadikan pusat kerajaan. Prabu Ajar Sukaresi segera memerintahkan para pengawalnya untuk beristirahat dan membangun tempat peristirahatan di tempat tersebut. Beliau sendiri akan meneliti dan meninjau secara seksama daerah yang berada di seberang Sungai Cijolang. Setelah melakukan penelitian, Prabu Ajar Sukaresi memerintahkan pengawalnya untuk membongkar tempat peristirahatan sementara dan pindah keseberang sungai untuk persiapan membuka tempat baru yang akan dijadikan pusat kerajaan.

Tempat bekas peristirahatan di tepi sungai Cijolang ini kemudian disebut sebagai Dodokan yang artinya tempat duduk atau tempat peristirahatan Raja. Prabu Anjar Sukaresi berkeliling kelokasi tersebut, dan ternyata daerah ini dikelilingi oleh tebing tinggi. Melihat kondisi ini, beliau beranggapan bahwa daerah ini tidak dapat berkembang dan diperluas karena dibatasi oleh tebing. Dengan terpaksa segala persiapan yang telah dilakukan untuk membangun pusat kerajaan dibatalkan. Kemudian Raja dan pengawalnya meninggalkan tempat ini untuk mencari lokasi baru. Daerah ini sekarang yang disebut sebagai Kampung Kuta.

Prabu Anjar Sukaresi kemudian melanjutkan pengembaraannya. Setelah menempuh perjalanan jauh, rombongan menemukan daerah yang merupakan pertemuan dua sungai yaitu Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, yang cocok untuk pusat kerajaan. Daerah ini kemudian dibangun menjadi pusat kerajaan Galuh. Saat ini tempat ini menjadi kawasan situs Karang Kamulyan. (net)

Bagi Halaman
BACA JUGA :  Pedagang Gorengan di Ciampea Bogor Ditemukan Tewas Gantung Diri
============================================================
============================================================
============================================================