MK TOLAK PEMILU PROPORSIONAL TERTUTUP, INILAH AWAL PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

PENULIS OPINI HERU
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pada Kamis (15/6/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. (FOTO : IST)

Oleh : Heru B Setyawan (Pemerhati Pendidikan)

ALHAMDULILLAH akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pada Kamis (15/6/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.

“Amar putusan, dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman.

Dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya, saat membacakan amar Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022.

Yang mengajukan permohonan adalah Riyanto, Nono Marijono, Ibnu Rachman Jaya, Yuwono Pintadi, Demas Brian Wicaksono,  dan Fahrurrozi disebut sebagai pemohon 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 .

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 27 Oktober 2022 memberi kuasa kepada Sururudin, S.H., LL.M., Iwan Maftukhan, S.H., dan Aditya Setiawan, S.H., M.H.

Para advokat dan penasihat hukum pada kantor hukum DIN LAW GROUP, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa.

Masyarakat sudah hampir putus asa dengan penegakan hukum di Indonesia, karena selama ini banyak kasus hukum yang jauh dari prinsip-prinsip penegakan hukum dan melukai rasa keadilan masyarakat.

BACA JUGA :  SOLUSI AGAR GURU BEBAS DARI PINJOL

Setingkat anak SMA saja sudah tahu akan kebobrokan hukum di Indonesia, misal kasus HRS yang hanya melanggar protokol kesehatan.

Namun, tetap di proses secara hukum dan divonis 6 tahun penjara yang akhirnya banding kasasi menjadi 4 tahun.

Setingkat pakar hukum Tata Negara (TN) Prof, Refly Harun pendapatnya dalam persidangan HRS juga tidak dianggap dan didengar.

Pendapat beliau sebagai saksi ahli mengatakan yang namanya pelanggaran itu seperti pelanggaran protokol kesehatan cukup didenda saja, tidak bisa dipenjara, karena hal ini bukan kejahatan.

Dengan sangat gamblang Prof. Refly Harun mengatakan jika yang namanya pelanggaran cukup didenda, sedang jika kejahatan maka bisa dipidanakan dan dipenjara.

NKRI sebagai negara hukum seperti yang terdapat di UUD NRI tahun 1945, sekarang kalah dengan kekuasaan.

Jadi politik lebih berkuasa dari pada hukum, atau bukan negara hukum, tapi negara kekuasaan, kan salah besar bro.

BACA JUGA :  Ini Daftar Pemain Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Lawan Irak dan Filipina

Juga kasus-kasus yang lain juga sungguh memprihatinkan seperti pelanggaran berat Hak Asasi Manusia kasus KM 50 yang sangat kontroversial.

Kasus Brigade Yoshua yang berbuntut ke kasus Sambo yang modusnya mirip kasus KM 50. Kasus-kasus korupsi yang hukumannya sangat ringan rata-rata di bawah 5 tahun.

Yang mengembat uang rakyat milyar bahkan sampai trilyunan, wah jika di Cina itu sudah dikepret dihukum mati di tiang gantungan.

Sampai-sampai Prof Denny Indrayana mantan Wamen Kemenkumham era SBY mengatakan silahkan berkorupsi asal satu koalisi dijamin aman.

Tapi jika di pihak oposisi tidak korupsipun bisa dibuat salah dan dicolok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Baik kita berpikir positif saja, semoga putusan MK kali ini menjadi awal tegaknya hukum di Indonesia. Jayalah Indonesiaku. ***

 

Follow dan Baca Artikel lainnya di Google News

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================