SAYA tengah membaca laporan World Economy Forum (WEF) 2015 yang membahas 10 tren masalah yang bakal mengemuka di dunia dalam 15 hingga 18 bulan ke depan. Laporan itu menyebutkan dengan mengetahui apa saja masalahnya, kita bakal tahu langkah-langkah apa yang mesti disiapkan untuk mengantisipasi.
Oleh: RHENALD KASALI
Laporan WEF itu menÂgasyikkan, tetapi sekaÂligus menggetarkan. Pengantar untuk tuÂlisan tersebut dibuat Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat. Lalu, setiap tren juga ditulis tokoh-tokoh ternama. Misalnya, artikel tentang terus meningkatnya jumlah pengangÂguran di dunia ditulis Larry SumÂmer dari Harvard University. UnÂtuk kali ini saya akan membahas topik yang ditulis Matt Damon, seorangaktoryangpunya perhaÂtian besar terhadap isu-isu lingÂkungan hidup dan pendiri water. org, serta Gary White yang CEO water.org. Topiknya tentang inÂcreasing water stress. Saya pilih topik ini karena kebetulan cocok dengan kondisi aktual yang terÂjadi di Indonesia, yakni masalah kekeringan. Bagi saya kekeringan itu adalah salah satu gambaran dari masalah besar yang dihadapi masyarakat dunia. Apa itu? Akses terhadap ketersediaan air.
Dampak Kekeringan
Saya akan mulai dengan isu kekeringan. Bagi Anda yang tingÂgal di perkotaan tentu merasakan betul fenomena ini. Panas kian terik menyengat. Debu-debu kian banyak yang berhamburan. SunÂgai-sungai kering, airnya menghiÂtam bak jelaga. Saking keringnya bahkan di sana akhirnya kita bisa melihat sampah-sampah yang terÂbenam di bagian dasarnya. Tapi kita yang tinggal di kota masih beruntung karena sampai koÂlom ini ditulis kita tidak sampai mengalami kekurangan pasokan air. Krankran air kita masih menÂgucur. Alirannya masih deras meski mutunya memprihatinkan. Kadang keruh dan kita bisa meneÂmukan endapan kotorannya. Tapi di banyak wilayah lain, sebaliknya telah terjadi.
Di daerah tertentu kondisÂinya lebih memprihatinkan. MerÂeka tidak bisa memperoleh air. Kita bisa membacanya melalui laporan berbagai media. Setidak-tidaknya ada 12 provinsi yang terÂancam kekeringan. Kali ini lebih parah ketimbang kekeringan pada tahuntahun sebelumnya. Sebagaimana dilaporkan BBC InÂdonesia, keluhan ini dilontarkan Tatang, seorang warga IndraÂmayu, Jawa Barat, yang sudah 25 tahun menjadi petani. Parahnya kekeringan kali ini juga dipicu fenomena El Nino. Bagi yang masih awam, saya sederhanakan saja pengertiannya. Fenomena El Nino dipicu meningkatnya suhu permukaan air laut di kawasan Pasifik.Akibatnya massa uap air yang berada di Indonesia ditarik ke kawasan tersebut. Indonesia pun miskin uap air. Ini yang memÂbuat hujan tak kunjung turun. Jadi kalau dalam kondisi normal mungkin Agustus atau September hujan mulai turun. Namun kali ini mungkin hujan baru mulai turun pada November 2015. Mundur tiga sampai empat bulan.
Bahkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menilai dampak El Nino kali ini lebih buruk ketimbang yang terÂjadi pada 1997-1998. Bicara tahun itu, saya tibatiba bergidik. Kita semua tentu masih ingat dengan peristiwa mengerikan yang terÂjadi pada tahun-tahun itu. Itulah tahun ketika bangsa kita menÂgalami krisis ekonomi dan krisis politik bahkan sebetulnya krisis moral ketika menyaksikan penjaÂrahan dan kekerasan yang terjadi sekaligus yang mengakibatkan jatuhnya rezim Soeharto. Kali ini, dampak El Nino agaknya bakal luÂmayan serius. Di beberapa daerah saya baca berita tentang sawah yang puso atau gagal panen akiÂbat kekeringan.
Luasannya lumayan maÂsif. Ini membuat produksi padi bakal menurun. Kita terancam kekurangan pasokan pangan. Itu sebabnya kali ini saya bisa mengerti kalau Bulog sudah harus mengimpor beras dalam volume yang lumayan besar, mencapai 500.000 ton. Saya kira, El Nino berpotensi mengganggu produksi pangan, bukan hanya di negara kita, tetapi juga di tingkat global. Panen yang buruk bakal terjadi di berbagai belahan dunia. Di Brasil, misalnya, kekeringan juga terjadi secara meluas. Saya baca, di sana panen kopi di sana terancam gaÂgal. Brasil adalah produsen kopi terbesar di dunia. MudahmudaÂhan ini tak sampai membuat harÂga kopi, yang kita nikmati setiap pagi, bakal naik.
Di Australia, El Nino juga menÂgancam panen tebu, pisang, dan bahkan mengganggu produksi heÂwan ternak. Lalu di India, El Nino mengancam produksi padi dan kacang-kacangan. Dengan kondisi semacam itu, tak mengherankan kalau harga-harga produk pangan bakal melonjak. Bank Indonesia memperkirakan dampak kekerinÂgan bakal membuat harga sejumÂlah komoditas pangan bakal naik 5% sampai 10%. Jadi, kali ini BuÂlog harus benar-benar agresif berÂburu beras di pasar untuk mengaÂmankan stok. Saya berharap aksi Bulog kali ini tidak diganggu poliÂtisi atau dipolitisasi.
Kemudian dikait-kaitkan dengan pilkada serentak pada Desember nanti. Lalu, yang juga tak kalah mengeringkan adalah El Nino mengakibatkan titik-titik api di sejumlah lokasi terus meÂningkat. Selama beberapa tahun silam kebakaran hutan terjadi di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan. Negara kita kemudiÂan disebut sebagai eksportir asap. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya gangguan hubungan antara Indonesia dengan MalayÂsia dan Singapura. Kita tentu tak mau peristiwa tersebut berulang. Maka kita tak bisa lagi mengantiÂsipasi kekeringan dengan caraÂcara biasa. Cara-cara yang kita lakukan di masa lalu. Salah satu isu untuk mencegah kebakaran hutan adalah pembuatan canal blocking. Kanal-kanal ini dibuat untuk mencegah api merambat dari satu lokasi ke lokasi lain. Mestinya sampai Mei 2015 kita suÂdah membuat 10 canal blocking. Kenyataannya itu tidak terjadi karena kalangan pemerintah daeÂrah tak berani mengambil keputuÂsan untuk mengeksekusi gagasan tersebut.
Waduk
Baiklah, kita kembali bicara soal kajian WEF yang bicara soal krisis air tadi. Intinya begini. Menurut kajian WEF, krisis air mencakup dua isu utama, yakni ketersediaan cadangan air dengan akses terhadap cadangan terseÂbut. Ada kawasan yang cadangan airnya berlimpah, tapi masyaraÂkatnya mengalami krisis air.
Ini, misalnya, terjadi di EthioÂpia. Tapi, ada daerah yang sumÂber airnya sangat terbatas, tetapi pasokan air bagi masyarakatnya sangat berlimpah. Ini, misalnya, terjadi di Arab Saudi. Bagaimana dengan di Asia, seperti IndoneÂsia? Cadangan air mungkin bukan masalah serius. Tapi tingginya keÂpadatan penduduk di beberapa kawasan di Asia mungkin berÂpotensi menimbulkan masalah yang serius. Lalu, krisis air makin juga diperparah dengan adanya kemiskinan. Di India, misalnya, sekitar 100 juta warganya yang miskin kesulitan memperoleh akses air bersih. Perubahan iklim yang berkelanjutan juga bakal menjadi masalah besar. Proyeksi water.org begini.
Jika tahun 2005 kelangkaan air dialami oleh 2,837 miliar penÂduduk bumi, untuk tahun 2030 bakal meningkat sekitar 38% menjadi 3,901 miliar. Mengerikan. Mudah-mudahan itu tak sampai terjadi. Solusinya, pemerintah mesti berperan aktif. Dan saya gembira melihat pemerintahan kita kali ini rajin membangun waduk. Jangan lupa, kita juga puÂnya teknologi membuat air dari penguapan di udara (embun). Kalau mau, sekarang ada banyak jalan. Mudah-mudahan kita tak sampai mengalami krisis air.
# Penulis adalah Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali