PERJANJIAN Pajajaran – Portugis dan pembanÂgunan benteng di Sunda Kalapa, segera memicu kecurigaan besar. Terutama dari Pangeran Trenggono. PembanguÂnan benteng itu, diangÂgap akan menghambat kepentingan ekspor dan perdagangan laut Demak.
Oleh :Â Bang Sem Haesy
KABAR yang bertiup dan samÂpai kepada Trenggono meÂmang pantas mengusik, karena perdamaian yang terjadi antara Portugis dengan Pasai sebelumnÂya, dianggap sebagai penaklukan atas Pasai. Jadi, bila Sunda Kelapa juga terkuasai oleh PorÂtugis, maka sempurnalah tiga pelabuhan utama jalur lintas perdagangan internaÂsional ke Eropa dan Afrika (Pasai, Melaka, dan Sunda Kelapa) berada dalam penÂguasaan Portugis.
Konsentrasi Prabu SuraÂwisesa membangun Pakuan dan mengembangkan produkÂsi pertanian, dianggap sebagai pembiaran bagi berkuasanya Portugis. Pangeran TrengÂgono mempersiapkan angkatan lautnya, untuk membebaskan Sunda Kelapa. Sabrang Lor ikut ambil bagian dengan sikapnya yang grasa-grusu. Pangeran Trenggono menugaskan Wong Agung Pasai untuk bertindak, menyerbu Sunda Kelapa.
Tindakan itu dilakukan, kaÂrena Pangeran Trenggono menÂganggap penguasaan Portugis atas Pasai dan Sunda Kelapa dengan sendirinya akan memÂbuat para pedagang dari Arab, Persia, dan China mengalihkan orientasinya ke wilayah lain. Pembebasan atas Sunda Kelapa dan Pasai, merupakan pilihan strategis untuk menarik minat para pedagang itu, langsung berÂhubungan dagang via Pelabuhan Banten.
Penyerbuan dilakukan dalam pergerakan serempak dari Barat dan Timur, yaitu BanÂten, Cirebon, dan Demak. Sunda Kalapa berhasil dikuasai pasuÂkan gabungan Banten, Cirebon, dan Demak. Prabu Surawisesa bereaksi, tetapi terhenti kaÂrena teringat pesan mendiang ayahnya untuk tidak melakukan perang saudara dengan Banten dan Cirebon.
Pasukan Pajajaran menjaga wilayahnya melalui formasi lingÂkar uga dan poros melintang dari Cikeas sampai Parung, disertai dengan pertahanan pasukan dari Indraprasta dan Tanjung Barat. Kelak, pasukan Portugis dipimpin Francisco de Sa melÂakukan serangan balik (30 Juni 1527) dan menguasai muara CisaÂdane yang kemudian berubah nama menjadi Rio de Sa Jorge. Brigade yang menguasai wilayah ini, kemudian dipimpin oleh DuÂarte Coelho.
Tahun ini juga (1527) SunÂda Kelapa takluk, ketika CoeÂlho meninggalkan Sunda Kalapa yang kemudian dipimpin oleh Wong Agung Pasai bergelar AdiÂpati Sunda Kalapa. Banten dan Cirebon bergabung dengan DeÂmak, dan berhasil menguasai Sunda Kelapa memicu aksi pemÂberontakan yang digerakkan Ratu Galuh Jayaningrat.
Mereka mengganggap, sepeninggal Prabu Siliwangi, Prabu Surawisesa berstatus sama dan setara dengan mereka. Lalu, Ratu Galuh Jayaningrat menghidupkan ‘hak historis’ dan menuntut kepada Cirebon untuk mengirim upeti kepadanya. CireÂbon menolak. Tahun 1528, pasuÂkan Galuh menyerang Cirebon, tapi dihadang oleh Adipati KunÂingan – Suranggajaya.
Prabu Surawisesa berusaha keras mengendalikan situasi, tapi tak berhasil. Harewosan (ruÂmors) tentang melemahnya PaÂjajaran, menyebar ke berbagai wilayah lain. Peringatannya tenÂtang masih banyak rakyat yang sengsara, tak digubris.
Para pujangga dan juru panÂtun, mengekspresikan dengan lirih situasi ini: “.. kiwari geuninÂgan sagala gati. Bongana pahiri-hiri. Parebut dipayung tangtung. Pagirang-girang tampiyan. Calik girang gede ajang. Naha alok henteu nyaho, somah nu lara balangsak. [..kini semua berdaÂrah-darah. Saling iri hati. Saling berebut kebesaran. Berebut rejeÂki. Berebut pangkat dan keduduÂkan. Merasa paling bersih. JanÂgan berpura-pura pada fakta sosial masih banyak rakyat yang hidup menderita – sengsara]. (*)