DALAM dua tulisan sebelumnya, merujuk pada Carita Parahyangan, saya ungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan Pajajaran dan Pakuan mengalami masa redup. Baik pada era Ratu Dewata, Ratu Sakti dan Nilakendra. Bagaimana ketiga penerus Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa itu mengalami masalah dalam menghadapi kompetisi akibat perubahan zaman.
Oleh : Bang Sem Haesy
Dalam hal menghadapi kompetisi, dari berÂbagai referensi yang debatable, mencuat pesan : jangan mengiÂkuti apa yang dilakukan Ratu Dewata dan kedua penerusnya, yang melakukan aksi a historis, dikontiÂnuitas. Terutama dalam mengÂhidupkan harmonitas hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Meski Ratu Dewata melakukan manurajasuniya, tapi bersifat sangat personal dan ubudi, tidak merupaÂkan aksi. Hanya hubungan spiritual kontemplatif dengan sang dewata. Padahal, tantangan jaman yang diÂhadapinya menuntut sikap rasional, berpijak di bumi.
Karena sibuk ber-manurajasuniÂya, itulah di masa Ratu Dewata, sejumlah daerah kawikuan (sentra-sentra pencerahan) yang sebelumnya dilindungi Pajajaran, seperti CiranÂjang, Cibadak, dan Pakuan sendiri, diporak-porandakan ‘musuh’. Karena sang raja: “Nya iyat-iyatna sangÂkawuri, haywa ta sira kabalik pupuaÂsaanâ€. Suatu sisindirian: Berhati-haÂtilah, dan jangan berpura-pura rajin puasa.
Sisindiran ekspresif menyampaiÂkan kegeraman melihat polah Ratu Dewat, yang dituding seolah-olah sengaja menyerahkan Pakuan, seÂbagai cara menghindari ancaman. Antara lain, dengan pura-pura tidak tahu, bahwa dia dan rakyat sedang terancam. Karena itu, masa kepemÂimpinan Ratu Dewata disebut sebaÂgai jaman samangkana ta precinta, jaman susah, karena raja terlalu yakin dirinya dicintai rakyat, dan lupa mengambil aksi strategis.
Ratu Dewata yang lebih suka bersunyi-sunyi dan ‘ngibuda’ banÂdera bodas. Penerusnya, Ratu Sakti menggelisahkan kawula. Ia menyuarÂakan perubahan revolusioner selama dua belas tahun kepemimpinannya, dengan cara gurung-gusuh. Terburu-buru. Ingin cepat beraksi dan mengÂabaikan perencanaan komprehenÂsif. Ratu Sakti berambisi mengubah keadaan, dengan ambisi besar tanpa melihat realitas.
Di bawah kepemimpinannya, rakyat yang kadung lemah tanpa daya, dipaksa berubah frontal. RevoÂlusi sosial dilakukannya. Celakanya, esensi sabalegandrung (visi dan persepsi) tentang perubahan, itu tak dipahami aparatur dan kawulanya. Akibatnya, banyak aturan yang ditaÂbrak. Ketika tahu, ditarik kembali. Seperti kereta yang sedang langsir.
Hak-hak dasar rakyat terabaiÂkan. Pelanggaran susila berlangÂsung dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya larangan mengawini perÂempuan pengungsi yang telah berÂtunangan, estu larangan ti kaluara, diabaikan begitu saja. Tragis, akhirnÂya, Sri Ratu mengakhiri kepemimpiÂnannya dengan lembaran hitam.
Setelah itu, Pakuan pun menÂgalami pareuman jagad. Kehidupan rakyat tak menentu dan dirundung pesimisme. ‘Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepeleÂkanâ€. Kelaparan dan saling serakah memperebutkan makanan, tidak produktif, dan malas.