SALAH satu hal menarik selepas Pajajaran Murba, adalah catatan-catatan dari orang Eropa. Bila Scipio, mencatat pada 1 September 1687, bahwa bekas pusat KeraÂjaan Pajajaran hanya tinggal puing belaka dan kosong tanpa penghuni. Catatan Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs, pada 23 Desember 1687 justru bercerita lain.
Oleh : Bang Sem Haesy
KEPADA bosnya di AmsterÂdam, Camphuijs menulis : “Dat hetselve paleijs specialijck de verheven zitplaets van den JaÂvanese Coning Padzia Dziarum nu nog geduizig door een groot getal tijgers bewaakt en beÂwaart wort.†Istana dan teruÂtama tempat duduk raja yang ditinggikan – sitinggil –- kepuÂjaan raja ‘Jawa’ Pajajaran, sekarang ini masih dikerumuÂni dan dijaga oleh sejumlah besar harimau?
Laporan CamÂphuijs tentu merujuk cerita Scipio pada 31 Agustus 1687 malam, ketika anak buahnya patah leher diterkam harimau di tepi Cisadane, tak jauh dari bekas istana Pakuan. CamphuÂijs juga mendengar cerita penÂduduk yang menemani Scipio.
Menyimak cerita di atas, saya memahami, harimau yang dimaksudkan bukanlah harimau jejadian, alias siluÂman maung. Secara rasional memang bisa dipahami, begitu kerajaan sudah ditinggalkan, sejumlah harimau dari Gunung Salak, tidak mustahil datang berkunju ke bekas keraton di Batu Tulis, itu. Tempat harimau berkumpul itu, diyakini oleh penduduk Parung Angsana yang mengantar Scipio sebagai Singgasana Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa.
Dalam catatan Winkler disÂebut, Scipio sangat menghorÂmati atas peninggalan Pajajaran yang sudah menjadi puing itu. Bagi Penduduk Parung Angsana yang sebagian besar berasal dari Sumedang Larang, keberadaan harimau dan bengkalau keraÂton Pajajaran, termasuk sitingÂgil Prabu Siliwangi, mempunyai ‘nilai’ tersendiri. Realitas dan mitos yang menyatu di benak mereka, mengesankan, di situ terasa aura yang sangat kuat. Berdimensi magis.
Mereka secara serta merta menyebut harimau yang berÂmain di bekas sitinggil, itu merÂupakan harimau yang secara instink menjaga tempat berseÂjarah itu. Belakangan, setelah berkembang sebagai cerita dari mulut ke mulut, mulai berkemÂbang mitos, seolah-olah hariÂmau itu merupakan prajurit Pajajaran yang berubah wujud menjadi harimau.
Saya tidak tertarik untuk menghubung-hubungkan realiÂtas dengan mitos. Yang menarik perhatian saya justru, keyakiÂnan penduduk Parung Angsana yang berkeyakinan, bahwa segala yang tertinggal di Batu Tulis, termasuk menhir, harus dijaga dan dipelihara. Semua yang tampak dan tak tampak di situ, dimaknai sebagai harta karun.
Siapa yang memelihara ‘harta karun’ itu akan hidup seÂjahtera dan siapa yang merusak atau merampas ‘harta karun’ itu akan hidup nelangsa. MakÂna mendalam dari pesan itu adalah: semua orang yang meÂnegakkan kejujuran, adil, tidak loba, tidak tamak, dan mengiÂkuti seluruh ketentuan tentang cara menyejahterakan rakyat, terbebas dari hawa nafsu, akan selamatlah dia. Sebaliknya, siaÂpa saja yang merusak – semua nilai itu dan dikendalikan nafsu – akan merana hidupnya.
Sikap dan pandangan saya tersebut, sempat saya kemuÂkakan kepada sejumlah teman (antara lain Achiel – Bimbo), ketika kami melakukan aksi di Kebun Raya Bogor, memprotes kelakuan tamak Menteri Agama Prof. Dr. Said Agil Al MunawÂwar – beberapa tahun lalu. Menteri Agama yang rada aneh dan ironis itu, memerintahkan orang membongkar menhir di Batu Tulis untuk memperoleh harta karun.
Tak berapa lama dari keÂjadian itu, pejabat Menteri AgaÂma itu, masuk penjara karena kasus korupsi. Karena melawan pamali? Saya lebih meyakini, karena kelakuan Profesor yang bangor itu, bertentangan denÂgan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan yang ditinggalkan Prabu Siliwangi di situ.