DANA Moneter Internasional (International Monetary Fund) memproyeksikan penerimaan Indonesia tahun ini jebol dan akan mengalami kekurangan (shortfall) hingga Rp301 triliun. Apa saja penyebabnya?
Oleh : Yuska Apitya
[email protected]
IMF memproyeksi defisit angÂgaran pemerintah tahun ini menjadi 2,8 persen, melebar dari yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan BeÂlanja Negara (APBN) 2016.
Senior Resident RepresentaÂtive IMF unÂtuk IndoÂnesia Ben Bingham mengatakan sejumlah faktor baik domestik maupun eksternal mempengaÂruhi kondisi penerimaan negara tahun ini.
Salah satunya, rendahnya harga komoditas menjadi salah satu penyebab berkurangnya potensi penerimaan negara taÂhun ini. “Sebagai hasilnya, IMF memprediksi defisit anggaran pemerintah bisa semakin meÂlebar apabila pemerintah tidak memiliki strategi taktis untuk meningkatkan penerimaan negÂara,†ujar Bingham di Jakarta, Selasa (22/3).
Secara rinci dalam laporan Article IV, IMF memproyeksikan penerimaan negara tahun ini hanya mencapai Rp1.531 triliun atau 83 persen dari target APBN 2016 yang mencapai Rp1.823 triliun.
Adapun penerimaan pajak diproyeksi hanya akan mencapai Rp1.297 triliun atau 83 persen dari target pajak tahun ini yang mencapai Rp1.547 triliun. Dari sektor minyak dan gas (miÂgas), tahun ini IMF memproyeksiÂkan pemerintah tidak bisa berharap banyak dari sektor tersebut. Negara diproyeksi hanya mampu menerima Rp100 triliun dari targetnya Rp120 triliun.
Namun, pemerintah dinilai bisa mengoptimalkan penerimaan dari sektor non migas. Salah satunya denÂgan meningkatkan tarif untuk Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak PertamÂbahan Nilai (PPN) non migas. “OtoÂritas fiskal harus mengambil langkah awal untuk meningkatkan peneriÂmaan tahun ini termasuk mengupayÂakan pemungutan pajak dari bahan bakar, tembakau dan kendaraan,†ujar Bingham.
Dengan cara tersebut diperkiÂrakan penerimaan negara bisa bertÂambah 0,6 persen dari PDB. “Coba kombinasikan dengan mengurangi rasionalisasi belanja yang dianggap tidak penting, dengan begitu kami yakin defisit anggaran terhadap PDB bisa lebih rendah dari 2,5 persen,†katanya.
Dengan merivisi APBN, menurutÂnya, pemerintah telah memberikan kepastian kepada investor bahwa ambisi pemerintah untuk mengebut pembangunan infrastruktur bisa diÂpenuhi tahun ini. “Saya melihat suÂdah ada langkah dari Kementerian Keuangan untuk mengatasi masalah pembiayaan anggaran tahun ini, suÂdah ada inisiatif untuk mengkoreksi APBN tahun ini,†katanya.
Ben Bingham mengatakan denÂgan revisi APBN lebih cepat, ada kepastian bagi pemerintah untuk menyesuaikan alokasi anggaran khuÂsusnya dalam membiayai pembanÂgunan infrastruktur. Pasalnya, angÂgaran pembangunan infrastruktur merupakan salah satu andalan IndoÂnesia dalam menghadapi tantangan berat perlambatan ekonomi global tahun ini.
“Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh Indonesia untuk menghaÂdapi guncangan ekonomi tahun ini salah satunya melalui fleksibilitas fisÂkal seperti revisi APBN. Kami melihat perlu ada penyesuaian (APBN) lebih cepat untuk memberikan kepastian terhadap keberlanjutan pembanguÂnan infrastruktur,†ujarnya.
Salah satu pos yang perlu menÂgalami koreksi, menurut Ben adalah target penerimaan negara. MenuÂrutnya, tahun ini pemerintah harus mempertimbangkan kembali impleÂmentasi pengukuran penerimaan negara. Pemerintah diharapkan mampu memanfaatkan momentum perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) maupun penÂgampunan pajak (tax amnesty) unÂtuk membuat ukuran baru dalam target penerimaan negara. “Banyak hal yang masih bisa dilakukan unÂtuk ekstensifikasi pajak. Pengenaan pajak untuk barang-barang seperti bahan bakar, kendaraan pribadi dan tembakau masih ada peluang untuk dioptimalkan,†katanya.
Pangkas Belanja
Selain itu, IMF juga menyarankÂan adanya pemangkasan anggaran belanja tahun ini. Khususnya pemoÂtongan anggaran belanja untuk sektor-sektor yang non prioritas. Dengan antisipasi yang lebih awal ini, pemerintah tidak perlu lagi pusÂing memutar otak untuk menambal target penerimaan pada saat akhir tahun.
Tahun ini IMF memproyeksi perÂtumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan mencapai 4,9 persen, lebih tinggi dari rata-rata total pertumbuÂhan ekonomi global yang mencapai 3,6 persen. Meski proyeksi tersebut dinilai pesimistis oleh pemerinÂtah Indonesia, menurutnya, angka proyeksi tersebut lebih bagus jika dibandingkan proyeksi pertumbuÂhan negara-negara berkembang (emerging market) lainnya yang diÂprediksi stagnan bahkan mundur. «Brazil, Rusia dan Afrika Selatan tahun jauh lebih lambat tahun ini, namun kami yakin Indonesia akan lebih baik dibandingkan mereka,» katanya.
Pangkas Subsidi Energi
Pemerintah sebenarnya telah mengambil langkah. Sejumlah pos anggaran akan mengalami penyeÂsuaian dalam Anggaran PendapaÂtan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016.
Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengungkapkan, satu pos anggaran yang akan mengalami perubahan dalam APBNP 2016 ialah subsidi untuk sektor energi nasionÂal. «Iya pasti ada perubahan. Seperti subsidi Elpiji (3 kilogram) itu pasti ada penurunan,» ujar Bambang, keÂmarin.
Selain penjualan elpiji 3 kg, BamÂbang bilang sedianya pemerintah juga tengah menimbang penguranÂgan subsidi untuk sejumlah pelangÂgan listrik bergolongan 900 volt amÂpere (va).
Pengurangan subsidi listrik sendÂiri didasarkan pada program peÂnyaringan pelanggan listrik miskin yang saat ini dilaksanakan oleh PT PLN (Persero) bersama Tim NasiÂonal Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). “Kalau PLN (listrik) ya tergantung kapan yang keÂlas 900 itu di-adjustment. Nanti kita lihat,†imbuh Bambang.
Kurangi Subsidi Solar
Sebelumnya, menyusul pengumÂpulan Dana Ketahanan Energi (DKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga tengah mewacanakan pengurangan pemÂberian subsidi terhadap bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dalam pagu APBNP 2016.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Sujatmiko menÂgungkapkan, pengurangan subsidi terhadap solar dimaksudkan guna menjamin ketersediaan Dana KetÂahanan Energi (DKE) yang sedianya akan dipakai untuk meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia.
“Ada wacana untuk kurangi subÂsidi solar (yang saat ini) Rp1.000 (per liter). Kalau (bisa) kurangi subÂsidi, kita akan ada alokasi anggaran untuk program lain yang lebih tepat sasaran misalnya untuk DKE,†tanÂdasnya. (*)