BOGOR, TODAY — Hingga akhir Februari dana simpanan milik pemerintah daerah (Pemda) yang mengendap di bank semakin meningkat. KaÂbupaten Bogor masuk dalam lima besar daeÂrah kabupaten di InÂdonesia dengan dana endapan terbesar.
Direktorat Jenderal Perimbangan KementÂerian Keuangan mencatat per Februari posisi dana simpanan Pemda sebesar Rp185,4 triliun, meningkat dari bulan Januari senilai Rp180,7 triliun.
Kemenkeu mencatat pengendaÂpan dana simpanan milik Kabupaten/Kota lebih tinggi jika dibandingkan dana milik Provinsi. Posisi simpanan Pemda pada akhir Februari 2016 sebeÂsar Rp185,4 triliun terdiri dari dari dana provinsi Rp49,5 triliun serta dana KabuÂpaten/Kota Rp135,9 triliun.
Sementara itu, posisi simpanan Pemda dan bulan Januari 2016 sebesar Rp180,7 triliun, terdiri dari Provinsi Rp53,8 triliun, dan Kabupaten/kota Rp126,9 triliun.
Posisi simpanan Pemda pada akhir Februari 2016 tersebut juga meningkat jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp181,2 triliun atau masih lebih besar sekitar Rp4,2 triliun.
Adapun tiga daerah Provinsi dengan posisi saldo simpanan di perbankan tertinggi adalah Jawa Timur, Jawa TenÂgah, dan Jawa Barat. Sementara untuk kategori Kabupaten/Kota anatara lain DKI Jakarta, Bogor, Bekasi, Bandung, Medan, Surabaya dan Tangerang.
Kendati demikian, Dirjen PerimÂbangan Kemenkeu Boediarso Teguh Widodo mengatakan kendati posisi simpanan Pemda dari bulan Januari ke Februari 2016 tersebut masih menÂgalami kenaikan, tetapi telah terjadi perubahan yang cukup signifikan ke arah perbaikan dari pola tahun sebeÂlumnya.
“Perbaikan posisi simpanan Pemda di perbankan yang terjadi di bulan FebÂruari 2016 ini mengindikasikan adanya perbaikan awal dalam pelaksanaan belanja APBD, dan pola pengelolaan keuangan daerah,†ujar Boediarso, di kantor Kemenkeu Jakarta, kemarin.
Boediarso menduga Hal ini antara lain sebagai dampak adanya ketentuan pengaturan penyampaian LRA (lapoÂran realisasi anggaran), posisi kas, dan perkiraan kebutuhan belanja operaÂsinal dan modal 3 bulan, yang disertai dengan penerapan sanksi penundaan Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Bagi Hasil (DBH) bagi daerah yang lalai memenuhi kewajibannya. “Serta penÂgaturan penyaluran DAU dan atau DBH dalam bentuk nontunai bagi daerah yang mempunyai saldo kas yang tidak wajar,†ujarnya.
Selain itu, kenaikan dana simpanan tersebut juga dinilai merupakan damÂpak dari penerbitan PMK 235/2015 yang mengatur mengenai pengelolaan APBD.
Boediarso mengklaim adanya penÂingkatan disiplin Pemda untuk meÂnyampaikan data-data APBD secara rutin dan tepat waktu kepada pemerÂintah pusat melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) untuk mengÂhindari sanksi penundaan penyaluran DAU/DBH setiap bulannya. “Adanya ketentuan bahwa data APBD disampaiÂkan melalui SIKD menyebabkan daerah berupaya untuk mampu menyampaiÂkan data secara elektronik,†katanya.
Lebih jauh, Pemda juga disadarkan dengan kenyataan mengenai pergerÂakan dan besaran simpanan Pemda di perbankan sebetulnya dapat dikontrol oleh pemerintah pusat melalui Bank Indonesia. Sehingga Pemda diharapÂkan lebih berhati-hati dalam melakukan penyimpanan dananya di bank, mengÂingat adanya sanksi akan dikenakan keÂpada daerah yang memiliki simpanan di bank dalam jumlah yg tidak wajar atau di atas rata-rata nasional.
Sebelumnya Menteri Keuangan Bambang P.S Brodjonegoro berharap peningkatan penyerapan APBD selain mencerminkan pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik juga memiliki dampak makroekonomi yang positif, karena belanja pemerintah daerah seÂcara kumulatif merupakan komponen belanja pemerintah dalam perhitungan pembentukan PDB.
“Dengan demikian semakin besar belanja daerah semakin besar sumÂbangannya terhadap PDB. Selain itu, belanja daerah yang lebih cepat akan meningkatkan multiplier effect bagi pembangunan daerah,†jelas BoediarÂso.
(Yuska Apitya Aji)