SALAH satu tantangan terbesar membangkitkan kembali kejayaan Bogor di masa kini dan mendatang, adalah membangun karakter manusia. Tantangannya relatif sama dengan tantangan yang dihadapu Prabu Siliwangi dan Prabu SurawiseÂÂsa. Kini, dengan post modernisme dan post industrial society, tentu lebih kompleks lagi.
Bang Sem Haesy
TERKAIT dengan pemberdayaan masyarakat (rakyat), pembinaan watak – mental dan spiritual – rakyat menjadi penting. Pemerintah (umaÂÂra) bersama-sama dengan cendekiÂÂawan (ulama) mempunyai tugas dan tanggungjawab sangat besar.
Salah satu watak yang paling berat dihadapi adalah watak wiÂÂrang. Yaitu, watak yang terbangun oleh kebiasaan dan pembiasaan tidak mau jujur, tidak mau benar, tidak mau layak, tidak mau terus terang, dan tidak mau kapok unÂÂtuk tidak melakukan perbuatan
Di sisi lain yang termasuk denÂÂgan watak Wirang, ini adalah ketÂÂagihan berbuah buruk – termasuk berzinah, berjudi, mabuk, narkoba, dan sejenisnya. TerÂÂmasuk ketagihan ‘membunuh’ – mematikan karir seseorang yang dianggap kompetitor.
Dalam konteks itulah, pemÂÂbangunan mesti diorientasikan pada pembangunan lingkunÂÂgan sehat, lingkungan cerdas, dan lingkungan mampu secara ekonomi. Lingkungan yang sosial yang di dalamnya tumÂÂbuh berkembang harmonitas nilai kebaikan dan kebajikan, meski tak bisa sepenuhnya memberantas atau menihilkan semua keburukan. Tapi, intiÂÂnya adalah, setiap pemimpin dalam menjalankan aksi kepeÂÂmimpinannya, mempunyai tugas pokok: mendidik rakyat. Salah satu cara mendidik rakyÂÂat adalah memberi teladan keÂÂbaikan dan kebajikan : satunya kata dengan perbuatan.
Watak wirang adalah watak yang menghambat kemajuan, karena bertentangan dengan asas atau prinsip tentang profeÂÂsionalitas berbasis kompetensi di segala bidang. Selain itu, watak wirang juga bertentanÂÂgan dengan anasir-anasir peÂÂrubahan, baik dalam konteks reformasi maupun transforÂÂmasi. Secara psikososial, watak wirang dapat dikatakan sebagai penyakit masyarakat.
Watak wirang ini yang kelak akan mendorong terjadinya masyarakat korup, tidak disipÂÂlin, dan limbung terhadap peÂÂrubahan yang bergerak sangat cepat. Terutama, karena dalam etos kehidupan masyarakat Sunda di Pakuan, berlaku prinÂÂsip : Ngeduk cikur kedah mihaÂÂtur, nyokel jahe kedah micarek. Bersendi kepercayaan (trust) – tidak moleh maling, tidak boÂÂleh korupsi, mendapatkan hak dengan cara yang benar.
Untuk itu, diperlukan perilaku hidup yang tepat dan benar, yaitu sacangreud pageuh pangkek (konsisten dan konÂÂsekuen menegakkan komitmen, janji). Terutama terhadap sumpÂÂah (formal dan non formal) dalam mengemban amanah dan tanggungjawab. Misalnya, kalau berjanji akan memimpin selama lima tahun, maka konsisten tidak mengurangi sedikitpun janji tersebut, meskipun ada kesempatan untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi. Sikap semacam ini sangat diperÂÂlukan untuk mencapai kejayaan yang diidamkan dan dicita-citaÂÂkan secara kolektif.
Oleh sebab itu pula setiap insan sebagai pemimpin, haÂÂrus mempunyai integritas diri, kepribadian kokoh, dan beraÂÂkhlak mulia : Ulah lunca linci luncat mulang udar tina tali gadang, omat ulah lali tina purÂÂwadaksina.