Oleh: SATRIO WAHONO
Sosiolog dan Magister Filsafat UI, tinggal di Jakarta
Melihat perjalanan pemberantasan korupsi dan deÂmokrasi di IndoÂnesia sungguh membuat miris. Betapa tidak, deÂmokrasi yang sudah kita coba raÂjut selama lebih dari 17 tahun seÂjak 1998 tak kunjung melahirkan perubahan signifikan bagi maÂsyarakat dari segi kesejahteraan. Korupsi justru begitu meruyak di berbagai lini. Terakhir, kasus korupsi dana bantuan sosial (banÂsos) Sumatera Utara yang melibatÂkan begitu banyak tersangka yang sudah ditahan, mulai dari GuberÂnur Sumatera Utara hingga ketua badan legislatif alias DPRD-nya.
Belum lagi jika kita melihat kasus-kasus korupsi di berbagai daerah lain dan di tingkat nasiÂonal. Artinya, demokrasi belum membuahkan prestasi dari segi penghormatan terhadap hukum (rule of law) dan juga pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Wajar jika banyak orang bertanya: apa yang salah dengan demokrasi InÂdonesia?
Salah satu kemungkinan jawÂaban pertanyaan di atas bisa kita dapatkan apabila menelaah teori Mancur Olson tentang “bandit pengembara atau berkeliaran†(roving bandits). Menurut Olson (lihat I. Wibowo, Negara dan BanÂdit Demokrasi, Penerbit Buku Kompas, 2011), ada dua tipe banÂdit dalam diskursus politik dunia. Pertama, bandit menetap (staÂtionary bandits) yang umum ada dalam sistem politik represif. Ini adalah tipe penjarah atau bandit yang mengorupsi uang rakyat, tetapi dengan cara yang penuh hati-hati supaya harta jarahan tiÂdak segera habis.
Pada masa rezim represif, para bandit ini tidak akan menguÂras habis wilayahnya. Bahkan, ia akan menjaga wilayahnya memÂberikan keleluasaan kepada penÂduduknya untuk terus maju.
Dengan cara itu, ia akan terus dapat menarik berbagai pungÂutan yang merupakan sandaran hidupnya. Dengan kata lain, para penjarah ini umumnya menetap alias bertahan lama dalam satu sistem politik represif sehingga merÂeka perlu memastikan harta negara tersedia untuk waktu panjang.
Ini juga supaya rakyat ikut menikmati tetesan harta tersebut sehingga tidak melakukan tindaÂkan yang dapat mengguncang stabilitas politik. Itulah sebabnya Tiongkok merupakan salah satu contoh penting penerapan konÂsep bandit menetap.
Guna melanggengkan kekuaÂsaan sekaligus menikmati geliÂmang harta negara, para elite politik Negeri Tirai Bambu ini memastikan harta negara tetap tersedia secara memadai bagi seluruh rakyat, meskipun hanya dalam taraf hidup minimal.
Kedua, bandit pengembara atau berkeliaran (roving bandits). Inilah tipe penjarah yang paling berbahaya dan hidup di suatu sistem demokrasi yang masih dalam tingkat konsolidasi alias belum stabil.
Penjelasannya, setelah rezim represif runtuh munculÂlah para bandit lain berkeliaran dan kadang mengambil wujud sebagai “elite politik baruâ€. Ini menambahkan bandit lama yang memang masih bertahan dalam suatu perubahan politik yang bersifat reformasi alih-alih revÂolusi (transplacement).
Akan tetapi, karena para elite politik koruptif dalam suatu sistem demokrasi sadar posisi mereka bisa digantikan sewaktu-waktu oleh pemilihan umum berkala, mereka tak segan-segan untuk secara rakus menjarah harÂta negara sampai habis sebelum mereka mengembara ke lembaga atau tempat lain yang menjanjiÂkan harta baru.
Alhasil terjadilah korupsi sistematis berskala masif di suatu sistem demokratis yang belum stabil. Tambahan lagi, muncul pula fenomena para pejabat job seeker (pencari kerja) yang melompat ke institusi lain jika mereka terpental dari posisi awal.
Solusi
Berpijak pada kerangka teoriÂtis di atas, maklumlah kita menÂgapa demokrasi Indonesia justru berujung pada ekses berkecamÂbahnya korupsi. Itu karena menÂtalitas penjarah atau bandit yang sudah diwariskan dari sistem politik lama masih berlanjut ke sistem demokrasi baru.
Bahkan lebih parah lagi, menÂtalitas itu bertransformasi dari mentalitas “bandit menetap†ke “bandit pengembaraâ€. Ini akibat kesadaran para bandit tersebut bisa secara berkala melalui peÂmilu terdepak dari pentas kekuaÂsaan yang memberikan akses ekonomi.
Oleh karena itu, setidaknya ada dua solusi yang perlu ditemÂpuh untuk mengembalikan lagi perjalanan demokrasi kita ke jalur yang benar.
Pertama, para elite politik dan wakil rakyat harus mulai mengedepankan politik berbaÂsis ideologi dan platform politik yang jelas, serta mulai menyadari khitah utama seorang legislator sebagai wakil rakyat yang memÂperjuangkan kepentingan rakyat.
Dengan demikian, mereka tidak perlu khawatir tidak terÂpilih lagi dalam periode pemiliÂhan umum berikutnya. Hal ini sekaligus akan mengikis “menÂtal bandit†dalam diri para elite politik. Revolusi mental semaÂcam ini tentu tak sekedar bisa diÂharapkan dari kesadaran pribadi, tetapi harus melibatkan instruksi dan komitmen tegas dari atas yaitu dari partai politik sebagai pencetak kader-kader elite politik.
Kedua, penegakan hukum terÂhadap kejahatan koruptif perlu diperkuat. Artinya, sinergi antara berbagai lembaga pro justisia-seperti Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan KPK perlu diperkuat. Ditambah upaya penguatan KPK menjadi niscaya sebagai bagian dari solusi jangka pendek.
Berbekal kedua solusi di atas, semoga demokrasi kita di IndoÂnesia mampu mewujudkan tiga pilar demokrasi sejati yaitu keÂbebasan, supremasi hukum, dan kesejahteraan masyarakat.
(intennadya)