BUDAYA suatu masyarakat mengikuti perkembangan pemikiran yang dipenÂgaruhi pengalaman hidup nyata maupun imajinasi abstrak, yang saling menguatkan satu dengan lainnya secara integral dan komprehensif. Hal tersebut memberi pengertian kepada kita, bahwa budaya memadukan disiplin berfikir, pikiran sintesis, pikiran kreatif, pikiran etis, dan pikiran untuk menghormati pandangan – sikap dan keyakinan orang lain.
Oleh : Bang Sem Haesy
DENGAN demikian, budaya dapat dipandang sebagai cipta, rasa, karsa, dan karya manusia sebagai daya koleÂktif untuk menggerakkan dinamika kehidupan suatu masyarakat, negaÂra, dan bangsa. Budaya selalu bergerÂak mengikuti proses perkembangan zaman melalui transformasi yang menghasilkan nilai-nilai cipta, rasa, karsa, dan karya secara kontemporÂer, yang disebut sebagai kebudayaan.
Karena itu kebudayaan suatu masyarakat selalu memberi ruang yang luas untuk berkembangnya berÂbagai hal positif dalam kehidupan masyarakat. Antara lain: toleransi, inovasi, kreativitas, jujur, kerja keras, adil, dan sikap berkompetisi dalam mewujudÂkan cita-cita, baik cita-cita personal – individual maupun cita-cita bersama kehidupan sosial. Termasuk interaksi harÂmonis antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modÂern. Interaksi itulah yang akhirnya melahirkan kecerdasan dan kearifan lokal, yang terbentuk melalui proses sintesis, asimilasi, dan akulturasi.
Pembangunan sebagai ikhtiar perubahan masyarakat menjadi kondisi yang lebih baik dan terbaik, dapat dipanÂdang sebagai jalan budaya secara terus menerus dan terÂbarukan. Dengan demikian, kebijakan budaya atau strategi kebudayaan menjadi bagian tak terpisahkan dalam seluruh proses penyelenggaraan pembangunan.
Kini kita menghadapi tidak hanya kondisi sosial, ekoÂnomi, dan politik yang ditimbulkan oleh berbagai krisis yang berlangsung di berbagai belahan dunia yang berpengaruh langsung dan tak langsung secara inward. Terutama kareÂna kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, memungkinkan seluruh dimensi dinamiÂka global memengaruhi dimensi budaya dan kemanusiaan.
Perubahan sistem politik dan kenegaraan, serta sistem ekonomi yang tengah berlangsung, belum disertai dengan transformasi budaya secara konkret. Akibatnya, dari persÂpektif budaya telah terjadi kegamangan dalam menghadapi perubahan yang sangat cepat. Bahkan dalam banyak hal menimbulkan disorientasi. Terutama, ketika nilai-nilai konÂtemporer global teradopsi dalam pemikiran dan perilaku masyarakat dalam menyikapi menjalani perubahan kehiduÂpan sehari-hari. Akibatnya, kecerdasan dan kearifan lokal dan nasional masyarakat seolah-olah tertinggalkan dan nyaris terabaikan.
Kita seolah terjebak oleh kecerdasan dan kearifan globÂal yang berhadap-hadapan secara diametral dengan kecerÂdasan dan kearifan genuin dari kebudayaan kita sendiri. NiÂlai-nilai budaya luhur yang kita terima dari proses panjang peradaban bangsa dan masyarakat, tercampakkan. Seolah-olah pula kita tidak mempunyai daya kreatif dan inovasi unÂtuk mengembangkannya.
Akibatnya terjadilah perilaku tambuh laku ketika para penerima amanah rakyat kehilangan dimensi kedalaman inÂsani (budaya) dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemimpin. Seperti tergambar dalam pesona persona perilaku yang tidak pada tempatnya: “Bangkong dikongkorong kujang, Ka cai kundang cameti, Ka darat kundang heurap.†[Katak diÂkalungi Kujang, perlambang amanah yang diberikan kepada orang yang tidak tepat. Ke tempat mandi membawa pecut – cemeti, Ke ladang membawa peralatan mandi].
Agar kita tak terjebak dalam kondisi seperti inilah kita perlu mempelajari ulang nilai-nilai masa lalu yang diwarisÂkan Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa.