JAKARTA, TODAY — Harga minyak jatuh lagi di pasar Asia. Harga minyak produksi AmeriÂka Serikat (AS) turun lebih dari 3% menuju USD 27/barel, atau tingkat terendah sejak 2003. Kondisi ini terjadi akibat pasokan minÂyak dunia yang melimpah.
International Energy Agency telah memÂberikan peringatan kepada industri migas dunia, bahwa pasar minÂyak dunia akan tetap kelebihan pasokan di tahun ini. Anjloknya harga minyak ikut menghantam pasar saham Asia. “Tingkat harga minyak saat ini suÂdah menekan negara angÂgota OPEC. Mereka menjual minyak untuk melancarkan arus kas saja, bukan untuk mengambil untung. ProduÂsen minyak di AS juga sudah berdarah-darah,†kata Analis, Jonathan Barratt dilansir dari Reuters, Rabu (20/1/2016).
Harga kontrak berjangka minyak produksi AS turun 97 sen (0,34%) menjadi USD 27,49/barel. Ini merupakan anÂgka terendah sejak September 2003. Setelah pada penutupan turun 96 sen atau 3,26%.
Sementara minyak jenis Brent, harganya turun 61 sen (2,1%) menjadi USD 28,15/barel. Setelah akhirnya dituÂtup turun 21 sen atau 0,7%.
Pelaku pasar telah melakuÂkan penyesuaian harga terÂkait rencana Iran menambah ekspor minyaknya hingga 500 ribu barel per hari. Ini akan menambah limpahan pasoÂkan minyak di pasar. Belum lagi, stok minyak mentah di AS naik menjadi 3 juta barel pekan lalu.
Harga minyak dunia masih menjadi sorotan. Bila beberaÂpa tahun lalu, harganya masih berada di atas USD 100 per barel, sekarang malah anjlok ke level di bawah USD 30 per barel. Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena damÂpaknya karena minyak masih menjadi penyumbang peneriÂmaan negara. Seberapa besar pengaruh anjloknya harga minyak terhadap penerimaan negara? Atau adakah sisi posiÂtif dari penurunan harga minÂyak tersebut?
Menteri Keuangan BamÂbang Brodjonegoro menÂgatakan, harga minyak meÂmang akan terus turun, selama kondisi Internasional tak berubah. Amerika SeriÂkat, Rusia dan negara-negara Timur Tengah, kata Bambang, adalah para pelaku yang memÂbuat harga minyak terus tuÂrun. “PNBP (Penerimaan NegÂara Bukan Pajak) sudah pasti turun, kemarin cuma sekitar Rp 70 triliun (APBN). Ya, akan kurang lagi sudah. Kita ikut perkembangan harga minyak. Cuma yang pasti kita memang sudah tidak bergantung pada harga minyak,†kata dia.
Harusnya sejak tahun 2000, kata dia, Indonesia sudah tidak bergantung lagi dengan penerimaan minyak, memang cukup besar dalam PNBP, tapi sudah kalah denÂgan penerimaan pajak dan bea cukai. Jadi, kunci penerimaan negara itu bukan minyak. “SeÂhingga nggak usah khawatir berlebihan, minyak turun, PNBP turun, PPh migas turun, tapi sumber penerimaan kita kan bukan minyak. Kita amÂbil sisi positifnya saja, impor minyak berarti lebih rendah. Bisa memperbaiki neraca perdagangan, harga BBM bisa menjadi lebih rendah menÂguntungkan masyarakat. MeliÂhat dari arah sana lebih bagus dibandingkan memikirkan penerimaan yang nggak ada relevansinya,†tandasnya.
(Yuska Apitya/dtkf)