Untitled-15JAKARTA TODAY – PT Per­tamina (Persero) men­goperasikan Kilang Residual Fluid Catalytic Cracking (RFCC) Cilacap pada 2015 lalu. Se­lain itu, Pertamina juga mengambil alih Kilang TPPI di Tuban. Beroperasinya kedua kilang ini membuat impor bahan bakar minyak (BBM) jenis premium turun 30%. “Kami sudah bertahap men­gurangi impor premium dengan mengoperasikan RFCC Cilacap juga kilang TPPI yang sanggup produksi hingga 91.000 barel per hari pre­mium. Akibatnya, impor premium nasional bisa turun 30%,” kata VP Corporate Communication Pertam­ina, Wianda Arindita Pusponegoro, di Jakarta, Jumat (22/4/2016).

Agar impor BBM semakin berkurang lagi, selanjutnya Per­tamina akan meningkatkan kapa­sitas dan kualitas (upgrade) kilang minyak lama dan membangun kilang baru supaya Indonesia tidak terus bergantung pada impor ba­han bakar minyak (BBM).

Wianda mengungkapkan, per­tama-tama pihaknya bakal men­jalankan Refinery Development Master Plan (RDMP) untuk 4 kilang besar, yaitu kilang Dumai, Plaju, Ba­longan, dan Balikpapan.

Masing-masing kilang kapa­sitasnya akan ditambah 100.000 barel per hari. Biaya untuk upgrade tiap kilang kurang lebih US$ 5 miliar atau Rp 65 triliun. Maka dibutuh­kan Rp 260 triliun untuk modifikasi 4 kilang tersebut. “Untuk kilang yang ada kita jalankan RDMP. Biaya investasinya satu kilang sekitar US$ 5 miliar. Ada 4 kilang yang akan di-upgrading, masing masing kapasi­tas kilang akan naik 100.000 barel per hari,” paparnya.

BACA JUGA :  Minum Air Jahe Setiap Hari, Apa Sih Manfaatnya? Simak Ini

Untuk kilang baru, Pertamina berencana membangunnya di Tuban dan Bontang. Grass Root Refin­ery (GRR) West 1 Tuban dijadwalkan terbangun pada 2021, GRR East I Bontang pada 2023, dan GRR West 2 dan East 2 Bontang pada 2030.

GRR Tuban direncanakan sele­sai 2021, biaya investasi (capital ex­penditure/capex) yang dibutuhkan US$ 12 miliar – US$ 14 miliar. Per­tamina diberi penugasan khusus oleh pemerintah untuk memban­gunnya. Kilang ini bakal berkapa­sitas 300.000 barel per hari. Ke­mudian GRR Bontang diharapkan selesai 2023. Capex US$ 14 miliar, kapasitas produksinya akan menca­pai 300.000 barel per hari.

Dengan pembangunan kilang-kilang baru ditambah upgrade kilang-kilang existing, ditargetkan produksi BBM di dalam negeri bisa mencapai 2,5 juta barel per hari pada 2030. “Apabila RDMP (Refin­ery Development Master Plan) dan kilang baru selesai maka negara tidak perlu keluarkan devisa untuk impor produk BBM, malahan solar kita akan ekspor,” tutup Wianda.

Sudah sekitar 19 tahun In­donesia tak pernah membangun kilang minyak baru. Dua Kilang ter­akhir yang dibangun adalah Kilang Kasim di Sorong, Papua Barat yang beroperasi 1997, dan Kilang Ba­longan di Indramayu, Jawa Barat yang beroperasi 1994.

Kilang-kilang lainnya lebih tua lagi, misalnya kilang Cilacap diban­gun pada 1974, kilang-kilang lainnya bahkan warisan dari zaman penjaja­han Belanda. Di sisi lain, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri terus meningkat hingga men­capai 1,6 juta barel per hari.

BACA JUGA :  Jadwal SIM Keliling Kabupaten Bogor, Selasa 23 April 2024

Kapasitas total kilang-kilang yang ada tak bertambah, hanya 1 juta barel per hari. Kapasitas produk­si kilang itu pun tak maksimal, hanya 800.000 barel per hari karena usia yang sudah tua dan teknologinya tertinggal. Sisa kebutuhan 800.000 barel BBM per hari mau tak mau ha­rus dipenuhi dari impor. “Total kapa­sitas produksi kilang nasional saat ini 800.000 barel per hari, konsumsi BBM 1,6 juta barel oil per hari, maka defisit 50%,” kata Wianda.

Wianda mengungkapkan, rata-rata kompleksitas kilang minyak di Indonesia masih rendah, sebagian besar hanya memiliki Nelson Com­plexity Index (NCI) rata-rata 4,9. Jauh ketinggalan dibanding kilang minyak milik Singapura yang memiliki NCI 9. “Untuk kilang Balongan sudah kompetitif karena NCI-nya sudah 10. Kilang yang lain dalam 3,5-4 tahun kedepan sudah harus di-upgrade dengan NCI rata-rata 9,” ujar Wianda.

Kondisi ini, sambungnya, tak bisa terus dibiarkan. Apalagi konsumsi BBM terus tumbuh 7%-8% per ta­hun. Bila tak ada kilang baru, impor BBM akan semakin membengkak, kedaulatan energi nasional pun men­jadi lemah. “Tidak bisa dibiarkan kita terus bergantung pada impor. Kilang baru sangat dibutuhkan. apalagi tren pertumbuhan konsumsi energi 7%-8% per tahun,” tandasnya.

(Yuska Apitya/dtkf)

============================================================
============================================================
============================================================