Perbankan dan lembaga keuangan mikro nasional didesak menjalankan revolusi sistem keuangan bunga rendah demi mendorong pemerataan kepemilikan aset di wilayah Indonesia.
Oleh : Winda Herviana
[email protected]
Wakil Presiden Jusuf Kalla menÂgatakan, penerapan keuangan inklusif bukan hal baru bagi InÂdonesia. Terbukti dengan banÂyaknya lembaga keuangan mikro yang meÂnyediakan program kredit rakyat di desa sejak zaman dahulu.
Persoalan utamanya, lembaga keuangan mikro masih menjalankan sistem pembiayaan dengan bunga tinggi sehingga timbul ketidaÂkadilan ekonomi. Pengusaha besar atau korÂporasi mendapat bunga rendah, sementara pengusaha kecil dibebankan bunga kredit yang jauh lebih tinggi.
Menurut JK, lembaga keuangan mikro seringkali menerapkan pola pikir yang keliru karena menetapkan tingkat bunga kredit denÂgan membandingkan pada bunga rentenir di level yang tinggi. Padahal jika pada level rendah, pengusaha kecil bisa berkesempatan memiliki aset.
“Selalu dasar berpikirnya keliru, menÂgambil dasar dari rentenir. Tidak melihat seÂbaliknya, kalau memberi bunga rendah, maka pengusaha kecil bisa beli aset kios, tidak hanÂya jualan tanpa punya aset,†terangnya pada pidato peresmian OJK International Center for Microfinance and Financial Inclusion (OJK-PROKSI), Selasa (15/3/2016).
Lembaga keuangan mikro diminta menÂgubah sistem penyaluran pembiayaan denÂgan lebih adil, yakni berdasar pada prinsip pemerataan ekonomi. Apabila telah berhasil mendorong usaha kecil, maka produktifitas dan daya beli masyarakat akan meningkat sekaligus dan mempengaruhi pertumbuÂhan ekonomi nasional.
Wapres mengingatkan, jangan samÂpai rakyat sulit memiliki aset hanya karena untuk menghidupi lembaga keuangan. Saat ini adalah masanya lemÂbaga keuangan yang harus menghidupi dirinya dari usaha rakyat.
“Bank dan lembaga keuangan haÂrus tumbuh dari pertumbuhan ekonoÂmi, bukan dari pertumbuhan bunga. Hidup dari menanam pohon, bukan memetik bunga saja,†terangnya.
Ekonomi dunia selama ini, termaÂsuk Indonesia, terus dihadapkan pada persoalan pemerataan kepemilikan aset. Terbukti setelah krisis ekonomi, sebanyak 1 persen penduduk tercatat menguasai 50 persen aset nasional, sementara 99 persen penduduk lain menguasai 50 persen sisanya.
Perlu ada gerakan keuangan yang inklusif untuk mengurangi kesenjanÂgan ekonomi dan mengentaskan keÂmiskinan. “Lembaga keuangan adalah motor penggerak ekonomi yang lebih baik, maka harus berdasarkan pemahaÂman pemerataan atau inklusif dalam gerÂakan mikro,†ungkap Jusuf Kalla. (NET)