20130715_141445Perbankan dan lembaga keuangan mikro nasional didesak menjalankan revolusi sistem keuangan bunga rendah demi mendorong pemerataan kepemilikan aset di wilayah Indonesia.

Oleh : Winda Herviana
[email protected]

Wakil Presiden Jusuf Kalla men­gatakan, penerapan keuangan inklusif bukan hal baru bagi In­donesia. Terbukti dengan ban­yaknya lembaga keuangan mikro yang me­nyediakan program kredit rakyat di desa sejak zaman dahulu.

Persoalan utamanya, lembaga keuangan mikro masih menjalankan sistem pembiayaan dengan bunga tinggi sehingga timbul ketida­kadilan ekonomi. Pengusaha besar atau kor­porasi mendapat bunga rendah, sementara pengusaha kecil dibebankan bunga kredit yang jauh lebih tinggi.

Menurut JK, lembaga keuangan mikro seringkali menerapkan pola pikir yang keliru karena menetapkan tingkat bunga kredit den­gan membandingkan pada bunga rentenir di level yang tinggi. Padahal jika pada level rendah, pengusaha kecil bisa berkesempatan memiliki aset.

BACA JUGA :  Wedang Tape Ketan, Santapan Hangat Enak Dinikmati Saat Hujan

“Selalu dasar berpikirnya keliru, men­gambil dasar dari rentenir. Tidak melihat se­baliknya, kalau memberi bunga rendah, maka pengusaha kecil bisa beli aset kios, tidak han­ya jualan tanpa punya aset,” terangnya pada pidato peresmian OJK International Center for Microfinance and Financial Inclusion (OJK-PROKSI), Selasa (15/3/2016).

Lembaga keuangan mikro diminta men­gubah sistem penyaluran pembiayaan den­gan lebih adil, yakni berdasar pada prinsip pemerataan ekonomi. Apabila telah berhasil mendorong usaha kecil, maka produktifitas dan daya beli masyarakat akan meningkat sekaligus dan mempengaruhi pertumbu­han ekonomi nasional.

Wapres mengingatkan, jangan sam­pai rakyat sulit memiliki aset hanya karena untuk menghidupi lembaga keuangan. Saat ini adalah masanya lem­baga keuangan yang harus menghidupi dirinya dari usaha rakyat.

BACA JUGA :  Bawolato Nias Geger, Penemuan Mayat Pria Mengapung di Sungai Hou Sumut

“Bank dan lembaga keuangan ha­rus tumbuh dari pertumbuhan ekono­mi, bukan dari pertumbuhan bunga. Hidup dari menanam pohon, bukan memetik bunga saja,” terangnya.

Ekonomi dunia selama ini, terma­suk Indonesia, terus dihadapkan pada persoalan pemerataan kepemilikan aset. Terbukti setelah krisis ekonomi, sebanyak 1 persen penduduk tercatat menguasai 50 persen aset nasional, sementara 99 persen penduduk lain menguasai 50 persen sisanya.

Perlu ada gerakan keuangan yang inklusif untuk mengurangi kesenjan­gan ekonomi dan mengentaskan ke­miskinan. “Lembaga keuangan adalah motor penggerak ekonomi yang lebih baik, maka harus berdasarkan pemaha­man pemerataan atau inklusif dalam ger­akan mikro,” ungkap Jusuf Kalla. (NET)

============================================================
============================================================
============================================================