JAKARTA, TODAY — Nilai tukar ruÂpiah terhadap dolar Amerika SeriÂkat (AS) diperkirakan akan bergerak fluktuatif di tahun ini dan cenderÂung melemah. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya soal naiknya suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed), yang diperkirakan akan naik 2 kali lagi hingga akhir tahun ini.
Chief Economist Bank Mandiri Anton H Gunawan menyebutkan, USD tahun ini diperkirakan akan bergerak di kisaran Rp 13.400. “Rupiah dalam hal ini, relatif stabil di Rp 13.000- an. Kita balik ke siklus itu sebenarnya,” sebut dia dalam Paparan Macro EconÂomy Outlook 2016, di Plaza Mandiri, Jakarta, Selasa (5/4/2016).
Namun, kata dia, angka terseÂbut bisa berbalik arah dan memÂbuat rupiah tertekan jika kebiÂjakan otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia (BI) tidak mendukung penguatan rupiah. “Tapi ada kebijakan BI yang seÂbenarnya sempat mendorong ke hampir Rp 15.000 di forex marketnya, panik. Tapi balik lagi. Ada yang bilang nanti bisa balik ke Rp 14.000 bahkan Rp 15.000. Tapi kita revised down ke arah Rp 13.400,” sebut dia.
Terkait suku bunga acuan BI, Anton meÂnyebutkan, ada peluÂang BI menurunkan suku bunganya. Hal ini akan mendorong berkembangnya sektor riil meskiÂpun ada tekanan di sekÂtor keuangan. “Suku bunga memang diturunkan, ke depannya kalau jujur masih bisa turun peluangnya unÂtuk BI rate. Perkiraan inflasi harusnya bisa lebih rendah, forecast di 4,5%. Implikasi ke BI rate, ruang maÂsih ada, riil interest rate itu masih ada hampir 2%, atau 1,5%. Cuma, kita harus baca BI itu lihat poliÂcynya masih cenderung menitikÂberatkan pada outÂflows. Jadi bisa jadi kalau ada tekanan di bulan-bulan ini, mereka belum akan cut lagi, tapi kita maunya cut. Kelihatannya BI nya nggak mau. Forecast kita sampai 6,5% BI rate akhir tahun. Inflasi 4,5%,” pungkasnya.
Sementara itu, nilai tukar rupiah di pasar uang spot antarbank Jakarta pada kemarin sore bergerak melemah sebesar 57 poin menjadi 13.219 per USD dibandingkan posisi sebelumnya 13.162 per USD. “Harga minyak mentah dunia yang semakin tertekan ke bawah level 38 dolar AS per barel membuat aset mata uang komoditas, seperti ruÂpiah mengalami tekanan,” kata Kepala Riset Monex Invesindo Futures ArosÂton Tjendra di Jakarta.
Ia menambahkan bahwa pelemaÂhan harga minyak itu seiring dengan munculnya pesimisme pasar terhadap peluang kesepakatan pemangkasan produksi oleh negara-negara OrganisaÂsi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). “Situasi itu kembali memicu aset mata uang safe haven seperti dolar AS dilirik investor uang,” katanya.
Terpantau, harga minyak mentah jenis WTI Crude pada Selasa (5/4) sore ini berada di level 35,44 USD per barel, menurun 0,73 persen. Sementara minÂyak mentah jenis Brent Crude di posisi 37,39 USD per barel, menurun 0,80 persen.
Kepala Riset NH Korindo SecuriÂties Indonesia Reza Priyambada menÂgatakan, laju USD masih terbebani oleh proyeksi pelaku pasar uang terÂhadap potensi kenaikan suku bunga AS tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. “Sentimen pernyataan Ketua The Fed yang berhati-hati untuk meÂmutuskan kebijakan suku bunganya masih mendorong dana asing masuk ke dalam negeri sehingga laju rupiah masih relatif stabil,” katanya.
Ia memproyeksikan bahwa nilai tukar rupiah berpotensi masih dapat kembali bergerak ke area positif seiring dengan tingginya harapan perbaikan ekonomi dalam negeri. Menurut Kurs Tengah Bank Indonesia hari ini rupiah berada pada 13.217 per USD setelah seÂbelumnya berada pada 13.145.
Ekonomi Tetap Tumbuh
Meskipun rupiah bergerak fluktuaÂtif, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan akan bisa menÂcapai angka 5%. Hal ini sejalan dengan belanja pemerintah yang diperkirakan akan terserap lebih baik di tahun ini. “Satu-satunya hal yang banyak menÂdorong ke atas 5% lebih di kuartal IV terutama goverment spending teruÂtama investment dan beberapa private spending,” ujar Anton.
Ia juga mengatakan, pertumbuhan ekonomi ini juga harus disertai penÂgendalian inflasi. Karena pada kuartal IV -2015, meski pertumbuhan ekonomi 5,04%, namun inflasi berada di level 4,5% yang disebabkan tingginya harga bahan pangan. Ia menilai, seharusnya inflasi bisa berada di kisaran 3%.
Menurutnya, tingginya angka inÂflasi ini akibat buruknya sistem logistik Indonesia sehingga arus barang sulit mencapai tempat tujuan. “Inflasi kita sebenarnya agak-agak aneh, kenapa belakangan ini 4,5%, harusnya kan bisa sekitar 3%. Biang keladinya food inflaÂtion, bukan karena demand tinggi, tapi karena aturan-aturan segala macam termasuk lemahnya logistik kita. Ingin swasembada tapi ada el nino juga. KaÂlau nggak cepat-cepat ditangani impor, harga pangan kita relatif tinggi. PadaÂhal, di luar cenderung turun tapi seÂbenarnya inflasi kita menggambarkan lemahnya ekonomi, jadi produktivitas masih melambat,” kata Anton.
Perekonomian Indonesia saat ini sedang dalam kondisi baik. Penguatan rupiah yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir yang juga dipengaruhi oleh penerapan negative interest rate di Jepang dan Uni Eropa menimbulkan banyaknya aliran modal masuk (capiÂtal inflow) ke Indonesia hampir menÂcapai USD 4 miliar.
Meski begitu, Ekonom dari Mandiri Sekuritas, Leo P Rinaldi mengingatkan agar pemerintah dan regulator jangan terlena. “Sebaiknya pemerintah jangan terlena, harus dimanfaatkan private secÂtor dan pemerintah, rupiah menguat karena inflow hampir USD 4 miliar, seÂbaiknya pemerintah jangan terlena, haÂrusnya dimanfaatkan oleh private sector dan pemerintah,” kata Leo dalam paÂparan Macro Economy Outlook, di Plaza Mandiri, Jakarta, Selasa (5/4/2016).
Menurut Leo, apabila terlena denÂgan kondisi tersebut, maka dikhawatÂirkan akan terjadi pembalikan arus modal. “Karena ketika negara-negara itu mulai recover dan mereka lebih cepat, sedangkan Indonesia nggak cepat, takutnya capital reversal. Kita harus meyakinkan agar fundamental ekonomi baik, kesempatan perbaiki fundamental ekonomi,” tandasnya.
(Yuska Apitya Aji)