Untitled-12MENGIKUTI perkembangan berita mutakhir kesibukan para petinggi partai politik dan petinggi negeri saling melontar alasan dalam membahas ma­salah, membuat saya sering harus tersenyum pahit. Sering saya teringat almarhum ayah, yang acapkali marah dengan para politisi (di jamannya), sering melontar kalimat: “Ngkin.. mun jaman sagala-gala aneh, nu gebleg, bisa bae jadi raja.” Artinya, kelak ketika jaman serba aneh, si Pandir pun bisa menjadi pemimpin.

Bang Sem Haesy

DI jaman yang serba aneh itu, yang banyak dilakukan orang adalah: menggam­bar nasi dan lauk pauk ketika lapar, dan meng­garuk telapak sepatu, kala telapak kaki yang gatal. Dalam mengha­dapi masalah, banyak pemimpin yang lebih suka suka mendahulukan alasan katimbang cara menyelesaikan masalah.

Situasi semacam itu pernah dihadapi Prabu Suryakancana yang hendak mem bangkitkan kembali kejaya an Bogor, selepas ‘murba’ karena ketidakpedulian para pemimpin sebelumnya. Di masa itu, rakyat terpaksa memilih pemimpin hanya sekadar karena rasa senang, dan mengandalkan intuisi. Termasuk sekadar fantasi popularitas.

Benar pameo para orang tua: Amun di nagara, sagala-gala sarwa edan. Eta tandana, anu jadi raja teh jelema burung. Anu bener hese mah.. jadi raja bener. Anu bener-bener salalawasna nyekel benerna bebener kabener. (Di ten­gah keadaan yang carut marut dan perilaku politik yang mengabaikan etika, siapa saja – khususnya yang menggunakan jalan licik – bisa saja tampil sebagai petinggi. Maka sangat sulit bagi seorang yang baik menjadi pemimpin yang baik. San­gat sulit bagi yang sungguh patut memimpin bangsa menjadi pe­mimpin sungguhan, yang sungguh benar akan memegang kebenaran sebenar-benarnya).

BACA JUGA :  Lokasi SIM Keliling Kota Bogor, Kamis 25 April

Padahal, dalam konteks ni­lai, sudah jelas: yang harus me­mimpin adalah mereka yang patut (memenuhi kriteria) kepemimpi­nan (mudu kumaha nu jadi raja)? Yakni: “Ari raja teh mudu bener. Nyaho dibener, nyaho disalah. Nyaho dihade, nyaho dihenteu pi­hadeun. Ulah eudeuk digaweeun. Ari nyaho teu pihadeeun, teu pi­hadeeun ka nu diurus. Ulah bener bae pieun nu ngurus. Ulah hade pieun nu ngurus wungkul.” (Pe­mimpin yang benar, tahu tentang benar dan salah. Berani men­egakkan kebenaran karena faham mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, lantas menjadi te­ladan bagi rakyat).

BACA JUGA :  Soal PPDB 2024, DPRD Kota Bogor Minta Disdik Persiapkan Dengan Baik

Dialah pemimpin yang mau memikul amanah dan tanggung­jawab, laiknya seorang bapak terhadap keluarganya. Tidak me­ninggalkan tanggung jawab itu di tengah jalan. Ia mesti mampu mengelola, mendidik dan menga­suh rakyat, laiknya ibu mengasuh anak-anaknya. Mampu memprak­tikan kepemimpinan yang kreatif dan inovatif agar rakyat bekerja optimal. Bukan menyebar keris­auan dan kekuatiran (Gawe raja mudu ngaraksa sakumaha bapa, bari ngaraksa kumaha ema. Mudu ngurus kumaha indung. Mudu minangka sawah kanyaah. Ulah minangka kawah kacaah. Anu be­dah di saban marah).

Pemimpin kini, tak harus menguasai segala hal, tapi harus memahami semua hal, sehingga mampu memimpin berdasar­kan kekuatan tim. Mewujudkan pengertian, bagaimana melihat dan mencermati, mendengar dan menyimak segala gagasan dan as­pirasi yang dipimpinnya. Ia men­jadi pemandu transformasi bang­sa, karena paham apa yang harus dilakukan dan dihindari. (Raja têh teu mudu-mudu teuing pinter, tapi nu mudu mah inyana ngarti. Ngarti neuleu bari ngaraksa. Ngarti nga­rasa tina ngadeuleu. Abeh kaharti kunu diaping, bari karaksa kunu diraksa).

Rakyat Bogor tak boleh lengah dengan semua isyarat itu.

============================================================
============================================================
============================================================