MENGIKUTI perkembangan berita mutakhir kesibukan para petinggi partai politik dan petinggi negeri saling melontar alasan dalam membahas maÂsalah, membuat saya sering harus tersenyum pahit. Sering saya teringat almarhum ayah, yang acapkali marah dengan para politisi (di jamannya), sering melontar kalimat: “Ngkin.. mun jaman sagala-gala aneh, nu gebleg, bisa bae jadi raja.†Artinya, kelak ketika jaman serba aneh, si Pandir pun bisa menjadi pemimpin.
Bang Sem Haesy
DI jaman yang serba aneh itu, yang banyak dilakukan orang adalah: menggamÂbar nasi dan lauk pauk ketika lapar, dan mengÂgaruk telapak sepatu, kala telapak kaki yang gatal. Dalam menghaÂdapi masalah, banyak pemimpin yang lebih suka suka mendahulukan alasan katimbang cara menyelesaikan masalah.
Situasi semacam itu pernah dihadapi Prabu Suryakancana yang hendak mem bangkitkan kembali kejaya an Bogor, selepas ‘murba’ karena ketidakpedulian para pemimpin sebelumnya. Di masa itu, rakyat terpaksa memilih pemimpin hanya sekadar karena rasa senang, dan mengandalkan intuisi. Termasuk sekadar fantasi popularitas.
Benar pameo para orang tua: Amun di nagara, sagala-gala sarwa edan. Eta tandana, anu jadi raja teh jelema burung. Anu bener hese mah.. jadi raja bener. Anu bener-bener salalawasna nyekel benerna bebener kabener. (Di tenÂgah keadaan yang carut marut dan perilaku politik yang mengabaikan etika, siapa saja – khususnya yang menggunakan jalan licik – bisa saja tampil sebagai petinggi. Maka sangat sulit bagi seorang yang baik menjadi pemimpin yang baik. SanÂgat sulit bagi yang sungguh patut memimpin bangsa menjadi peÂmimpin sungguhan, yang sungguh benar akan memegang kebenaran sebenar-benarnya).
Padahal, dalam konteks niÂlai, sudah jelas: yang harus meÂmimpin adalah mereka yang patut (memenuhi kriteria) kepemimpiÂnan (mudu kumaha nu jadi raja)? Yakni: “Ari raja teh mudu bener. Nyaho dibener, nyaho disalah. Nyaho dihade, nyaho dihenteu piÂhadeun. Ulah eudeuk digaweeun. Ari nyaho teu pihadeeun, teu piÂhadeeun ka nu diurus. Ulah bener bae pieun nu ngurus. Ulah hade pieun nu ngurus wungkul.†(PeÂmimpin yang benar, tahu tentang benar dan salah. Berani menÂegakkan kebenaran karena faham mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, lantas menjadi teÂladan bagi rakyat).
Dialah pemimpin yang mau memikul amanah dan tanggungÂjawab, laiknya seorang bapak terhadap keluarganya. Tidak meÂninggalkan tanggung jawab itu di tengah jalan. Ia mesti mampu mengelola, mendidik dan mengaÂsuh rakyat, laiknya ibu mengasuh anak-anaknya. Mampu memprakÂtikan kepemimpinan yang kreatif dan inovatif agar rakyat bekerja optimal. Bukan menyebar kerisÂauan dan kekuatiran (Gawe raja mudu ngaraksa sakumaha bapa, bari ngaraksa kumaha ema. Mudu ngurus kumaha indung. Mudu minangka sawah kanyaah. Ulah minangka kawah kacaah. Anu beÂdah di saban marah).
Pemimpin kini, tak harus menguasai segala hal, tapi harus memahami semua hal, sehingga mampu memimpin berdasarÂkan kekuatan tim. Mewujudkan pengertian, bagaimana melihat dan mencermati, mendengar dan menyimak segala gagasan dan asÂpirasi yang dipimpinnya. Ia menÂjadi pemandu transformasi bangÂsa, karena paham apa yang harus dilakukan dan dihindari. (Raja têh teu mudu-mudu teuing pinter, tapi nu mudu mah inyana ngarti. Ngarti neuleu bari ngaraksa. Ngarti ngaÂrasa tina ngadeuleu. Abeh kaharti kunu diaping, bari karaksa kunu diraksa).
Rakyat Bogor tak boleh lengah dengan semua isyarat itu.