Polisi terus mengebut penyidikan korupsi proyek lift di Komplek Balaikota Bogor pada Tahun Anggaran (TA) 2013. Proyek senilai Rp 5,18 miliar itu tendernya dimenangkan oleh PT Uno Tanoh Seuramo (UTS). Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), proyek ini menelan kerugian uang negara sekitar Rp 250 juta.
Oleh : RIZKY DEWANTARA
[email protected]
Kapolres Bogor Kota, AKBP Andi Herindra Rahmawan, menÂgatakan, pihaknya memang sudah mengantongi beberapa nama dalam kasus korupsi lift di Komplek Balikota Bogor itu. Ia menÂgaku, berdasarkan kesaksian terakhir dari pihak PT. Uno Tanoh Seuramo tidak menyÂetorkan uang jaminan. “Nanti jika sudah ada keterangan dari BPK kita baru tetapÂkan menjadi tersangka,â€akunya.
Mantan Kapolres Kepulauan Seribu ini, menjelaskan, walaupun pihaknya suÂdah memiliki alat bukti terkait masalah ini, namun ini merupakan pidana korupÂsi. Sangat berbeda dalam mengungkap atau menetapkan tersangka dalam tindak pidana korupsi. Ia juga membeberkan, harus ada bukti atau nilai yang terbukti merugikan negara.
“Kita bicaranya korupsi, maka harus ada kerugian, kalau bicara kerugian negara harus di audit terlebih dahulu,†tegasnya, saat ditemui di Hotel Salak, kemarin.
Berdasarkan ketentuan pelaporan audit keuangan daerah, hasil verifikasi dan audit penggunaan anggaran daerah biasa disetorkan akhir tahun atau saat pertengahan Desember. Namun, jika ada permintaan dari lembaga yudikatif terkait penemuan kejanggalan pengerÂjaan proyek daerah, BPK bisa memberiÂkan laporan auditnya lebih cepat dari masa penyerahan.
Informan BOGOR TODAY di dapur peÂnyelidikan, menyebutkan dua nama yang sering disebut-sebut di meja penyidikan yakni Reni Handayani (Bekas Kabag Umum Pemkot Bogor) dan Eri Kusmar (Bekas Kasubag TU Pemkot Bogor). Keduanya beberapa kali dipanggil dan dimintai ketÂerangannya oleh penyidik soal dugaan peÂnyelewenangan duit proyek lift.
Dikonfirmasi soal kasus ini, Reni HanÂdayani selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada proyek tersebut, mengakui, pada tahun 2013 pihaknya menghentikan proyek ini lantaran kontraktor tidak sangÂgup menuntakan pekerjaan sampai tengat waktu yang telah ditentukan. “Daripada beresiko lebih fatal, saya putuskan untuk diputus kontrak. Lift yang ditawarkan unÂtuk proyek juga tak sesuai spek yang diÂharapkan. Makanya kami tolak dan putus sepihak,†terangnya. “Saya justru menyÂelamatkan uang negara. Itu saya putuskan kontraknya demi menyelamatkan uang negara. Saya tak menerima satu sen uang dari proyek itu,†tambahnya. “Kalau saya dipanggil, saya pun selalu kooreratif. Kami justru menunggu SP3 keluar jika memang kasus ini sudah selesai,†kata dia.
(Yuska)