Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh perubahaan minyak dan gas (migas) akibat melemahnya harga minyak dunia, mulai merembet ke bisnis perbankan. Sejumlah bank di Indonesia juga telah menghitung pemangkasan jumlah pegawai.
YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]
Kabar tak enak didengar tersebut terÂsiar dari perbankan asal Malaysia yakni CIMB Group Holdings Berhad dan anak perusahaannya di Indonesia yaitu PT CIMB Niaga Tbk. Perusahaan keuangan ini telah mengedarkan surat penawaran pensiun dini ke seluruh anak cabangnya, termaÂsuk di Indonesia. Langkah tersebut disebut-sebut sebagai langkah efisiensi perusahaan saat perlamÂbatan ekonomi global dan domestik.
 CIMB Group Holdings BerÂhad dan PT CIMB Niaga Tbk menawarkan kepada para karyawan di Malaysia dan InÂdonesia pensiun dini melalui program Mutual Separation Scheme (MSS). Langkah terseÂbut dilakukan CIMB Group dan CIMB Niaga agar struktur biaya operasional perusahaan bisa lebih efisien.
Chief Executive Officer CIMB Group, Tengku Dato’ Zafrul Aziz bin Tengku Abdul Aziz menjelaskan, skema penÂsiun dini ini ditawarkan kepada karyawan tanpa ada paksaan dari perusahaan dan bisa diÂambil secara sukarela oleh para karyawan. “Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi di seluruh bagian. Hal ini konsisten dengan rencana perolehan ROE dan cost to inÂcome yang telah digariskan oleh perusahaan,†jelasnya, KaÂmis (4/2/2016).
Ia melanjutkan, beberapa karyawan CIMB Group di MaÂlaysia dan CIMB Niaga di InÂdonesia telah menanyakan mengenai skema pensiun dini tersebut. Hal tersebut memÂbuktikan tidak adanya tekanan dari pihak perusahaan.
Program Mutual SeparaÂtion Scheme tersebut telah mendapat dukungan dari deÂwan komisaris dan juga dewan direksi dari CIMB Niaga. Sejauh ini, Zafrul melanjutkan, dewan komisaris dan direksi CIMB Niaga juga telah memutuskan untuk mengadopsi program Mutual Separation Scheme dan menawarkan kepada para karyawan di Indonesia karena memang langkah tersebut sesÂuai dengan strategi operasional perusahaan. Langkah seperti ini pernah ditawarkan kepada para karyawan saat Bank Niaga merger dengan Bank Lippo tuÂjuh tahun lalu.
Sementara, Bank terbesar Swis, Credit Suisse, juga telah resmi mengumumkan bahwa mereka akan memangkas 4.000 karyawannya. Hal terseÂbut telah dimumkan dalam rilis 2015. Bank asal Swiss ini menÂderita rugi sebelum pajak sebeÂsar USD 2,4 miliar atau sekitar Rp 32,8 triliun. Ini merupakan rugi pertama yang dialami Credit Suisse sejak 2008. “BeÂban biaya operasional perusaÂhaan cukup menekan kinerja kami,†kata Kepala Eksekutif Credit Suisse Tidjane Thiam, seperti dilansir BBC, Kamis (4/2/2016).
Perusahaan juga telah mengeluarkan biaya sebesar USD 3,8 miliar terkait akuisisi Donaldson, Lufkin & Jenrette pada tahun 2000. Perusahaan akan mengumumkan rencana pemangkasan karyawan terseÂbut seperti yang telah direnÂcanakan. Rencana pemangÂkasan karyawan ini berimbas pada anjloknya saham Credit Suisse hingga 9% pada awal perdagangan ke level terenÂdah sejak 1992. “Kondisi pasar pada bulan Januari 2016 tetap menantang dan kami berharap pasar tetap stabil sepanjang sisa kuartal pertama 2016,†ujarnya.
Dampak lemahnya harga minyak juga diakui oleh DirekÂtur Treasury & Markets PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Pahala N Mansury. Ia menjelaskan, harga minyak dunia yang rendah cuÂkup memberikan pengaruh ke sektor perbankan. Pengaruh yang dimaksud Pahala adalah kenaikan dari rasio kredit berÂmasalah atau non performing loan (NPL). “Kami sampai denÂgan saat ini, kalau lihat tentuÂnya ada pengaruhnya sedikit. Secara sistem perbankan ada kenaikan dari angka NPL dan banyak sebetulnya sektor-sekÂtor turunan dari industri pertÂambangan. Tentunya ada penÂgaruhnya,†kata dia, kemarin.
Terkait beberapa peruÂsahaan pertambangan yang melakukan pemutusan hubunÂgan kerja (PHK) atau layoff terÂhadap karyawan, Pahala menÂgaku hal ini tidak tertular ke perseroan. Hingga saat ini, kata dia, Bank Mandiri sama sekali tidak melakukan layoff.
Senada dengan Pahala, Corporate Secretary Bank ManÂdiri Rohan Hafas menyatakan, turunnya harga minyak dan komoditas memang memberi sedikit pengaruh terhadap performa NPL perseroan. PasÂalnya, ada beberapa debitur yang mengalami kesulitan, khuÂsusnya yang bergerak di sekÂtor pertambangan. Meski ada peningkatan angka NPL, Rohan mengaku NPL Bank Mandiri hingga saat ini masih berada di kisaran yang wajar dan aman. Ia menjelaskan, NPL perseroan ada di kisaran 2 persen, maÂsih jauh dari batas ketentuan, yakni 5 persen. “Memang ada kenaikan, tapi tetap di batas yang wajar. Kita sama sekali tiÂdak ada layoff, malah kita saat ini merekrut,†kata dia.
Terpisah, Presiden DirekÂtur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mengakui, sektor-sektor pertambangan belum mampu menunjukkan pemulihan dalam waktu dekat. Namun begitu, eksposur perseÂroan terhadap kredit di sektor tersebut sebenarnya tidak terÂlalu besar.
Dengan demikian, Jahja meÂnyatakan BCA tidak terlalu terÂkena dampak melemahnya kinÂerja sektor pertambangan dan migas. Bahkan, perseroan pun tidak melakukan layoff sama sekali terhadap karyawannya. “Kebetulan di pertambangan kita tidak terlalu banyak ekspoÂsur. Layoff tidak ada, karena eksposur kita di pertambangan tidak banyak. Sangat kecil damÂpaknya,†kata Jahja.
Selain itu, Jahja menyatakan pula rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) perseroan pun dapat tetap terÂjaga pada kisaran yang relatif rendah. Ia menyebut, NPL perÂseroan kini berada di kisaran 0,7 hingga 0,8 persen.
Sementara itu, Ketua KomiÂsi VI DPR RI, Hafisz Thohir, meÂnyampaikan situasi berbahaya Indonesia yang sedang dijauhi oleh para investor asing, khsuÂsusnya dari Amerika Serikat.
Hafisz mencontohkan hengÂkangnya Ford dari Indonesia lebih dikarenakan iklim investaÂsi dan perekonomian Indonesia yang mulai mengkhawatirkan. â€Lebih kepada outlook ekonomi Indonesia yang buruk. Ini perÂtanda tidak baik bagi investasi di Indonesia dan mencerminkan keadaan ekonomi yang suram ke depan jika tidak segera diaÂtasi,†kata dia, kemarin.
Menurut dia, hengkangnya Ford dari Indonesia merupakan sinyal semakin memburuknya kondisi perekonomian IndoneÂsia saat ini dan tanda-tanda kriÂsis ekonomi akan menghampiri Indonesia. Hal itu akan berpaÂdu dengan banyaknya negara tujuan ekspor Indonesia menÂgurangi belanja.
Dia lalu membeberkan eksoÂdus perusahaan besar di IndoneÂsia yang ditutup atau dipindah ke luar negeri di tahun 2015. Antara lain 27 perusahaan tekstil dan produk tekstil, 125 perusaÂhaan pertambangan batubara di Kalimatan Timur, 11 perusahan di Batam di bidang galangan kaÂpal, elektronik, dan garmen.
Belum lagi Chevron IndoÂnesia yang sedang mempertimÂbangkan PHK 1700-an orang, seÂmentara Commonwealth sudah mengkonfirmasi PHK terhadap 30-35 persen karyawannya. â€ANZ Bank, Citibank Indonesia juga bakal layoff. Bahkan UnitÂed Tractors sudah menawarÂkan karyawannya untuk resign dengan pesangon. Di samping itu banyak perusahaan kecil, menengah yang tutup tanpa melapor ke Disnakertrans atau instansi terkait sehingga tidak tercatat,†kata dia.
Terpisah, Presiden KonfedÂerasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Ikbal mengingatÂkan pemerintah bahwa potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) masih menghantui IndoÂnesia, khususnya pada industri migas, komponen otomotif dan elektronik serta perbankan.
KSPI mencatat, sejak JanuÂari 2016, jumlah PHK mencapai 8.000 tenaga kerja. RincianÂnya, Panasonic dan Toshiba mem-PHK 2.145 orang, perusaÂhaan elektronik Korea bernama Samoin 1.166 orang, Starlink 452 orang, dan perusahaan yang bergerak di sektor indusÂtri perminyakan 5.000 orang. “Dugaan kami, yang kena PHK hingga Maret mendatang akan mencapai 10.000 orang. (*)