Untitled-19Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh perubahaan minyak dan gas (migas) akibat melemahnya harga minyak dunia, mulai merembet ke bisnis perbankan. Sejumlah bank di Indonesia juga telah menghitung pemangkasan jumlah pegawai.

YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]

Kabar tak enak didengar tersebut ter­siar dari perbankan asal Malaysia yakni CIMB Group Holdings Berhad dan anak perusahaannya di Indonesia yaitu PT CIMB Niaga Tbk. Perusahaan keuangan ini telah mengedarkan surat penawaran pensiun dini ke seluruh anak cabangnya, terma­suk di Indonesia. Langkah tersebut disebut-sebut sebagai langkah efisiensi perusahaan saat perlam­batan ekonomi global dan domestik.

 CIMB Group Holdings Ber­had dan PT CIMB Niaga Tbk menawarkan kepada para karyawan di Malaysia dan In­donesia pensiun dini melalui program Mutual Separation Scheme (MSS). Langkah terse­but dilakukan CIMB Group dan CIMB Niaga agar struktur biaya operasional perusahaan bisa lebih efisien.

Chief Executive Officer CIMB Group, Tengku Dato’ Zafrul Aziz bin Tengku Abdul Aziz menjelaskan, skema pen­siun dini ini ditawarkan kepada karyawan tanpa ada paksaan dari perusahaan dan bisa di­ambil secara sukarela oleh para karyawan. “Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi di seluruh bagian. Hal ini konsisten dengan rencana perolehan ROE dan cost to in­come yang telah digariskan oleh perusahaan,” jelasnya, Ka­mis (4/2/2016).

Ia melanjutkan, beberapa karyawan CIMB Group di Ma­laysia dan CIMB Niaga di In­donesia telah menanyakan mengenai skema pensiun dini tersebut. Hal tersebut mem­buktikan tidak adanya tekanan dari pihak perusahaan.

Program Mutual Separa­tion Scheme tersebut telah mendapat dukungan dari de­wan komisaris dan juga dewan direksi dari CIMB Niaga. Sejauh ini, Zafrul melanjutkan, dewan komisaris dan direksi CIMB Niaga juga telah memutuskan untuk mengadopsi program Mutual Separation Scheme dan menawarkan kepada para karyawan di Indonesia karena memang langkah tersebut ses­uai dengan strategi operasional perusahaan. Langkah seperti ini pernah ditawarkan kepada para karyawan saat Bank Niaga merger dengan Bank Lippo tu­juh tahun lalu.

Sementara, Bank terbesar Swis, Credit Suisse, juga telah resmi mengumumkan bahwa mereka akan memangkas 4.000 karyawannya. Hal terse­but telah dimumkan dalam rilis 2015. Bank asal Swiss ini men­derita rugi sebelum pajak sebe­sar USD 2,4 miliar atau sekitar Rp 32,8 triliun. Ini merupakan rugi pertama yang dialami Credit Suisse sejak 2008. “Be­ban biaya operasional perusa­haan cukup menekan kinerja kami,” kata Kepala Eksekutif Credit Suisse Tidjane Thiam, seperti dilansir BBC, Kamis (4/2/2016).

BACA JUGA :  Resep Membuat Ikan Asin Sambal Belimbing, Perpaduan Asam Asin Pedas

Perusahaan juga telah mengeluarkan biaya sebesar USD 3,8 miliar terkait akuisisi Donaldson, Lufkin & Jenrette pada tahun 2000. Perusahaan akan mengumumkan rencana pemangkasan karyawan terse­but seperti yang telah diren­canakan. Rencana pemang­kasan karyawan ini berimbas pada anjloknya saham Credit Suisse hingga 9% pada awal perdagangan ke level teren­dah sejak 1992. “Kondisi pasar pada bulan Januari 2016 tetap menantang dan kami berharap pasar tetap stabil sepanjang sisa kuartal pertama 2016,” ujarnya.

Dampak lemahnya harga minyak juga diakui oleh Direk­tur Treasury & Markets PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Pahala N Mansury. Ia menjelaskan, harga minyak dunia yang rendah cu­kup memberikan pengaruh ke sektor perbankan. Pengaruh yang dimaksud Pahala adalah kenaikan dari rasio kredit ber­masalah atau non performing loan (NPL). “Kami sampai den­gan saat ini, kalau lihat tentu­nya ada pengaruhnya sedikit. Secara sistem perbankan ada kenaikan dari angka NPL dan banyak sebetulnya sektor-sek­tor turunan dari industri pert­ambangan. Tentunya ada pen­garuhnya,” kata dia, kemarin.

Terkait beberapa peru­sahaan pertambangan yang melakukan pemutusan hubun­gan kerja (PHK) atau layoff ter­hadap karyawan, Pahala men­gaku hal ini tidak tertular ke perseroan. Hingga saat ini, kata dia, Bank Mandiri sama sekali tidak melakukan layoff.

Senada dengan Pahala, Corporate Secretary Bank Man­diri Rohan Hafas menyatakan, turunnya harga minyak dan komoditas memang memberi sedikit pengaruh terhadap performa NPL perseroan. Pas­alnya, ada beberapa debitur yang mengalami kesulitan, khu­susnya yang bergerak di sek­tor pertambangan. Meski ada peningkatan angka NPL, Rohan mengaku NPL Bank Mandiri hingga saat ini masih berada di kisaran yang wajar dan aman. Ia menjelaskan, NPL perseroan ada di kisaran 2 persen, ma­sih jauh dari batas ketentuan, yakni 5 persen. “Memang ada kenaikan, tapi tetap di batas yang wajar. Kita sama sekali ti­dak ada layoff, malah kita saat ini merekrut,” kata dia.

Terpisah, Presiden Direk­tur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mengakui, sektor-sektor pertambangan belum mampu menunjukkan pemulihan dalam waktu dekat. Namun begitu, eksposur perse­roan terhadap kredit di sektor tersebut sebenarnya tidak ter­lalu besar.

Dengan demikian, Jahja me­nyatakan BCA tidak terlalu ter­kena dampak melemahnya kin­erja sektor pertambangan dan migas. Bahkan, perseroan pun tidak melakukan layoff sama sekali terhadap karyawannya. “Kebetulan di pertambangan kita tidak terlalu banyak ekspo­sur. Layoff tidak ada, karena eksposur kita di pertambangan tidak banyak. Sangat kecil dam­paknya,” kata Jahja.

BACA JUGA :  Nakes RSUD Leuwiliang Dibekali Hukum Kesehatan

Selain itu, Jahja menyatakan pula rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) perseroan pun dapat tetap ter­jaga pada kisaran yang relatif rendah. Ia menyebut, NPL per­seroan kini berada di kisaran 0,7 hingga 0,8 persen.

Sementara itu, Ketua Komi­si VI DPR RI, Hafisz Thohir, me­nyampaikan situasi berbahaya Indonesia yang sedang dijauhi oleh para investor asing, khsu­susnya dari Amerika Serikat.

Hafisz mencontohkan heng­kangnya Ford dari Indonesia lebih dikarenakan iklim investa­si dan perekonomian Indonesia yang mulai mengkhawatirkan. ”Lebih kepada outlook ekonomi Indonesia yang buruk. Ini per­tanda tidak baik bagi investasi di Indonesia dan mencerminkan keadaan ekonomi yang suram ke depan jika tidak segera dia­tasi,” kata dia, kemarin.

Menurut dia, hengkangnya Ford dari Indonesia merupakan sinyal semakin memburuknya kondisi perekonomian Indone­sia saat ini dan tanda-tanda kri­sis ekonomi akan menghampiri Indonesia. Hal itu akan berpa­du dengan banyaknya negara tujuan ekspor Indonesia men­gurangi belanja.

Dia lalu membeberkan ekso­dus perusahaan besar di Indone­sia yang ditutup atau dipindah ke luar negeri di tahun 2015. Antara lain 27 perusahaan tekstil dan produk tekstil, 125 perusa­haan pertambangan batubara di Kalimatan Timur, 11 perusahan di Batam di bidang galangan ka­pal, elektronik, dan garmen.

Belum lagi Chevron Indo­nesia yang sedang mempertim­bangkan PHK 1700-an orang, se­mentara Commonwealth sudah mengkonfirmasi PHK terhadap 30-35 persen karyawannya. ”ANZ Bank, Citibank Indonesia juga bakal layoff. Bahkan Unit­ed Tractors sudah menawar­kan karyawannya untuk resign dengan pesangon. Di samping itu banyak perusahaan kecil, menengah yang tutup tanpa melapor ke Disnakertrans atau instansi terkait sehingga tidak tercatat,” kata dia.

Terpisah, Presiden Konfed­erasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Ikbal mengingat­kan pemerintah bahwa potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) masih menghantui Indo­nesia, khususnya pada industri migas, komponen otomotif dan elektronik serta perbankan.

KSPI mencatat, sejak Janu­ari 2016, jumlah PHK mencapai 8.000 tenaga kerja. Rincian­nya, Panasonic dan Toshiba mem-PHK 2.145 orang, perusa­haan elektronik Korea bernama Samoin 1.166 orang, Starlink 452 orang, dan perusahaan yang bergerak di sektor indus­tri perminyakan 5.000 orang. “Dugaan kami, yang kena PHK hingga Maret mendatang akan mencapai 10.000 orang. (*)

============================================================
============================================================
============================================================