Untitled-11KALAU bisa menaik kan, tentu bisa juga menurunkan. PT Pertamina (Persero) melakukannya, setelah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu, kini menurunkannya. Terhitung Kamis(10/12/ 2015), harga Pertamax dan Pertalite turun di kisaran Rp100 hingga Rp50/liter. Sementara, Premium dan Solar subsidi masih tetap. Diprediksi, kedua BBM ini turun Februari 2016.

YUSKA APITYA AJI
[email protected]

Harga Produk BBM non subsidi seperti Pertamax, Pertamax Plus, dan Pertamina Dex turun Rp 100/liter. Sedangkan Pertalite turun Rp 50/liter,” kata Direktur Pemasaran Pertamina, Ahmad Bambang, dalam pesan singkatnya, Kamis (10/12/2015).

Dengan penurunan harga tersebut, produk BBM non subsidi Pertamina menjadi: Pertamax 92 Rp 8.750/liter turun menjadi Rp 8.650/liter, Pertamax Plus Rp 9.750/liter menjadi Rp 9.650/liter dan Pertamina Dex Rp 9.950/liter menjadi Rp 9.850/liter. Penurunan harga Pertamax Cs ini dilakukan Pertamina, seb­agai kado hari ulang tahun Per­tamina ke-58 pada 10 Desember 2015 untuk masyarakat. “Ini dalam rangka ultah Pertamina,” ujarnya.

Bahkan, rencananya Per­tamina akan meninjau lagi harga produk BBM non subsidi pada pertengahan bulan Desember, apakah bisa turun lagi. “Nanti kita hitung lagi di tengah bulan apakah bisa diturunkan lagi,” tu­tup Bambang.

Minyak Dunia Tak Berpengaruh

Di tengah anjloknya harga minyak dunia di bawah USD 40 per barel, pemerintah belum berencana untuk menurunkan harga bensin Premium. Pertami­na memperkirakan harga bensin turun pada Februari tahun de­pan.

“Kalau kita melihat misalnya satu bulan sudah ada profit. Tapi kalau kita tarif dasar perhitun­gannya tiga bulan kita masih se­dikit minus. Kalau hitungannya 6 bulan sebelumnya tambah minus lagi,” kata Direktur Utama Per­tamina, Dwi Soetjipto, ditemui di acara Forum BUMN di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Kamis (10/12/2015).

BACA JUGA :  Menu Sederhana dengan Ayam Masak Tauco yang Bikin Menggugah Selera

Dwi mengakui, saat ini harga minyak dan dolar mengalami tren penurunan. Sehingga ke­mungkinan akan ada penye­suaian harga Premium yang akan dilakukan pemerintah. “Bukan pasti turun, tapi ada tren penu­runan, dolar kan sudah turun juga. Tetapi kita lihat dasar per­hitungan harga Premium nanti, satu bulan, dua bulan atau tiga bulan. Barangkali nggak bisa Januari (harga bensin turun), ya Februari. Kalau hitungannya 3 bulan, itu minus (rugi) 1%, mulai kecil lah ya,” tutup Dwi.

Saat ini, Pertamina sudah menurunkan harga BBM non subsidi seperti Pertamax series Rp 100/liter, sedangkan Pertalite turun Rp 50/liter. “Ya nanti kalau trennya harga minyak turun lagi ya kita turunin. Tergantung tren minyak dunia,” tutup Dwi.

Reformasi Fiskal

Pemerintah harus merefor­masi fiskal secara menyeluruh untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, khusus­nya dari sisi belanja negara. Hal Ini telah dilakukan dengan me­mangkas subsidi energi dan dia­lihkan kepada belanja yang lebih produktif yaitu pembangunan infrastruktur.

“Pemerintah sudah sangat tepat dengan memangkas sub­sidi energi dan dialihkan kepada pembangunan infrastruktur,” kata Direktur Eksekutif Gold­man Schacs Pte, Reza Y Siregar dalam acara Forum Internasion­al Ekonomi dan Kebijakan Publik di Hotel Nusa Dua, Bali, Kamis (10/12/2015)

Diketahui dalam setahun setidaknya dana negara yang dihabiskan untuk mensubsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik mencapai Rp 300 triliun. Sementara penerimaa subsidi bukanlah orang yang tidak mam­pu, melainkan kalangan menen­gah ke atas.

Ia menuturkan, tugas se­lanjutnya pemerintah adalah dengan merealisasikan pemban­gunan infrastruktur. Namun ha­rus dipahami, bahwa anggaran pembangunan tidak boleh ke­mudian tiba-tiba dihentikan. Se­bab pembangunan terjadi secara berkelanjutan. “Kita nggak bisa public investment kayak zigzag, naik turun. Uang untuk membi­ayai belanja infrastruktur itu be­sar,” jelasnya.

BACA JUGA :  Remaja di Cicalengka Bandung Dibacok Geng Motor Slotter

Meskipun sebenarnya dana tersebut masih belum cukup. Keterlibatan swasta dalam pem­bangunan juga besar pengaruh­nya. Anggaran infrastruktur ber­fungsi sebagai awal atau dasar pembangunan untuk menarik pihak swasta untuk melanjut­kan. «Kalau misalnya yang di­inginkan Pak Jokowi adalah USD 450 miliar, itu estimasi 8%-9% terhadap PDB untuk investasi setiap tahun sampe 2019. Paling-paling dari public investment itu cuma 2%-3% dari 8-9% tadi. Jadi masih ada gap sekitar 5%-6%. Itu mesti datang dari private invest­ment,” papar Reza.

Dampaknya juga tidak serta merta berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Reza me­lihat pengalaman 34 negara dari 1970-2010, efek dari pembangu­nan infrastruktur dari belanja akan terlihat 2-3 tahun setelahn­ya. “Itu harus terjadi suatu pen­ingkatan berkelanjutan di in­vestasi pemerintah selama paling nggak 24-36 bulan efeknya. Baru private investmentnya mulai ma­suk,” terangnya.

Ketika sektor swasta ma­suk, berarti roda perekonomian yang besar mulai berputar dan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi. “Maka kalau saya melihat seharusnya belanja itu tetap dipertahankan sampai lima tahun yang akan datang. Jadi saat masuk sektor swasta. Baru nanti dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi akan terlihat,” tegas Reza.

Proyeksinya, ekonomi tahun ini hanya akan mencapai 4,8%. Namun pada 2016 bisa bergerak ke 5,2% dan berlanjut sampai dengan 5,7% di 2017 dan 6,4% di 2018. “Pemerintah sudah tepat dengan membangun pembangkit listrik kemudian rumah, jalan di desa-desa, saluran irigasi hingga pelabuhan. Dampaknya nanti akan bisa menciptakan pertum­buhan ekonomi yang tinggi dan merata,” pungkasnya. (*)

============================================================
============================================================
============================================================