Naeni Amanulloh

Staf Pengajar Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Indonesia, Jakarta

 

 

Kasus penggunaan ganja untuk alasan kesehatan, menarik dikaji secara sosiologis. Di media Bogor-Today, penasehat hukum Ridho Rhoma, Ismail Ramli, mengatakan kliennya mengonsumsi sabu karena ingin memiliki bentuk badan yang kurus (http://www.bogor-today.com/ridho-rhoma-nyabu-karena-ingin-turunkan-berat-badan/). Terlepas dari kebenaran materiil normatif di persidangan, alasan konsumsi sabu untuk kesehatan pribadi membuka cara pandang sosiologis tentang eksistensi hukum narkotika di realitas sosial yang objektif.

Penggunaan sabu, ganja, apalagi perilaku sosial ngganja, mengandung konotasi negatif karena tumbuhan endemik wilayah tropis ini disalahgunakan untuk teler. Konotasi itu diperkuat dengan masuknya tumbuhan ini dalam Daftar Narkotika Golongan I menurut UU Narkotika.

Tentu perangkat normatif yang mengatur narkotika tidak bermaksud untuk memukul rata haramnya penggunaan ganja atau jenis Narkotika yang lain. Sejauh untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketersediaan ganja dan jenis narkotika yang lain tetap dijamin eksistensinya dalam prosedur yang rigid.

BACA JUGA :  Penemuan Mayat Pria di Parit Mandan Sukoharjo, Tak Ditemukan Kartu Identitas

Manfaat ganja untuk kesehatan atau pengembangan ilmu pengetahuan memang harus diberi celah dalam pengaturan tentang ganja. Sisi lain yang sesungguhnya juga pantas dan mesti diperhatikan adalah konteks sosiologis dimana ganja itu tumbuh dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Contoh paling mudah adalah di Aceh. Di kota Serambi Mekkah ini, sudah umum diketahui bahwa tanaman tropis tersebut telah menjadi bagian tradisi kuliner masyarakat.

Tanpa mengakibatkan hilang kesadaran atau teler, ganja menjadi bumbu masak harian bagi berbagai masakan seperti gulai kambing dan itik yang disajikan dalam ritual kenduri (http://www.lgn.or.id/budaya-ganja-di-aceh/).. Aspek sosiologis ini tampaknya tidak menjadi pertimbangan serius dalam pengaturan tentang narkotika, khususnya ganja. Sebagai ilustrasi, pengaturan terhadap ganja menandai minimnya realitas sosiologis keindonesiaan ditangkap dalam sistem hukum Indonesia.

Tulisan Anom Surya Putra, ’Fenomena Artis dan Narkoba: Hukum dan Habitus Berganja’, (http://www.bogor-today.com/fenomena-artis-dan-narkoba/) beberapa hari lalu tentang fenomena Ridho Roma dan narkoba, saya tangkap hendak menyatakan realitas sosiologis masyarakat Indonesia yang secara sosiokultural plural dengan pendekatan hukum, dan sejak dari doktrin dasarnya terlalu kaku untuk menerima pluralitas tersebut. Fenomena public figure dan narkoba ditelusuri lebih inklusif dalam sosiologi hukum, agar pengambil keputusan (hakim dan aparatus negara lainnya) bersiasat lebih konstitutif ketimbang punitif.

BACA JUGA :  Tega, Suami di Tuban Cekik Istri hingga Tewas, Diduga usai Cekcok

Sabu dan Diskursus Berat Badan

Bagaimana dengan shabu? Berbeda dengan ganja yang memiliki lokasi kultural dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh sejak dulu kala, dari semula shabu (atau sabu-sabu) merupakan kreasi modern untuk tujuan medis yang ditemukan di akhir abad ke-19. Shabu atau methamphetamine melekat dengan institusi sosial tertentu yakni lembaga medis/kedokteran. Zat ini sudah lama digunakan untuk mengobati pasien berpenyakit kelainan tidur dan attention deficit hyperactive disorder (ADHD) (lihat, http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/informasi-narkoba/2012/04/30/372/methamphetamine-chrystal-meth-shabu-ice)

============================================================
============================================================
============================================================