40145BOGOR, TODAY – Nilai tukar rupiah, Jumat (5/6/2015) kemarin melemah cukup tajam terhadap do­lar Amerika Serikat (USD). Dolar bahkan menembus level Rp 13.300, yang meru­pakan level setara krisis moneter 1998.

Deputi Guber­nur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah mengungkapkan, kondisi tersebut leb­ih dikarenakan fak­tor eksternal. Salah satunya karena ma­kin kuatnya indikator Bank Sentral AS The Fed untuk menaikan suku bunga. “Pertama pernyataan Gubernur Bank Sentral AS bahwa melihat posisi domestik AS yang sudah mulai recover dan beberapa indikator terkait inflasi sudah mulai naik. Mer­eka memberikan sinyal bahwa bank Sentral AS mungkin siap-siap naikan suku bunga,” ung­kapnya di Istana Bogor, Jumat (5/6/2015)

Kedua, lanjut Halim, kare­na negosiasi utang Yunani ng­gak begitu bagus. Kan aturan­nya utang itu harus selesai pada 5 Juni, tapi kemudian diperpanjang sampai 30 Juni.

Pengaruh lain juga datang dari dalam negeri. Khususnya akibat laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyam­paikan inflasi pada Mei sebesar 0,50%. Kemudian meningkat­kan permintaan USD oleh pe­rusahaan untuk pembayaran utang. “Inflasi 0,50% itu mem­buat khawatir. Jadi ada kombi­nasi seperti itu. Ditambah per­mintaan dolar akhir bulan Mei memang tinggi,” terang Halim.

Melonjaknya nilai USD hingga di atas Rp 13.300, ternyata belum mendorong masyarakat berbondong-bon­dong menukarkan mata uang dolarnya ke Rupiah. Seperti yang terjadi di money chang­er PT Kevin Valasindo, Jalan Melawai, Jakarta Selatan. Di tempat penukaran valas terse­but, kenaikan USD ternyata tidak berpengaruh signifikan pada transaksi mata uang dol­lar. “Masih tetap sama, tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya,” kata Ahmad Ja­mal, pegawai money changer, Jumat (5/6/2015).

BACA JUGA :  Justin Hubner Siap Perkuat Timnas Indonesia di Piala Asia U-23 2024

Di tempat penukaran yang berdampingan dengan kan­tor cabang bank daerah terse­but, kurs beli dipatok seharga beli 13.250, dan kurs jual Rp 13.300.

“Memang ada kenaikan, tapi sedikit sekali, dan itu juga nampaknya bukan karena do­lar lagi kuat, transaksi dolar saat ini berkisar di antara USD 100.000 per harinya. Tapi ka­lau dolar naik biasanya sedikit di atas besaran itu, lebih tergan­tung rame tidaknya,” jelasnya.

Salah seorang pengunjung money changer yang ditemui, Taufik mengatakan, dirinya datang menukarkan dolar AS karena kebutan rupiah untuk berbagai keperluan. “Bukan karena lagi naik dolar, me­mang lagi butuh saja. Saya nu­kar USD 10.000 untuk keper­luan saja,” ungkap Taufik.

Pegawai swasta tersebut bahkan tak tahu jika USD se­dang menguat akhir-akhir ini. “Saya nggak ikutin jadi kurang tahu, lagi butuh saja jadi lang­sung ke sini (money changer),” katanya.

Di money changer lain, PT Senopati Artha Utama di Jalan Monginsidi, Jakarta Selatan, penguatan USD juga tidak berdampak pada penukaran mata uang tersebut. Sunardi, staf marketing money chang­er mengatakan, belum ada kenaikan pengunjung yang menukar dolarnya ke rupiah. “Saya lihatnya nanti, masyara­kat masih nunggu momentum pas naik lagi, di kita masih stabil antara USD 10.000-USD 20.000 seharinya,” kata Suna­rdi.

BACA JUGA :  Tape Ketan Ternyata Miliki Banyak Manfaat untuk Kesehatan, Simak Ini

Sunardi mengungkapkan, selain USD, mata uang lain yang paling sering ditukarkan adalah dolar Singapura. “Kalau ada fluktuasi, memang setelah dolar AS biasanya juga dolar Singapura,” katanya.

Belum Percaya Jokowi Jumat pagi, USD dibuka stag­nan di posisi Rp 13.280 sama seperti posisi pada penutupan perdagangan Kamis. Hingga pukul 10.40 waktu JATS, dolar AS berada di posisi Rp 13.285.

Kepala Riset Universal Bro­ker Indonesia, Satrio Utomo, mengatakan melemahnya ru­piah ini disebabkan olah faktor melambatnya perekonomian Indonesia. “Orang masih be­lum percaya pemerintah bisa membangun ekonomi, inves­tor terbukti masih pada keluar, rupiah melemah, orang belum bisa percaya terhadap pemer­intahan Jokowi (Presiden Joko Widodo),” katanya kepada de­tikFinance, Jumat (5/6/2015).

Menurutnya, saat ini eko­nomi Indonesia sedang masuk masa-masa sulit, mulai dari daya beli yang turun hingga tingginya suku bunga. “Ini ma­sa-masa yang sulit, ditambah suku bunga BI yang sudah tinggi, kalau BI menaikkan suku bunga lagi ya akan lebih lambat lagi. Jadi roda ekonomi ini kompleks,” ujarnya.

(Alfian Mujani)

============================================================
============================================================
============================================================