Ancaman

Spekulasi adanya motif non­ekonomi di balik peredaran be­ras plastik perlu menjadi refleksi pemerintah bahwa urusan kebutu­han pokok masyarakat sangat sen­sitif dijadikan komoditas sekaligus pesan kepentingan partikular para pemburu rente untuk menyabo­tase pendistribusian hak dan kebu­tuhan pangan rakyat.

Dengan kata lain, ketidakmampuan mengendalikan operasi dan distribusi pangan yang layak bisa melahirkan krisis kepercayaan publik.

Kita masih ingat seriusnya Soekarno pada 1950-an terhadap isu ketersediaan makanan bagi rakyat sehingga di jajaran kabinet­nya pada waktu itu ada pos khusus untuk Menteri Persediaan Makanan Rakyat yang dijabat oleh IJ Kasi­mo.

Ia pernah menerbitkan program rencana produksi pertanian lima tahun lewat aksi penyuluhan dan efisiensi sistem bertani yang sengaja dirancang untuk menca­pai swasembada pangan. Namun, program itu gagal karena masalah pendidikan masyarakat yang ma­sih rendah.

Pemerintah Soekarno tak patah arang. Ia meluncurkan program bimbingan massal (Bimas) le­wat pendirian sentra padi dengan luas 50 hektare pada 1962.

BACA JUGA :  Lokasi SIM Keliling Kota Bogor, Rabu 24 April 2024

Ia pun menggalakkan sistem penyuluhan terpadu plus pemberian ban­tuan kredit kepada masyarakat yang dikembalikan dalam bentuk padi dengan melibatkan Badan penyuluhan, Perusahaan Negara Pertani, Bank Rakyat Indonesia, dan Badan Penyediaan Sarana Produksi Padi (Saprodi). Namun, program itu pun gagal.

Di tengah krisis pangan yang hebat melanda masyarakat dan stabilitas poli­tik yang juga kurang kondusif, pemerintahan Soekarno akhirnya dijatuhkan (Mubyarto, 2008).

Pemerintahan sekarang me­mang menghadapi situasi yang tak serumit era Soekarno. Saat ini, tingkat pendidikan dan pertum­buhan ekonomi masyarakat sudah berubah.

Namun, perlu diingat, tingkat daya beli rakyat menengah ke bawah yang masih minim dan kultur masyarakat yang menjadikan beras sebagai `makanan bergengsi (Samantha 2012) yang masih terpe­lihara, bukan tak mungkin hal itu akan merepetisi kekecewaan publik sebagaimana era Orde Lama.

BACA JUGA :  Diduga Balas Dendam, Keponakan di Bangkalan Bacok Paman hingga Tewas

Karena itu, pemerintah mau tidak mau harus proaktif melak­sanakan kebijakan penyelamatan pangan, antara lain dengan mengusut tuntas jalur-jalur tikus im­por beras ilegal, termasuk siapa saja dalang pengedar beras plas­tik.

Mereka yang terlibat dalam ke­jahatan pangan harus diberi huku­man semaksimal mungkin.

Secara politik, langkah itu penting artinya sebagai bagian dari politik menyelamatkan muka pemerintah dan jalannya pemer­intahan dari potensi ancaman krisis kepercayaan publik.

Bukan justru dengan melempar per­nyataan yang kerap membingungkan, yang membuat gaduh atau bahkan menyalahkan dan mengambinghitamkan rakyat. Pangan, sebagaimana pidato Soekarno di Gedung Fakultas Pertanian UI, Bo­gor, pada 27 April 1952, ialah soal mati hidup rakyat, bangsa, dan tentu saja mati hidupnya politik pemerintahan. (*)

Halaman:
« ‹ 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================