Ancaman
Spekulasi adanya motif nonÂekonomi di balik peredaran beÂras plastik perlu menjadi refleksi pemerintah bahwa urusan kebutuÂhan pokok masyarakat sangat senÂsitif dijadikan komoditas sekaligus pesan kepentingan partikular para pemburu rente untuk menyaboÂtase pendistribusian hak dan kebuÂtuhan pangan rakyat.
Dengan kata lain, ketidakmampuan mengendalikan operasi dan distribusi pangan yang layak bisa melahirkan krisis kepercayaan publik.
Kita masih ingat seriusnya Soekarno pada 1950-an terhadap isu ketersediaan makanan bagi rakyat sehingga di jajaran kabinetÂnya pada waktu itu ada pos khusus untuk Menteri Persediaan Makanan Rakyat yang dijabat oleh IJ KasiÂmo.
Ia pernah menerbitkan program rencana produksi pertanian lima tahun lewat aksi penyuluhan dan efisiensi sistem bertani yang sengaja dirancang untuk mencaÂpai swasembada pangan. Namun, program itu gagal karena masalah pendidikan masyarakat yang maÂsih rendah.
Pemerintah Soekarno tak patah arang. Ia meluncurkan program bimbingan massal (Bimas) leÂwat pendirian sentra padi dengan luas 50 hektare pada 1962.
Ia pun menggalakkan sistem penyuluhan terpadu plus pemberian banÂtuan kredit kepada masyarakat yang dikembalikan dalam bentuk padi dengan melibatkan Badan penyuluhan, Perusahaan Negara Pertani, Bank Rakyat Indonesia, dan Badan Penyediaan Sarana Produksi Padi (Saprodi). Namun, program itu pun gagal.
Di tengah krisis pangan yang hebat melanda masyarakat dan stabilitas poliÂtik yang juga kurang kondusif, pemerintahan Soekarno akhirnya dijatuhkan (Mubyarto, 2008).
Pemerintahan sekarang meÂmang menghadapi situasi yang tak serumit era Soekarno. Saat ini, tingkat pendidikan dan pertumÂbuhan ekonomi masyarakat sudah berubah.
Namun, perlu diingat, tingkat daya beli rakyat menengah ke bawah yang masih minim dan kultur masyarakat yang menjadikan beras sebagai `makanan bergengsi (Samantha 2012) yang masih terpeÂlihara, bukan tak mungkin hal itu akan merepetisi kekecewaan publik sebagaimana era Orde Lama.
Karena itu, pemerintah mau tidak mau harus proaktif melakÂsanakan kebijakan penyelamatan pangan, antara lain dengan mengusut tuntas jalur-jalur tikus imÂpor beras ilegal, termasuk siapa saja dalang pengedar beras plasÂtik.
Mereka yang terlibat dalam keÂjahatan pangan harus diberi hukuÂman semaksimal mungkin.
Secara politik, langkah itu penting artinya sebagai bagian dari politik menyelamatkan muka pemerintah dan jalannya pemerÂintahan dari potensi ancaman krisis kepercayaan publik.
Bukan justru dengan melempar perÂnyataan yang kerap membingungkan, yang membuat gaduh atau bahkan menyalahkan dan mengambinghitamkan rakyat. Pangan, sebagaimana pidato Soekarno di Gedung Fakultas Pertanian UI, BoÂgor, pada 27 April 1952, ialah soal mati hidup rakyat, bangsa, dan tentu saja mati hidupnya politik pemerintahan. (*)