BELUM banyak yang tahu mengenai sosok Jacobus Busono. Presiden Direktur Pura Group ini adalah satu-satunya wiraswasta dari Indonesia yang menjadi anggota World Enterpreneurship binaan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy.
Oleh : Apriyadi Hidayat
[email protected]
Dalam prinsip dan falsafah hidupnya, kesuksesan bisa beÂrangkat dari sikap tidak sombong, sehingga orang akan cenderung menghargai orang lain. Hal ini bisa direflekÂsikan dalam kepemimpinan dalam berbisÂnis, menurutnya seorang pemimpin tidak boleh sombong dengan bawahannya
Bos raksasa bisnis percetakan dan pengemasan terbesar di Asing Tenggara asal Kudus ini juga masuk dalam jajaran orang-orang terkaya di Indonesia. Keberhasilannya dalam pengembangan PT Pura Group yang awalnya hanya memiliki 35 pekerja, kini melonjak menjadi 12.000 orang. Salah satuÂnya ditunjang dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pembinaan karakter.
Berkat keuletan dan visinya yang kuat, ia telah berhasil menempatkan Pura sebagai perusahaan yang diperhitungkan di dunia dengan mengekspor kertas sekuriti dan kerÂtas uang ke 94 negara termasuk telah diperÂcaya mencetak uang Somalia.
Dalam prinsip dan falsafah hidupnya, kesuksesan bisa berangkat dari sikap tidak sombong, sehingga orang akan cenderung menghargai orang lain. Hal ini bisa direflekÂsikan dalam kepemimpinan dalam berbisÂnis, menurutnya seorang pemimpin tidak boleh sombong dengan bawahannya.
“Sombong itu merugikan diri sendiri dan orang lain. Pintar itu relatif. Pemimpin yang baik itu tidak mungkin sombong, peÂmimpin tidak boleh sombong dengan bawaÂhannya,†pesan Bus akrab Jacobus Busono, beberapa waktu lalu.
Menurutnya bila orang sombong, maka orang tersebut akan cenderung sulit menÂdengarkan dan menerima masukan dari orang lain, sehingga akan berpengaruh dalam pengambilan keputusan. “Filosifi ini berasal dari proses belajar saya, saya juga pernah sombong, dulu memimpin 200 orang (karyawan) saja setengah mati,†jelasÂnya.
Menurut pengusaha hologram yang perÂnah merugi selama 10 tahun ini, kesuksesan bisa diraih berawal dari kegemaran apa yang kita suka, sehingga dengan demikian orang akan fokus untuk melakukannya dan bersungguh-sungguh.
Sikap tidak sombongnya bisa dilihat dari prilakunya dalam menggunakan mobil, dari sekian banyak mobil yang ia miliki ia lebih senang memakai mobil-mobil tua dan sederÂhana. “Kalau mobil saya lebih suka dengan mobil yang lama bukan yang mewah, hidup itu tidak lama yang penting isinya. Saya pakÂai kijang, gak masalah yang penting nyamÂpai asal ada AC-nya, saya lebih senang pakai kijang yang pakai AC daripada Mercy gak ada AC,†ujarnya sambil tertawa.
Sebelum dikelola Jacobus, perusahaan ini didirikan oleh kakeknya yang tak lain adalah pendiri percetakan Ong Djing Tjong Electriche Drukkery, yang berdiri hampir satu abad lampau. Ketika didirikan tahun 1908, kakek dan ayahnya tak pernah berÂmimpi bahwa percetakannya bakal dikenal seperti sekarang. Saat itu, Electriche DrukÂkery hanyalah satu dari tiga percetakan kecil lain yang ada di Kudus, Jawa Tengah, yakni Sam Hoo Kongso, dan Tjung Hwa.
Sejarah Pura Group adalah sejarah JacoÂbus Busono. Ketika genap usia 16 tahun, JaÂcobus merasa telah menemukan dunianya. Demikianlah, keluarga mendukung minat dan bakat remaja penuh warna itu. Maka, diÂpilihlah Concordance HBS (Hoogere Burger School), sekolah setingkat SMU, yang dikhuÂsuskan bagi mereka yang akan meneruskan studi ke luar negeri. Di HBS, secara intensif siswa diberi pelajaran bahasa Belanda, JerÂman, Inggris, dan Prancis.
Usai pendidikan di HBS itu, ia menerusÂkan studi di akademi percetakan ternama di Belanda. Diteruskan ke Fach Hochschule (FH), bidang percetakan dan kertas di JerÂman. Ia mendalami fotografi, litografi, seÂparasi warna, dan bidang lain yang terkait erat dengan percetakan yang belum ada di Indonesia saat itu. Di Eropa, Jacobus benar-benar menjalani nasihat ayahandanya dan menjalani studinya dengan penuh riang.
Sekembali di tanah air tahun 1970, Jacobus sadar ilmu yang diperolehnya hanyalah seonggok teori yang tak beÂrarti apa-apa jika tak dipraktikkan. Ia mencoba beradaptasi dengan situasi, cara kerja, system, budaya, bahkan pengupahan. Ia sadar, realitas lapangan inilah sejatinya pengetahuan.
Proses inilah yang telah mempertaÂjam visi dan mata hati Jacobus Busono. Hanya produk-produk berteknologi tinggilah yang mempunyai prospek di masa depan. Ia memancangkan visinÂya: menjadikan Pura Barutama sebagai percetakan dengan kualitas terbaik. Dalam upaya itu, ia menerapkan inoÂvasi sebagai corporate culture Pura Barutama.
Mitos Generasi Ketiga
Di tengah prestasi yang diraihnya, Jacobus sesungguhnya ingin menyÂelipkan pesan kepada dunia bahwa orang Indonesia sejatinya tidak sebodoh seperti yang digembar-gemborkan orang. “Bangsa ini memiliki etos yang kondusif bagi pengembangan teknologi, yaitu sikap sepi ing pamrih rame ing gawe,†katanya. Etos itu akan menemukan momentumnya pada sikap budaya tepo seliro, santun dan taat. Namun, kondusivitas etos itu sangat bergantung pada pemimpinnya. â€Kita memÂbutuhkan pemimpin yang kuat,†ujarnya.
Tidak sebagaimana mitos sejarah peruÂsahaan keluarga di negara-negara berkemÂbang, nampaknya mitos generasi pertama sebagai pembangun, generasi kedua penikÂmat dan generasi ketiga penuai kehancuran, tak berlaku di Pura Barutama.
Sebagai pemegang tamÂpuk kepemimpinan Pura Barutama generasi ketiga, Jacobus Busono telah mengepakkan sayap bisnisnya sampai ke mancanegara. Berbagai ekspor dilakukan ke lebih dari 40 negara di kawasan Asia, Australia, Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Amerika.
(dari berbagai sumber)