PROSES perencanaan, penganggaran dan pertanggungjawaban APBD pada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota melibatkan lembaga eksekutif dan legislatif. Dus anggaran dapat berfungsi sebagai â€alat pengawas†rakyat terhadap pemerintah, sekaligus celah bagi terjadinya â€pertarungan†kepentingan politik diantara stakeholder tersebut.
Oleh: FIRMAN WIJAYA, S.H
Inilah yang terjadi di DKI Jakarta, ketika Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berseteru dengan DPRD DKI Jakarta soal pengesahan APBD 2015. Secara mengejutkan Ahok mengungÂkap temuan BPKP soal adanya “dana siluman†dalam pengadaan “Uninterruptible Power Supply (UPS)†di Dinas Pendidikan DKI dalam APBD tersebut. Kini setidaÂknya dua orang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dilingkungan DiÂnas Pendidikan sudah ditetapkan menjadi tersangka oleh Mabes Polri.
Menurut Mohammad Ikhsan (2012) Politik Anggaran adalah proses pengalokasian anggaran berdasarkan kemauan dan proses politik, baik dilakukan oleh perÂorangan maupun kelompok. Tidak dapat dihindari bahwa pengguÂnaan dana publik akan ditentukan oleh kepentingan politik tertentu. Selanjutnya Irene S. Rubin (2000) menyebutkan penentuan besaÂran maupun alokasi dana untuk rakyat senantiasa ada kepentingan politik yang diakomodasi oleh peÂjabat. Faktanya setiap alokasi angÂgaran sering kali mencerminkan kepentingan perumus kebijakan terkait konstituennya.
Postur APBD Kota Bogor TaÂhun 2015, vide Perda No. 9 TaÂhun 2014 tentang APBD Tahun Anggaran 2015 jo. Perwali No. 83 Tahun 2014 tentang PenjabaÂran APBD Tahun Anggaran 2015 terdiri dari : (1) Pendapatan Rp. 1.827.008.273.928, (2) Belanja Rp. 2.038.547.529.029, dan (3) PembiÂayaan Rp. 211.539.255.101. WalikoÂta Bima Arya Sugiarto disalah satu portal berita online (22/11/2014) menyebutkan banyak sekali pengÂgunaan anggaran yang dihemat di APBD tahun 2015. Penghematan itu dialokasikan untuk kebutuhan anggaran belanja langsung. Bima juga menegaskan, efisiensi angÂgaran juga diupayakan dengan mengurangi berbagai kegiatan perjalanan dinas, acara rapat di hotel, bintek, kajian dan pemangÂkasan anggaran yang tidak terlalu penting.
Anomali Anggaran Kesehatan
Pasal 171 Ayat (2) Undang-UnÂdang RI No. 36 Tahun 2009 TenÂtang Kesehatan (UU Kesehatan) mewajibkan besar anggaran keseÂhatan pemerintah daerah provinÂsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari APBD di luar gaji. Postur angÂgaran kesehatan dalam APBD Kota Bogor Tahun 2015, vide Perda No. 9 Tahun 2014 tentang APBD TaÂhun Anggaran 2015 jo. Perwali No. 83 Tahun 2014 tentang Penjabaran APBD Tahun Anggaran 2015 terdiÂri dari : (1) Pendapatan Daerah Rp. 34.659.535.000, dan (2) Belanja Daerah Rp.140.278.646.059, dipeÂruntukan untuk (a) Belanja Tidak Langsung Rp. 43.849.728.918, dan (b) Belanja Langsung Rp. 96.428.917.141.
Jika kita hitung ulang maka didapat besaran prosentase angÂgaran kesehatan tidak memenuhi standar minimal UU KesehatÂan yang menetapkan 10% dari APBD diluar gaji. Jika anggaran belanja dalam APBD Kota BoÂgor Tahun 2015 sebesar Rp. 2.038.547.529.029, maka idealnya Anggaran Belanja Langsung pada SKPD Dinas Kesehatan harus diaÂtas Rp. 200 miliar rupiah, kemuÂdian ditambah anggaran belanja tidak langsung. Sehingga postur ideal anggaran belanja kesehatan tahun 2015 seharusnya diatas Rp 250 miliar rupiah. Besaran anggaÂran kesehatan ini ideal karena UU Kesehatan memerintahkan agar anggaran kesehatan diprioritasÂkan untuk kepentingan pelayanan publik. Dus anggaran kesehatan yang ditetapkan pada APBD 2015 harus dianggap inkonstitusional karena melanggar Pasal 171 Ayat (2) UU Kesehatan.
Namun dari anggaran beÂlanja langsung sebesar Rp. 96.428.917.141 masih ditemukan anggaran pada mata program yang mengandung anomali (ketiÂdaknormalan) karena nilainya yang fantastis, paradoks dengan misi walikota yang akan melakuÂkan penghematan dan/atau efisiensi anggaran, misal pada anggaran perjalanan dinas.
Pada belanja langsung setidaÂknya hampir disetiap mata proÂgram dianggarkan untuk belanja perjalanan dinas, yang terdiri dari : (1) Perjalanan Dinas Dalam DaeÂrah, dan (2) Perjalanan Dinas Luar Daerah. Jika kita jumlahkan keseluÂruhan anggaran tersebut maka diÂdapatkan angka Rp. 4 miliar rupiah lebih hanya untuk perjalanan dinas di SKPD Dinas Kesehatan. Jika lebih detail membaca penjabaran APBD tahun 2015 kita mungkin heran karena pada mata program PengeÂlolaan Dana Kapitasi JKN pada PuskÂesmas (kode 1.02.1.02.01.33.13); Belanja Perjalanan Dinas Dalam Daerah dianggarkan sebesar Rp. 2.413.589.000 (kode 1.02.1.02.01.33 .13.5.2.2.15.01).
Selain itu pada mata proÂgram Peningkatan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (kode 1.02.1.02.01.25.03), anggaran Belanja Modal (BM) untuk penÂgadaan televisi dianggarkan sebeÂsar Rp. 37.345.000 (kode 1.02.1 .02.01.25.03.5.2.3.11.11), pertanÂyaannya berapa unit televisi yang akan dibeli ?, karena tidak ada rincian pastinya. Namun jika kita merujuk ke BM pengadaan Mega Phone Rp. 10.465.000 (kode 1.02.1.02.01.33.13.5.2.3.10.14) dan BM pengadaan UPS/Stabilizer Rp 3.750.000 (kode 1.02.1.02.01.33.1 3.5.2.3.12.08), maka kita bisa simÂpulkan bahwa 1 unit televisi diangÂgarkan sebesar Rp. 37 Juta, karena untuk pengadaan dua item terseÂbut pun tidak dirinci pula.
Bahkan hanya untuk PenyusuÂnan Perencanaan dan Pelaporan SKPD dianggarkan Rp. 50.000.000 (kode 1.02.1.02.01.06.05) dan Evaluasi Permohonan Hibah dan Bantuan Sosial dianggarÂkan Rp. 40.000.000 (kode 1.02.1.02.01.06.06). Anomali lain di postur anggaran kesehatan ini adalah banyaknya anggaran yang sebenarnya sama dengan angÂgaran pada program lainnya tapi nominal anggarannya berbeda-beda, misal anggaran untuk BM Pengadaan Komputer/PC, BM Pengadaan Program Komputer (software), BM Cetak dan PengÂgandaan, BM sewa sound system dan perlengkapannya dan lainnya.
Mencegah Korupsi
Satu hal penting yang menjadi dampak negatif reformasi adalah terjadinya transformasi dari oliÂgarchi corruption menjadi demoÂcratic corruption. Korupsi yang pada masa Orde baru hanya diÂlakukan oleh sekelompok elit poliÂtik kini menyasar kemana-mana, dilakukan secara bersama-sama dan terbuka.
Hal tersebut dapat terjadi dengan menggunakan tata cara dan mekanisme demokrasi meÂlalui pemanipulasian nilai-nilai dan prosedur demokrasi untuk kepentingan pribadi atau golonÂgan. Inilah yang menyebabkan terciptanya demokrasi korupsi (democratic corruption) yaitu suatu proses pengambilan kebiÂjakan publik yang didasarkan atas kepentingan pribadi, keluarga, partai politik, atau kelompok keÂpentingan. Dus korupsi bukan saja terjadi pada saat pelaksanaan, naÂmun juga dalam proses perencaÂnaan, bahkan pada tahap ini bisa dibilang lebih kental.
Priyanto (2003) menyebutkan berdasarkan hasil penelitian InÂdonesian Coruption Watch (ICW), kejahatan korupsi terhadap APBD dilakukan dengan modus-modus sebagai berikut : (1) modus peÂnipuan terhadap anggaran, (2) modus menciptakan anggaran baru, (3) modus mark up angÂgaran, (4) modus pengalokasian anggaran yang sebetulnya sama dengan anggaran lainnya, (5) moÂdus pembuatan anggaran tanpa perincian, (6) modus menghilanÂgkan pos anggaran, dan (7) modus pengalihan anggaran.
Sebenarnya korupsi bukan tanpa solusi. Kuncinya harus ada kesadaran bersama semua pihak untuk menyelamatkan negeri ini dari jeratan korupsi, semua pihak harus mengambil bagian. Pencegahan sebenarnya lebih utama dari penindakan korupsi. Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003 (United Nations Convention Againts Corruption/ UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2006, jelas sekali mengatur pencegahan tindak pidana korupsi dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
UNCAC mengupayakan penceÂgahan dengan memperbaiki transparansi dan meningkatkan integritas birokrasi pemerintahan. Dengan memperbanyak penceÂgahan, high cost economy dapat ditekan dan korban yang meluas dimasyarakat dapat dikurangi. Penindakan korupsi tetap dilanÂjutkan sebagai salah satu upaya untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku dan efek pencegaÂhan bagi orang lain. Korupsi akan terus berkembang dan berulang kembali apabila upaya perbaikan sistem sebagai salah satu upaya pencegahan tidak dilakukan.
Penganggaran kesehatan dalam APBD 2015 secara programatik sangat jauh dari inovasi, bahkan cenderung berpotensi merugiÂkan keuangan negara. Kebijakan politik anggaran kesehatan yang pro terhadap pelayanan publik, transparan, partisipatif dan akunÂtabel harus menjadi titik berat dari pola anggaran yang ada sebagai bentuk perbaikan sistem. Sehingga politik anggaran yang berkeadilan bisa terwujud dan dapat menceÂgah korupsi. Untuk memenuhi ekspektasi masyarakat tersebut, Walikota Bima Arya Sugiarto haÂrus membuka akses yang luas keÂpada APBD 2015, agar masyarakat mengetahui hak-haknya dan dapat mengawasi pelaksanaannya. SeÂhingga visi dan misi Bima-Usmar yang dalam kampanye Pemilukada Kota Bogor 2013 lalu berjanji akan “Mewujudkan Pemerintah yang Bersih dan Transparan†benar-benar terwujud.