Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Kementerian LingkunÂgan Hidup dan Kehutanan tengah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) untuk flora langka kharismatik Indonesia, khuÂsusnya Rafflesia dan AmorÂphophallus. Keduanya adalah spesies dari bunga bangkai.
Oleh : (Yuska Apitya Aji)
“PENYUSUNAN SRAK ini meruÂpakan sebuah gebrakan anyar karena kali pertama dilakukan di Indonesia untuk bidang flora,†kata Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LembaÂga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Didik Widyatmoko dalam Lokakarya Nasional penyusunan SRAK Rafflesia dan AmorphophalÂlus di Kebun Raya Bogor, kemarin malam. Menurut Didik, sebelumnya, dokumen SRAK baru dikeluarÂkan oleh Kementerian LingkunÂgan Hidup dan Kehutanan bagi fauna saja. “Ini momentum sanÂgat penting, karena selama ini Kementerian LHK konsen pada satwa-satwa besar saja, tumbuÂhan juga sangat penting, mikÂroba juga. Apalagi Rafflesia dan Amorphophallus menjadi ikon Indonesia,†katanya.
Dikatakannya, penyusunan SRAK kali ini adalah salah satu kontribusi LIPI sebagai “scienÂtific authority†di bidang konÂservasi dan keanekaragaman hayati di Indonesia. Mengingat data dan rekomendasi ilmiah unÂtuk konservasi kedua jenis flora Rafflesia dan Amorphophallus sulit diimplementasikan tanpa kerja sama dengan Kementerian LHK sebagai pemegang otoritas manajemen konservasi in situ dan keanekaragaman hayatinya.
“Penyusunan SRAK ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan pihak terkait, tidak hanÂya Kementerian LHK, tapi juga berbagai pihak seperti lembaga penelitian, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, serta pemerintah daerah tempat dua spesies itu ada,†katanya.
Didik juga menambahkan, lokakarya nasional kali ini diÂharapkan menghasilkan dua draf final SRAK Rafflesia dan AmorÂphophallus yang siap disahkan oleh Global Strategy for Plant Conservation (GSPC).
Sementara itu, Kepala Pusat Litbang Konservasi dan RehabiliÂtasi Badan Litbang dan Inovasi Kementerian LHK, Adi SusmianÂto menyebutkan, ide dasar SRAK Rafflesia dan Amorphophallus muncul dari Pemerintah ProvinÂsi Bengkulu yang mau menjadiÂkan dua puspa langka tersebut sebagai ikon daerah.
“Pemerintah Provinsi BengÂkulu ingin Rafflesia dan AmorÂphophallus ini menjadi daya tarik ekowisata yang memberiÂkan manfaat luas kepada kesÂejahteraan masyarakat. Selama ini riset sudah banyak, tapi beÂlum ada memanfaatkannya unÂtuk ekowisata,†katanya.
Ia mengatakan, dengan SRAK tersebut menjadi pemandu rujuÂkan bagi berbagai pihak untuk bagaimana melakukan konservaÂsi tumbuhan maupun satwa liar. “SRAK sebagai rujukan, ini dibutuhkan, walau PP tentang perlindungan satwa atau puspa langka sudah ada, tapi perlu diturunkan per jenis,†katanya.
Adi Susmianto menjelaskan, SRAK Rafflesia dan AmophophalÂlus merupakan yang pertama untuk jenis flora, masih ada 22 jenis flora langkah yang dilindÂungi dalam Peraturan PemerinÂtah Nomor 7 Tahun 1999 yang akan dibuatkan SRAK nya.
“Jadi SRAK ini meliputi konÂservasi, pemanfaatan, dan seÂmua aspek manajemen, hanya karena ide dasarnya tadi ada kepentingan pemerintah daeÂrah yang ingin memanfaatkan dua puspa langka ini, jadi janÂgan sampai terjebak urusan konservasi. Tapi pemanfaatan perlu konservasi untuk jangka panjang, pemanfaatan tanpa konservasi itu jangka pendek,†katanya.
Deputi Bidang Ilmu PengetaÂhuan Hayati (IPH) LIPI, Prof Enny Sudarmonowati menyebutkan, Rafflesia dan Amorphophalus sudah masuk dalam daftar jenis tumbuhan dilindungi berdasarÂkan Peraturan pemerintah NoÂmor 7 Tahun 1999. Rafflesia sebeÂlumnya telah ditetapkan sebagai puspa langka nasional menurut Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Puspa dan Satwa Nasional.
Jenis Rafflesia bahkan dikateÂgorikan sebagai spesies prioritas konservasi nasional berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.57/Menhut-II/2008, tentang arahan strategis konÂservasi spesies nasional 2008-2018.
“Keberadaan kedua spesis langka ini belum dimasukkan dalam pertimbangan perencaÂnaan pembangunan. Jika tidak diÂtangani dari sekarang, maka kepuÂnahan sangat mungkin terjadi dalam waktu dekat sementara taÂhapan dari penelitian hingga bisa diaplikasikan untuk konservasi membutuhkan waktu lama,†kaÂtanya.