Untitled-4KOMISI III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan KPK. Rapat yang digelar hingga lima jam ini menghasilkan tiga kesimpulan yang disepakati antara Komisi III dengan KPK.

YUSKA APITYA
[email protected]

Wakil Ketua Komisi III DPR Benny Kabur Harman membaca­kan tiga kesimpulan ini. Pertama, Komisi III meminta KPK untuk memberikan masukan yang lebih detail dan kom­prehensif mengenai hal-hal yang perlu direvisi dalam rangka mem­perkuat KPK.

“Sehubungan dengan rencana perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pem­berantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK),” kata Benny dalam rapat kerja pendapat di ruang Komisi III, Nusantara II, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (18/6/2015).

Kemudian, kesimpulan ked­ua yang disetujui yaitu Komisi III mendesak KPK agar bisa menyusun dan mematuhi Standard Operational Procedure (SOP) dalam menjalan­kan tugas dan kewenangan. Hal ini untuk melakukan peningkatan pengawasan internal yang bertu­juan mencegah penyalahgunaan ke­wenangan.

Dalam poin kedua ini sempat terjadi perbedaan pendapat antara pimpinan KPK dengan pimpinan rapat terkait istilah kata ‘mematuhi’ SOP. Namun, akhirnya pihak KPK bisa menerima poin kesimpulan ini. “Oke kita setuju ya. Karena kalau hanya menyusun tapi tidak dileng­kapi mematuhi tidak pas. Jadi harus disertai,” ujar politisi Demokrat itu.

BACA JUGA :  Kebakaran Hanguskan Warung Nasi Campur Bali dan Dua Kios di Gianyar

Lalu, kesimpulan ketiga yaitu Komisi III meminta KPK bisa me­nyusun sistem pencegahan korupsi yang lebih terukur dan sistematis di seluruh kementerian atau lembaga/ badan. Selain itu, instasi pemerintah daerah juga termasuk dalam poin kesimpulan ini. “Ini untuk dipatuhi dan mencegah serta mengurangi praktek korupsi,” tuturnya.

Sementara itu, Menkum HAM Yasonna Laoly juga ingin membatasi penyadapan KPK hanya di ranah penyidikan saja dan tak memberi­kan kewenangan penyelidik untuk menyadap.

Plt Pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji berang dengan gagasan Yasonna itu. “Pernyataan Menkum HAM terkait penyadapan sepertinya ringan-ringan saja. Bisa dilakukan dalam proses pro justicia, dalam proses penyidikan itu. Tapi buat KPK itu akan menimbulkan dampak yang luar biasa,” kata Indriyanto dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Senayan, Ja­karta, Kamis (18/6/2015).

Indriyanto menegaskan, we­wenang penyadapan merupakan salah satu keunggulan KPK. KPK biasa melakukan penyadapan saat dalam proses penyelidikan untuk menemukan alat bukti sebelum kasus naik ke penyidikan. Namun, Yasonna justru ingin KPK hanya bisa menyadap saat proses penyidikan. “Bahwa sebenarnya marwah KPK itu ada di pasal 44 UU KPK. Kita memiliki perbedaan dengan lembaga penegak hukum lain, itu bisa memperoleh dua alat bukti yang dianggap seba­gai permulaan, apa yang namanya itu sangat berperan sekali. Itu yang namanya berbeda dengan penegak hukum lain,” jelas Indriyanto.

BACA JUGA :  Warga Sidoarjo Heboh, Penemuan Bayi Laki-laki di Rumah Kosong

“Revisi membahas penyadapan, itu konsep yang melemahkan KPK dan menghilangkan kewenangan KPK karena dalam pasal 12 itu ada termas­uk pencekalan, tindakan-tindakan yang non pro yusticia,” imbuhnya.

Menurut Indriyanto, rencana Menkum HAM yang ingin memper­cepat revisi UU KPK adalah proses politik yang ingin mereduksi ke­wenangan KPK. Jika Yasonna tetap ingin menghilangkan kewenangan penyelidik KPK untuk melakukan penyadapan, maka lebih baik KPK dibubarkan saja. “Roh dari UU KPK ada di pasal 44, jika dibatasi hanya dalam pro justicia, sama juga den­gan melakukan reduksi dalam ke­wenangan KPK, jika diimplementa­sikan itu lebih baik KPK dibubarkan saja,” tegasnya. (*)

======================================
======================================
======================================