20150622_162546Pengrajin wayang golek asal Bogor ini namanya sudah tersohor di dunia, terutama bagi para turis mancanegara pehobi traveling. Tak sekedar mengais rejeki lewat tangan terampilnya, pria yang sudah berusia 58 tahun ini juga ingin terus menjadi bagian dari pelestari kesenian dan kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa Barat. Namun, berbagai kendala mulai menerpa industri kreatif ini, mulai dari menurunnya jumlah kunjungan turis hingga tidak adanya dukungan dari pemerintah. Walhasil, kondisi tersebut membuat usaha ini nyaris gulung tikar. Seperti apa kisahnya?

Oleh : Apriyadi Hidayat
[email protected]

Dase Adang Sutisna bukanlah lulusan perguruan tinggi juru­san kesenian. Bukan juga ketu­runan seniman kawakan. Dia hanyalah seorang pria yang SD pun tak tamat. Dase terpaksa harus berhen­ti sekolah sejak kelas 4 SD akibat masalah yang mendera keluarganya.

“Semua karena ketidaksengajaan dan keterpaksaan. Saya tidak punya ijazah, in­stansi atau perusahaan mana yang mau menerima bekerja orang seperti saya. Ke­mudian saya menjalani pekerjaan sebagai kuli bangunan pada 1973. Selang dua ta­hun, saya kemudan menikah. Dulu gaji saya Rp1.000 per hari dan itu tidak cukup untuk menghidupi anak dan istri. Akhirnya saya memutar otak untuk mencari usaha samp­ingan,” cerita Dase kepada BOGOR TODAY di workshop-nya, di Kampung Lebak Kan­tin, Kelurahan Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Senin (22/6/2015).

Memulai berkenalan dengan wayang golek pada 1975, saat itu Dase Adang Sutisna tak langsung menjadi pengrajin. Ia memulai dengan menjajakan wayang golek di sekitar Kebun Raya Bogor hasil dari pengrajin dae­rah lain. “Awalnya saya bawa empat buah wayang golek. Ternyata turis luar negeri banyak yang suka dan membeli. Terus saya bawa delapan wayang dan laku,” ungkap­nya.

Titik balik Dase terjadi saat bertemu den­gan salah satu turis asal Belanda. Ia memin­ta dibuatkan lebih banyak lagi wayang golek dari yang ia bawa lantaran dalam waktu dekat turis tersebut menjanjikan akan mem­bawa banyak rombongan.

“Saya diminta untuk produksi lebih ban­yak oleh turis Belanda itu. Tak pikir panjang saya langsung menyangupi peluang ini. Kemudian saya ajak pengrajin golek dari Cinangneng, Ciampea. Saya tawarkan kerja dengan saya, Alhamdulillah dia tertarik,” katanya.

Benar saja apa yang dijanjikan turis Be­landa itu. Nama Dase pun mulai dikenal dari promosi turis mulut ke mulut. Bahkan, sejumlah media sing mulai memberitakan mengenai kerajinan yang bisa dijadikan oleh-oleh jika berkunjung ke Jawa Barat. Dase kemudian meningkatkan produksi wayangnya. Bahkan buku panduan wisata dari negara seperti Prancis, Jerman, Belan­da, Inggris, Italia dan Spanyol, selalu me­munculkan nama Dase sebagai salah satu rekomendasi kunnjungan wisata.

Dase semakin sumringah ketika Presiden Soeharto ketika itu menggairahkan tingkat kunjungan turis mancanegara ke Indonesia. Bogor yang dikenal dengan Kebun Rayanya pun tak luput dari kunjungan para turis. Hal tersebut membuat Dase terciprat rejeki. Hampir setiap hari selalu saja ada turis yang datang ke workshop-nya di Kampung Lebak Kantin itu. Tak sekedar melihat, turis itu pun membelinya untuk dijadikan cindera­mata.

“Orang Eropa lebih menghargai kesenian kita dibandingkan orang pribuminya. Way­ang Golek sangat disukai karena ini murini kerjaninan tangan, bukan terbuat dari me­sin,” tandas bapak dengan 11 anak ini.

Kehalian membuat wayang golek ia akui didapat secara otodidak. “Saya tidak punya keturunan seniman. Membuat wayang golek saya dapat otodidak, saya lihat bentuknya lalu saya buat dan ternyata bagus dan berha­sil. Saya pekerjakan karyawan tujuh orang, mereka membuat pola, kemudian saya yang melakukan finishing,” jelasnya.

Hampir semua jenis wayang ia bisa buat, seperti Rama-Shinta, Arjuna –Srikandi, Bima, Gatot Kaca, Yudistira dan lain seb­againya. Bahkan, Dase melakukan inovasi baru dengan menyediakan layanan mem­buat wayang sesuai pesanan. “Bisa buat wayang dengan ajah kita sendiri. Cukup dengan mebawa foto tampak depan dan samping ukuran 10 R. Kostumnya juga bisa dibuat sesuai pesanan. Untuk harga saya patok Rp3.250.000 per unitnya. Wayang pesanan ini dimaksudkan untuk mem­berikan pilihan lain agar konsumen tidak bisan,” kata dia.

Untuk wayang biasa, Dase membanderol kerajinan mulai Rp650 ribu untuk ukuran 65 cm dan Rp750 ribu untuk wayang beru­kuran 75 cm.

(Apriyadi Hidayat)

============================================================
============================================================
============================================================