PUASA bisa dilihat juga sebagai pendidikan ideologi sosial radikal bagi orang yang menjalaninya. Inti pendidikan itu adalah transformasi sosial.
Oleh: M MUCHLAS ROWI
Jika sebelum ritual puasa, realitas sosial menunjukkan kemungkaran sosial (dehuÂmanisasi) di mana-mana, korupsi merajalela, dan kekerasan telah menjadi logika umum di masyarakat, maka logiÂkanya puasa mesti menghasilkan alumni pendidikan ideologi sosial yang berani melakukan jihad akÂbar atau perang besar melawan hawa nafsu berupa kemungkaran dalam kenyataan hidup sehari-hari. Lalu, jika kemungkaran maÂsih tetap berjaya, bahkan semakin akut, itu berarti pelaku puasa tidak mengamalkan ilmu yang didapat dari puasa.
Bagi para penganut logika forÂmalistis, jika tujuan yang diamÂanatkan puasa tak dapat menggerÂakkan transformasi sosial (tanpa hasil), maka puasa (meminjam istilahnya Bacon, 1625) menjadi epistemologi yang keliru. Lalu unÂtuk apa berlapar-lapar puasa jika ternyata ada aksioma (badihi), hiÂpotesis, dan terapi lain yang mamÂpu menggerakkan misi profetik tersebut?
Sesat Pikir
Inilah kekeliruan logika formal Aristotelian yang acap kali menÂjangkiti para penganut agama, termasuk para pelaku puasa (shaiÂmun). Penyakit yang sebetulnya telah menampakkan akarnya sejak Ibnu Sina dan Al-Farabi menerÂjemahkan logika formal AristoÂtelian ke dalam logika (mantiq) dalam Islam, bahkan hingga qiyas Imam Syafii yang kaku dan formalÂistik (Mulkhan, 1997).
Logika praksis yang formalistik ini menjadikan umat selalu berÂpikiran sederhana (instant), bahÂkan dangkal (sathihi). Tak heran jika puasa yang dijalani dianggap telah cukup dan sempurna bila diiringi dengan membayar zakat fitrah, memakai jilbab bagi peremÂpuan, berjanggut bagi lelaki, dan tadarus. Sedangkan bagi media massa, puasa dianggap cukup reÂligius dan sempurna hanya denÂgan menayangkan sinetron berbau keagamaan, kuis Ramadan, atauÂpun tayangan infotainment yang menceritakan pengalaman publik figur yang mendapat berkah puaÂsa, sementara di sekelilingnya keÂmungkaran sosial semakin meraÂjalela serta jarak antara si miskin dan si kaya kian menganga.
Pada akhirnya logika praksis meniscayakan puasa sebagai aktiÂvitas individual, menjadi dangkal dan sederhana, namun dengan pengharapan yang besar dan globÂal (Russel, 1946). Mengharapkan terjadi transformasi sosial secara radikal dan global, namun dengan neraca dan kunci epistemologi yang dangkal dan sederhana, tenÂtumerupakanhal yangmusykil. SeÂbab, justrusebaliknya, logika forÂmal meniscayakan manusia yang saleh secara individual, namun miskin kepedulian sosial.
Logika dangkal (sathihi) bahÂkan belakangan menahbiskan bahwa transformasi sosial, tatanan masyarakat yang tertata secara baik, dan perubahan sosial tak melulu memerlukan segala konÂsepsi metafisika tentang kebaikan. Ritual puasa, zakat, agama, atauÂpun hal-hal bersifat tradisional tak diperlukan lagi. Sebaliknya, untuk menafsirkan bahasa zaman yang mutakhir diperlukan epistemologi dan ilmu pengetahuan yang berÂsumber pada akal dan rasionalitas. Segala konsepsi tradisional, menuÂrut penganut logika ini, ternyata tak kunjung meniscayakan umatÂnya untuk membentuk tatanan masyarakat yang lebih beradab (civilized), alih-alih justru memunÂculkan kemandekan (jumud), radiÂkalisme, bahkan terorisme.
Atas nama sains dan peradaÂban, penganut logika formal ini berusaha mengakhiri anakronisme pandangan teosentrisme ke arah antroposentrisme, yaitu membuat manusia menjadi tolok ukur dari segala sesuatu (humanisme dan eksistensialisme). Menekankan kemerdekaan â€akal†dari â€wahyu†dan intuisi intelektual, ditambah penghambaan pada humanisme, rasionalisme, empirisme, dan natÂuralisme pasif, serta kemerdekaan dan kebebasan semu hanya menÂciptakan manusia-manusia kaku yang dipenuhi hasrat (desire) dan kesadaran palsu (fals counsiousÂness).
Ideologi Sosial-Radikal
Merespons kecenderungan logika formalistik dan pandanÂgan underestimate atas logika tradisional tersebut, penggagas teologi transformatif Dr. Muslim Abdurrahman menyuguhkan pemaknaan tradisional-kritis, raÂsionalisasi keimanan (fides quern intelectum) khususnya terkait ibaÂdah puasa dengan menggunakan neraca dan kunci epistemologi yang lebih holistis melalui pemakÂnaan kritis pesan Nabi Muhammad SAW tentang esensi puasa dan keÂmungkaran sosial. Dalam pesan profetik tersebut, ia menangkap pesan idiologi sosial yang sangat radikal dalam hadis Nabi, â€MakanÂlah sebelum kamu lapar, dan berhentilah sebelum kenyangâ€. Ideologi sosial yang kemudian menyiratkan tiga misi profetik yang harus dimiliki umat berpuasa dalam menghadapi kemungkaran sosial, yaitu; egalitarianisme, moÂralitas zuhud, dan jihad akbar.
Bagi orang miskin, menahan haus dan lapar tentu merupakan hal yang biasa dan telah menjadi perjuangan sehari-hari. Orang miskin telah terbiasa menahan hasrat sehingga jauh dari konsumÂerisme. Sedangkan bagi si kaya yang lebih diuntungkan oleh laju pertumbuhan ekonomi, menahan hasrat konsumtif tentu bukan hal biasa. Bahkan, mungkin malah diÂanggap sebagai jihad akbar, yaitu melakukan perang tertutup melaÂwan nafsu dan kerakusan sosial.
Puasa pada hakikatnya menisÂcayakan kesamaan perasaan dan realitas sosial (egalitarianisme). Si kaya ataupun si miskin ditunÂtut untuk mampu menahan lapar dan haus akan materi (moralitas zuhud). Tak ada yang membedaÂkan para pelaku puasa kecuali ketÂakwaannya (laallakum tattaquun), karena puasa merupakan proses penyucian jiwa yang meniscayÂakan kembalinya manusia pada naluri dan fitrahnya sebagai manuÂsia yang memiliki potensi kebaikan dan kesempurnaan.
Transformasi sosial pada akhÂirnya akan ditentukan kemamÂpuan para shaaimun untuk sampai pada kesucian (fitrah) dan qudrah-nya sebagai pencapaian terakhir dan kesempurnaan manusia (al-InÂsan al-kaamil) yang merefleksikan aktivitas sosial. Sebagaimana kata Feurbach bahwa neraca kebenaÂran epistemologi mesti berupa akÂtivitas sosial atau kesalehan sosial dalam bahasa agama.
Senada dengan Muslim AbdurÂrahman, Feurbach, dan Bertrand Russel, bahkan Murtadha MutahÂhari menawarkan pemaknaan seÂmiotika agama dan epistemologi yang mendasar dan radikal. MenuÂrut Mutahhari, pemaknaan simbol keagamaan yang telah menjadi ritual, misalnya puasa, jika hanya berdasarkan logika formal AristoÂtelian ansich, hanya akan menimÂbulkan kebekuan dan kekakuan laju dan gerak bahasa zaman yang kian mutakhir.
Kulminasinya adalah kemungÂkaran sosial niscaya semakin merasuki umat, bahkan diyakini sebagai hal biasa dan pada akhÂirnya dianggap sebagai hakikat. Sebab, pada dasarnya penganut logika ini tak peduli pada hakikat ataupun kebenaran. Baginya, yang terpenting hanyalah logika praksis dan manfaat. Selama hal itu memÂberikan manfaat bagi peradaban manusia, maka tak ada masalah.
Tak ayal, kemungkaran sosÂial hanya mungkin dapat diatasi dan diperangi, baik secara tertuÂtup maupun terbuka, oleh orang-orang yang tak hanya saleh secara individual (individual activity), tapi juga saleh secara sosial (soÂcial activity). Dan, kesalehan sosial hanya mungkin diraih orang-orang yang memaknai puasa dengan tak hanya menggunakan logika forÂmalistik ansich. Namun, perlu juga menggunakan logika epistemologi holistis yang tak berhenti pada taÂhap dasar praksis luar (indra), tapi dilanjutkan tahapan epistemologi berpikir yang disebut Al Quran seÂbagai fuad atau rasio dalam bahasa filsafat, yang mesti meniscayakan kesalehan sosial.
Pada akhirnya, momentum puasa pun dapat menjadi spirit bagi kita yang mulai terceraiberai menuju komitmen transformasi sosial, untuk hijrah atau transÂformasi yang menuntut pengorÂbanan, cinta, dan aksi menuju masyarakat sejahtera yang kita cita-citakan bersama.
Penulis : Pembina Forum Silaturahmi Warga Muslim JGC;
Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada