KEPALA Pusat Komunikasi Publik Kementerian Energi Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana dalam jumpa pers di Jakarta, 10 Juni 2015, mengatakan akan ada kepastian kelanjutan operasi PT Freeport Indonesia untuk 20 tahun mendatang.
Oleh: HIKMAHANTO JUWANA
Guru Besar Hukum Internasional UI
Keputusan diambil meÂnyusul kesediaan PT Freeport Indonesia (FI) mempercepat peÂrubahan rezim kontrak karya (KK) menjadi izin usaha perÂtambangan khusus (IUPK) sebeÂlum kontrak berakhir pada 2021. Apakah alasan FI yang akhirnya bersedia mengubah KK ke IUPK? Apakah karena FI akhirnya pasÂrah dan ikhlas untuk tunduk pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan MinÂeral dan Batubara (Minerba)? SesÂuatu yang di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sulit dilakukan. Pada masa itu renegoÂsiasi telah dilakukan dan berjalan sangat alot. Hasil maksimal adalah nota kesepahaman (MOU) terkait pokok-pokok yang akan diubah dalam KK, bukan amandemen terÂhadap KK itu sendiri. Ternyata buÂkan alasan tersebut. Alasan utama FI bersedia mengubah KK menÂjadi IUPK adalah keinginan untuk mendapatkan kepastian perpanÂjangan operasi FI pada tahun ini.
Induk perusahaan FI, FreeÂport McMoran, berencana mengeÂluarkan investasi sekitar 17,3 miliÂar dollar AS. Investasi terdiri dari 15 miliar dollar AS untuk tambang bawah tanah dan infrastruktur serta 2,3 miliar dollar AS untuk smelter. Tentu investasi besar buÂtuh waktu lebih lama agar investaÂsi menghasilkan keuntungan. Bagi FI, apabila pemerintah menyetuÂjui perubahan KK menjadi IUPK, ini merupakan kepastian untuk berinvestasi yang melebihi jangka waktu KK.
Kesulitan FI untuk mendapat kepastian perpanjangan apabila mempertahankan KK bersumber pada peraturan perundang-unÂdangan yang berlaku saat ini. Di samping UU Minerba, juga berÂlaku Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 yang telah diamandemen terakhir dengan PP No 77/2014 tentang PelaksaÂnaan Kegiatan Usaha PertamÂbangan Mineral dan Batubara. Berdasarkan Pasal 112B Ayat (2) PP No 77/2014 disebutkan bahwa permohonan perpanjangan KK dapat diajukan ke Menteri ESDM paling cepat dua tahun atau palÂing lambat enam bulan sebelum berakhirnya KK. Jika ketentuan ini diikuti, FI hanya dapat mengajuÂkan perpanjangan KK paling cepat 2019. Padahal, 2019 adalah tahun terakhir masa jabatan Presiden Jokowi. Tentu saat itu pemerintah tak boleh mengambil keputusan strategis. Ini berarti perpanjanÂgan operasi FI akan digantung, sementara rencana investasi haÂrus dilakukan tahun ini. Situasi ini tentu tidak menguntungkan bagi Freeport McMoran.
Penyelundupan Hukum
Jika KK FI diubah menjadi IUPK tahun ini, FI akan mendapat kepastian perpanjangan. Ini kareÂna berdasarkan Pasal 83 huruf (g) UU Minerba ditentukan bahwa IUPK diberikan untuk jangka wakÂtu 20 tahun. Bahkan, IUPK dapat diperpanjang untuk dua kali 10 tahun. Artinya, dengan IUPK, FI akan mengakhiri kegiatannya pada 2035. Lebih lama 14 tahun dari berakhirnya KK pada 2021. Belum lagi jika FI berkeinginan memaksimalkan perpanjangan IUPK. Ini berarti FI bisa beroperaÂsi di Indonesia hingga 2055.
Padahal, bila merujuk pada KK FI pada 1967, FI seharusnya menÂgakhiri operasinya tahun 1997. Jika saat ini FI masih beroperasi hingga 2021, hal itu karena tahun 1991 pemerintah dan FI mengakhiri KK 1967 dan kemudian membuat KK baru untuk jangka waktu 20 tahun.
Meski tak ada yang dilanggar, cara perpanjangan ini tak sesuai dengan apa yang disepakati dalam KK 1967. Upaya sama sepertinya akan dilakukan oleh FI dengan kesediaannya mengubah KK menÂjadi IUPK. Dua cara mendapat perpanjangan FI dapat dikatÂegorikan sebagai penyelundupan hukum. Makna penyelundupan hukum adalah secara formal tak ada aturan yang dilanggar, tetapi secara moral ada rekayasa hukum yang dilakukan.
Penyelundupan hukum sepÂerti ini akan menyisakan masalah pada kemudian hari. Bisa jadi para pejabat yang menyetujui perubaÂhan menghadapi jeratan hukum pidana karena dicurigai adanya perilaku koruptif oleh aparat penÂegak hukum. Dewasa ini aparat penegak hukum tak membedakan pejabat yang melakukan kebijakan inovatif dengan menyimpang dari peraturan perundang-undangan dengan pejabat yang diduga melakukan kejahatan korupsi apaÂbila dalam dua kejadian itu diteÂmukan adanya kerugian negara. Bahkan, di dunia pertambangan mineral dan batubara ada ketenÂtuan yang dapat menjerat secara pidana para pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin apabila menyimpang dari UU Minerba.
Pasal 165 UU Minerba meÂnentukan, “Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan UU ini dan menyalahgunakan kewenanÂgannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penÂjara dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)â€, Karena itu, siapa pun pejabat yang memberi persetuÂjuan perubahan KK FI jadi IUPK berpotensi dijerat secara pidana. Ini berarti perpanjangan FI akan memakan tumbal: FI dapat terus menjalankan usahanya di IndoneÂsia di atas penderitaan para pejaÂbat dan keluarganya.
Empati
Jika rasa empati yang dikedeÂpankan Freeport McMoran dan FI, sejak awal seharusnya FI tak memaksakan kehendak untuk mendapat perpanjangan denÂgan mengatasnamakan apa pun. Rakyat di negeri ini sudah lama merindukan agar kekayaan alam Indonesia benar-benar dapat memberi manfaat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Ayat (3) UUD 1945. Ini pun terekam dalam Nawacita pemerÂintahan Jokowi. Memang menjadi pertanyaan mengapa Freeport McMoran dan FI sebagai penggaÂrap (kontraktor) akhirnya bisa lebÂih berkuasa dari pemilik wilayah tambang, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia? Terlebih lagi jika pemerintah menyetujui IUPK dan perpanjangannya, Freeport McMoran akan berada di IndoneÂsia 88 tahun yang seharusnya hanÂya 30 tahun berdasarkan KK 1967.
Freeport McMoran sebagai peÂrusahaan yang berkedudukan di AS juga seharusnya paham di alam yang demokratis tak mungkin lagi pejabat mengambil kebijakan tanÂpa mendengar suara rakyat. Suara rakyat menghendaki agar keterliÂbatan asing dalam pengeksploitaÂsian sumber daya alam Indonesia pada saat berakhirnya kontrak untuk diakhiri. Contohnya di PT Inalum dan Blok Mahakam. TerÂkait kontraktor di bidang pertamÂbangan saat UU Minerba dibahas, pemerintah sebenarnya sudah melindungi kepentingan para kontraktor. Keberadaan mereka tetap dipertahankan hingga beÂrakhirnya kontrak sebagaimana diatur Pasal 169 (a) UU Minerba. Ini disebabkan pada masa itu ada aspirasi di masyarakat yang kemuÂdian ditangkap anggota DPR agar Indonesia mengikuti nasionalisasi yang dilakukan Presiden VenezuÂela Hugo Chavez. Oleh karena itu, tak adil apabila saat ini Freeport McMoran membuat sulit posisi pemerintah untuk memberikan kepastian perpanjangan karena akan melakukan investasi besar-besaran.
Saat ini yang justru harus diÂlakukan oleh pemerintah adalah melakukan persiapan pengambiÂlalihan operasi FI setelah berakhÂirnya KK pada 2021. Bukan justru sebaliknya hendak memberikan perpanjangan. Untuk itu, pemerÂintah perlu membentuk tim yang mengkaji berbagai aspek terkait pengambilalihan meski masih enam tahun lagi. Kajian dilakuÂkan mulai dari kepastian tak terÂganggunya operasi FI, siapa yang akan mengambil alih kedudukan Freeport McMoran, ketersediaan dana dalam melakukan pengemÂbangan, termasuk sumber daya manusia. Segala persiapan perlu dilakukan layaknya ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan KeÂmerdekaan Indonesia melakukan proses peralihan dari negara jajaÂhan menjadi negara merdeka.
Jangan sampai pemerintah tak siap ketika KK berakhir, bahkan saat 2019 FI meminta perpanjanÂgan. Tentu saja jika berdasarkan kajian tim ternyata Indonesia belum mampu melakukan penÂgambilalihan KK FI di 2021, tim dapat merekomendasikan agar keberadaan Freeport McMoran diperpanjang. Di sini perpanjanÂgan bukan dimintakan oleh FreeÂport McMoran, tetapi atas perÂmintaan Indonesia agar Freeport McMoran terus ada di Indonesia. Dalam konstruksi ini kedaulatan ada di tangan Pemerintah RI, dan Indonesia akan dijauhkan dari tuduhan alergi yang berbau asing atau nasionalisme sempit. Jika keÂberadaan FI tetap dipertahankan dan untuk memastikan para pejaÂbat tak dimintakan pertanggungÂjawaban secara pidana, semua peraturan perundang-undangan bidang minerba yang bertentanÂgan harus diamandemen. Proses amandemen pun harus mengikutÂsertakan DPR dan publik, di sampÂing terjaminnya transparansi serta berlaku untuk semua kontraktor. Satu hal yang pasti, amandemen tak boleh karena semata untuk mengistimewakan dan mengakoÂmodasi kepentingan Freeport. (*)