Sulit untuk membayangkan berapa banyak uang yang beredar menjelang dan pada waktu pilkada. Pasca pilkada pun uang masih akan bertebaran ketika sengketa pilkada singgah di Mahkamah Konstitusi.
OLEH: TODUNG MULYA LUBIS
Dewan Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Kita memang membatasi sumbanÂgan individual dan badan hukum kalau kita membaca UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU PilÂpres. Dalam UU Pilkada juga ada batasan sumbangan individual dan badan hukum masing-masing Rp 50.000.000 dan Rp 500.000.000. Batas sumbangan ini tak diatur secara terperinci, dan karena itu membuka peluang untuk ditelikung.

Individual diasumsikan adalah orang yang cakap, dewasa, dan bebas bertindak dalam hukum. Kalau definisi individual adalah seperti ini, dalam sebuah keluarga bisa jadi ada beberapa penyumbang yang eligible. Sama juga dengan badan hukum yang bisa jadi berjumlah lebih dari satu, tetapi berada dalam kelompok konglomÂerasi atau holding tertentu. Jadi, batasan Rp 50.000.000 dan Rp 500.000.000 sepÂertinya tak mempunyai makna sama sekali karena tak dipagari dengan ketat dalam peraturan perundang-undangan.
Persoalannya bukan semata pada reguÂlasi. Persoalannya juga ada pada lembaga pelaksana pilkada itu sendiri yang memang tak memiliki kapasitas untuk membatasi sumbangan pilkada meskipun ada ketentuÂan mengenai pencatatan dan audit pengeÂluaran dana kampanye. Akibatnya, pilkada memang menjadi bisnis politik yang besar di mana sumbangan tak lagi menjadi perÂsoalan, dan karena itu keberadaan politik uang menjadi sesuatu yang niscaya.
Kalau ada yang mengeluh bahwa pilkaÂda sarat dengan politik uang, sarat dengan dagang sapi, semua itu adalah konsekuensitak terhindarkan dari lemahnya reguÂlasi dan lembaga penyelenggara pilkada itu sendiri. Kesimpulan sederhana dari membanjirnya uang dalam pilkada adalah terpinggirkannya kepentingan rakyat banÂyak yang bukan menjadi penyumbang karena suka atau tak suka para calon guÂbernur, bupati, dan wali kota pada akhÂirnya akan lebih memikirkan kepentingan penyumbang uang ketimbang rakyatnya.
Kongkalikong Penguasa-Pengusaha
Ibarat seseorang yang sedang berutang, orang tersebut pasti memberikan perÂhatian lebih kepada yang memberikanÂnya utang. Jadi, utang budi pilkada di sini melahirkan pula utang budi politik, dan utang budi politik ini harus dibayar denÂgan jabatan politik atau proyek bisnis, baik dalam bentuk proyek pengadaan (procureÂment) maupun perkebunan atau pertamÂbangan. Politik kawin dengan bisnis. PenÂguasa kawin dengan pengusaha.
Garis pisah antara individual dan badan hukum semakin hilang ketika bicara tentang sumbangan politik. Mitt Romney, calon presiden Partai Republik di Amerika, pernah bilang, “Corporations are people, my friend.†Semangat ucapan Romney sama dengan putusan Mahkamah Agung Amerika dalam kasus Citizens United yang tak membatasi sumbangan perusahaan untuk pemilihan presiden, gubernur, wali kota, dan anggota parlemen.
Perusahaan sama dengan individual mempunyai hak konstitusional untuk memberikan sumbangan uang guna memÂperjuangkan aspirasinya. Pemberian sumÂbangan itu dimasukkan dalam kategori freedom of speech. Tak mengherankan, kita melihat bahwa demokrasi itu dibajak oleh perusahaan-perusahaan yang memiÂliki sejumlah agenda yang sering kali bertaÂbrakan dengan kepentingan rakyat miskin dan marjinal. Kapitalisme memang berinÂduk juga pada sistem politik itu sendiri.
Di sini tak ada putusan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi yang mengatakan perusahaan bebas memberiÂkan sumbangan sebesar apa pun. DPR juga tak merasa berkepentingan membatasi sumbangan, malah DPR menuntut agar negara memberikan dana lebih besar keÂpada partai politik dan anggotanya antara lain melalui dana aspirasi. Jadi, adalah ilusi kalau berharap uang sumbangan perusaÂhaan bisa dibatasi karena perusahaan itu sudah masuk ke sistem politik. Partai poliÂtik sendiri pada hakikatnya “perusahaan yang berbaju partaiâ€, di mana ada partai yang dimiliki secara terbuka, tetapi ada juga partai yang sejak turun-temurun menÂjadi partai keluarga.
Orang-orang partai ini tidak saja menerÂima uang dari perusahaan-perusahaan, tetapi juga berbisnis bersama perusahaan-perusahaan tersebut. Karena itu, kalau kita melihat retorika orang-orang partai sedikit sekali kita menemukan kritik terhadap peÂrusahaan-perusahaan, dan kalaupun ada, kritik itu hanyalah retorika di depan pubÂlik, sementara setelah itu mereka berpeluÂkan dan tidur seranjang. Tepatlah apa yang dikatakan presiden ke-19 Amerika pada tahun 1887 bahwa Amerika sudah dibajak oleh perusahaan-perusahaan. Katanya: “This is a government of the people, by the people, and for the people no longer. It is a government by the corporations, of the corporations, and for the corporationsâ€. Saya khawatir kita bisa sampai pada keÂadaan seperti itu kelak.
Dinasti politik yang kita temukan di seÂjumlah provinsi dan kabupaten menunjukÂkan bahwa suara rakyat semakin tak berÂharga. Niat untuk berkuasa selamanya saja sebetulnya sudah bersifat anti demokrasi (unÂdemocratic) karena menghambat hak orang lain untuk menjalankan pemerintahan. DiÂnasti politik yang menguasai pemerintahanjika ditopang oleh perusahaan-perusahaan akan sulit untuk dikalahkan.
Jadi, persaingan politik semakin dipinggirkan dan pilkada akhirnya hanya menjadi permainan elektoral yang tak akan membawa perubahan. Akhirnya istri, anak, ipar, menantu, dan sedulur akan bergiliran menguasai pemerintahan, yang artinya menguasai semua sumber daya politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam konteks ini, sulit memahami menÂgapa Mahkamah Konstitusi menolak untuk menghentikan politik dinasti. Argumentasi bahwa adalah hak setiap warga negara unÂtuk berpolitik dalam realitasnya menjadi sejiwa dengan putusan Mahkamah Agung Amerika yang mengatakan bahwa adalah hak setiap perusahaan untuk menyumÂbang berapa saja untuk memperjuangkan kepentingan politiknya. Keluarga berhak punya voice seperti juga perusahaan berÂhak punya voice.
Pilkada serentak akan diadakan pada 9 Desember tahun ini. Pendaftaran bakal calon gubernur, bupati, dan wali kota suÂdah akan dimulai. Terus terang kita tak melihat pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum akan mampu membendung politik uang dan politik dinasti. Para calon guberÂnur, bupati, dan wali kota yang tak punya uang suka atau tidak suka akan tersingkir. Calon independen akan semakin terengah-engah. Dengan berat hati kita akan berhaÂdapan dengan kekuasaan uang meski kita akan dihibur dengan pidato kampanye yang seolah berpihak kepada rakyat banÂyak. Mungkin para pendiri negara ini tak pernah bisa membayangkan bahwa “keÂdaulatan rakyat†yang mereka cita-citakan dulu sudah berubah jadi kedaulatan uang. (*)