BOGOR TODAYÂ – Setidaknya 134 usaha perÂajin tepung tapioka membuang limbah cair ke Sungai Cikeas, Kabupaten Bogor hingga mencemari salah satu sumber air baku PDAM Tirta Kahuripan akibat getah yang memadat menimbulkan bau tidak sedap.
Kepala Bidang Pengendalian pada Badan Lingkungan Hidup (BLH) KabupatÂen Bogor, Endah Nurmayanti mengungÂkapkan jika pabrik-pabrik tepung tapioka itu tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan membuang limbah cair langsung ke sungai.
“Sekarang kan musim kemarau, air sungai juga sudah mengering dan tersisa limbah cair itu saja yang baunya sangat menyengat.Masyarakat juga selalu mengeÂluh karena air yang mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari ikut menjadi bau,†jelas Endah, Senin (3/8/2015).
Lebih lanjutm Endah menjelaskan jika BLH selalu menerima keluhan dari maÂsyarakat selama tiga tahun terlebih kala musim kemarau tiba. BLH pun dengan tegas telah meminta para pengrajin untuk segera membuat IPAL namun tak pernah diindahkan oleh pihak pengrajin.
“Perusahaan itu sudah turun-temurun tidak punya IPAL komunal. Dulu, waktu air sungai masih besar sih tidak terlalu maÂsalah. Nah tiga tahun belakangan nih muÂlai banyak komplain ke kami. Untuk jangka pendek, kami juga sudah siapkan drum untuk menampung limbah. Tapi tidak perÂnah dipakai juga,†lanjutnya.
Sebagai langkah nyata, BLH pun meleÂlangkan pembuatan IPAL komunal pada tahun 2014 di dua kecamatan tersebut dengan nilai Rp 450 juta. Namun, lelang itu gagal menemukan pemenang dan diÂlanjutkan pada yahun 2015 ini.
“Kami juga akan sosialisasikan bahwa akan ada IPAL komunal bagi pengrajin di dua kecamatan ini. Rencananya, IPAL dibangun di dua titik dan setiap titik diguÂnakan untuk menampung limbah 20 peraÂjin dulu. Untuk perajin lain nanti menyusul di tahun berikutnya,†sambung Endah.
Dari hasil uji laboratorium yang dilakuÂkan BLH terhadap sampel air Sungai Cikeas, kadar racun yang terkandung didalamnya masih dibawah baku mutu. “Tapi baunya ini yang luar biasa. Apalagi pas kemarau dan gelangnya lengket,†tegas Endah.
Ia menambahkan, kandungan air rakÂsa (Hg) dan amoniak di sungai itu masih dalam kategori aman. Namun yang paling dikhawatirkan BLH adalah hasil fermentasi singkong mengandung sianida yang tinggi. “Kalau diatas baku mutu, jika diminum itu bisa mematikan,†tambahnya.
Sungai Cikeas yang mengalir di Desa KaduÂmanggu, Kecamatan Babakan Madang sendiri memiliki air yang berwarna pekat, lengket, dan bau busuk. Endah mengaku, atas pencemaran tersebut pihaknya enggan merekemondasikan penertiban UMKM itu kepada Satpol PP.
“Pertimbangan kemanusiaan jadi alasanÂnya. Setiap perajin punya 100 karyawan dan Industri ini tidak bisa ditutup serta-merta karena ada yang hidup dari sana,” tandasnya.
Perlakuan berbeda terpaksa ia lakukan karena melihat tingkat pencemaran dan kemampuan perusahaan memberikan pesangon bagi mantan karyawan. Tahun lalu, dia mengaku sudah merekomendasiÂkan penutupan lima pabrik aki bekas yang mencemari tanah dengan timbal dan kanÂdungan berbahaya lainnya.
Salah satu pemilik usaha pembuatan tepung tapioka yang enggan disebutkan namanya mengaku pesimis akan adanya IPAL. “Meamang mau dibuat seperti apa IPALnya. Kalaupun ada, toh tidak bisa meÂnampung limbah,†ujarnya.
Ia menjelaskan, dalam sekali produksi, pabriknya bisa menggunakan 2,5 ton singÂkong dan bisa menghasilkan 7,5 kwintal teÂpung tapioka jika kualitas singkongnya baik dengan menyisakan ampas 1,5 kwintal.
“Ampasnya keringnya dipasarkan ke pabrik saus sambal, roti dan makanan terÂnak. Sementara limbah cairnya dibuang ke selokan yang mengalir ke Sungai Cikeas. Saya punya delapan bak berkapasitas 500 liter untuk mengolah singkong menjadi teÂpung. Jadi bayangkan saja berapa liter limÂban cair yang dihasilkan. Pabrik yang lebih besar juga masih banyak,†cetusnya.
Ia pun mengamini jika BLH sempat memÂbagikan drum berkapasitas 300 liter untuk masing-masing pengusaha. “Namun itu anggap sia-sia karena untuk menampung limbah satu kali produksi saja tidak cukup,†pungkasnya.
(Rishad Noviansyah)